Legenda Gunung Pinang

Diposting pada

Sejarah Gunung Pinang

Pada zaman dahulu kala di teluk Banten hiduplah seorang pemuda bernama Dampu Awang. Dia tinggal bersama ibunya di sebuah gubug reot di wilayah perkampungan nelayan. Oleh karena ingin memperbaiki nasib, Dampu Awang meminta izin pada ibundanya agar diperbolehkan pergi ke daerah Malaka untuk mencari pekerjaan layak. Awalnya Sang Ibu menolak karena Dampu Awang adalah satu-satunya anak yang dimilikinya. Karena Dampulah dia masih sanggup menjalani hidup walau tanpa ada suami lagi.

Sesampainya di Malaka Dampu Awang melamar pekerjaan pada seorang saudagar kaya raya bernama Teuku Abu Matsyah. Setelah diterima, pekerjaan sehari-harinya adalah membersihkan galangan dan mengangkut sekaligus merapihkan barang-barang jualan milik Sang Saudagar. Oleh karena sangat rajin, hanya dalam waktu beberapa tahun Dampu Awang sudah menjadi orang kepercayaan Teuku Abu Matsyah. Bahkan Siti Nurhasanah, puteri semata wayang Sang Saudagar pun sampai menaruh hati padanya.

Singkat cerita, Dampu Awang pun menikah dengan Siti Nurhasanah yang cantik jelita. Tidak berapa lama sesudahnya Teuku Abu Matsyah meninggal dunia dan secara otomatis seluruh hartanya diwariskan pada Siti Nurhasanah. Sebagai pewaris tunggal, Siti Nurhasanah menyerahkan pengelolaan harya Sang Ayah kepada Dampu Awang. Tetapi berita ini tidak sampai ke telinga Sang Ibu karena selama di perantauan Dampu Awang hanya berkirim kabar sejumlah empat kali. Isinya berupa pemberitahuan singkat tentang keberadaannya di negeri seberang.

Satu dasawarsa kemudian, tersiarlah kabar bahwa akan datang seorang saudagar besar dari Malaka yang akan berdagang di Banten. Berita ini cepat sekali tersebar hingga terdengar pula oleh Ibu Dampu Awang. Pikirnya, mungkin saja kali ini yang datang adalah Dampu Awang, karena dia sudah berjanji akan pulang bila telah menjadi orang kaya.

Baca Juga :  Contoh Suprastruktur Politik

Sesampainya di pelabuhan, ada sebuah perahu sangat besar dan megah tengah bersandar. Sesaat kemudian munculah para awaknya yang gagah perkasa sambil memanggul barang-barang milik Sang Saudagar untuk dibawa ke darat. Barang-barang tersebut adalah dagangan Sang Saudagar untuk dijual pada Sultan Banten, diantaranya: pakaian, perhiasan, dan barang-barang mewah lainnya.

Namun, ketika keduanya akan menuruni tangga perahu tiba-tiba saja ada seseorang yang berteriak histeris di antara kerumunan. “Dampuuu! Dampuuu Awaaang! Ibu di sini, nak,” katanya sambil melambai-lambaikan tangan.

Sang isteri yang kebetulan melihat si peneriak lalu bertanya pada suaminya, “Ada orang tua berpakaian sangat lusuh menyebut namamu, Bang. Apakah dia itu ibumu?”

Oleh karena malu melihat Sang Ibu layaknya seorang pengemis tua, sementara dirinya bagaikan seorang raja, Dampu Awang langsung berteriak, “Tidak! Dia bukan Ibuku! Pengawal, usir perempuan itu dari hadapanku!”

“Kalau memang ibumu, sambutlah beliau dengan baik, Suamiku,” kata Siti Nurhasanah tulus dan lembut untuk meredakan suasana.

“Pengawal, angkut lagi barang-barang yang telah kalian turunkan. Kita pulang dan batalkan perniagaan ini!” sambungnya agar tidak bertambah malu.

Perkataan Dampu Awang tadi terasa bagaikan petir di siang bolong. Seketika itu juga hatinya hancur seperti teriris-iris sembilu. Dengan tertunduk lesu sambil berlinang air mata Sang Ibu pun berucap, “Wahai Gusti yang Maha Agung, apabila bukan anakku, biarkanlah dia pergi. Tapi kalau dia memang anakku, berilah dia pelajaran yang setimpal.”

Doa Sang Ibuternyata didengar oleh Tuhan. Baru beberapa mil perahu berlayar meninggalkanpelabuhan, tiba-tiba langit tertutup gumpalan awan gelap disertai petir menyambar-nyambar.Sejurus kemudian terjadilah hujan deras bercampur angin puting beliung yangmembentuk laut menjadi sebuah pusaran besar. Akibatnya, perahu Dampu Awang punmulai terseret ke dalam pusaran hingga terlempar dan terbalik di daratan. Tidaklama berselang, perahu mulai membatu dan akhirnya menjadi sebuah gunung besar.Oleh masyarakat setempat, gunung besar itu kemudian diberi nama Pinang.

