Legenda Buaya Putih

Diposting pada

 

legenda buaya putih

Legenda Buaya Putih

Selain memang kaya dengan keanakeragaman baik itu budaya maupun juga adat istiadatnya, Negeri tercinta