Baca Juga :  Etika dan Etiket


Kisah Cerita Gunung Pinang

pada jaman dahulu kala di Banten, hiduplah seorang nelayan miskin. Namanya Dampu Awang. Dia tinggal dengan ibunya. Dampu selalu bekerja keras. Ia ingin menjadi orang kaya. Namun, ia hanya memiliki perahu kecil. Dan ia juga tidak memiliki jaring besar seperti teman-temannya. Itu sebabnya ia tidak dapat menangkap banyak ikan dan tidak punya banyak uang.

Dampu mendengar bahwa ada seorang pedagang kaya datang ke desanya. Pedagang memiliki kapal besar. Dia selalu berlayar di laut. Dia dahan dan menjual barang-barang di tempat-tempat yang dikunjunginya. Dampu ingin bekerja untuknya. Dia tidak ingin menjadi seorang pedagang.

Dampu Awang telah memutuskan. Dia sudah bosan menjadi orang miskin. Dia benar-benar ingin menjadi kaya. Ibunya tidak bisa berbuat apa-apa. Dia akhirnya membiarkan dia pergi.
Dampu bertemu dengan pedagang. Dia mengatakan kepadanya bahwa ia ingin bekerja untuknya.
“Oke, Saya akan memberitahu Anda bergabung dengan saya. Tapi Anda harus bekerja keras. Jika anda ingin menjadi saudagar kaya seperti saya, Anda harus memperhatikan apa yang saya lakukan,” kata si pedagang.

Dampu Awang itu sangat bahagia. Dia sudah membayangkan bahwa dia akan menjadi orang kaya.
Karena ia bergabung dengan kapal pedagang. Dampu selalu bekerja keras. Perlahan-lahan si pedagang percaya kepadanya. Dia bertanya Dampu untuk membeli dan menjual pedagang hal. Dampu melakukan tugas dengan sangat baik. Dia mulai untuk membuat banyak uang.

Pedagang bahagia. Dia tahu bahwa Dampu bisa menjadi pedagang besar. Dia sudah tua dan ingin Dampu untuk menikahi putrinya. Dampu setuju. Dengan menikahi putri si pedagang, dia bisa menjadi orang kaya. Dia akan memiliki kapal besar dan berlayar ke banyak tempat.
Sementara itu, ibu Dampu mendengar bahwa anaknya telah menjadi orang kaya. Dia juga mendengar bahwa dia sudah menikah dan mempunyai kapal besar. Setiap hari ia berdoa kepada Allah. Ia berharap Dampu akan segera pulang.

Baca Juga :  Apa itu Limbah

Tuhan menjawab doanya. Dampu dan istrinya tiba di desa. Banyak orang menyambut Dampu. Mereka semua memuji dia.
Dampu ibu berusaha untuk memenuhi Dampu.

Dia menyebutkan nama Dampu keras. Akhirnya dia mendekat ke Dampu.
“Dampu … Dampu … Ini aku, ibumu.”
Sayangnya dia mengabaikannya. Dampu merasa sangat malu ibunya. Dia sudah tua dan kain usang. Dia juga kotor.
“Pengawal! Tanya wanita tua itu pergi. Dia bukan ibuku. Ibuku seorang wanita kaya dan dia sudah meninggal,” kata Dampu kepada penjaga.

Para penjaga Dampu mendorong ibu pergi. Dia begitu sedih. Ia berdoa kepada Allah.
“Kalau dia bukan anakku, biarkan dia berlayar dengan aman. Tapi jika dia adalah anakku, menghukum dia.”
Tuhan kembali menjawab doa. Ketika Dampu berlayar di laut, badai besar menyerang kapalnya. Hujan dan guntur menyerang kapal. Dampu menyadari kesalahannya tetapi itu hingga akhir. Kapal itu perlahan tenggelam dan akhirnya tenggelam.
Kapal perlahan-lahan berubah menjadi sebuah gunung. Orang-orang menamakannya GUNUNG PINANG


Lokasi Gunung Pinang

Di Provinsi Banten, tepatnya di sekitar wilayah Kecamatan Kramat Watu, Kabupaten Serang, terdapat sebuah gunung yang diberi nama Gunung Pinang. Konon, gunung yang salah satu sisinya dilalui oleh jalur lintas Serang-Cilegon ini dahulu berasal dari perahu milik Dampu Awang yang karam. Bagaimana perahu dapat beralih wujud menjadi sebuah gunung? Berikut kisahnya.

demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai √ Legenda Gunung Pinang, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.

Posting pada SD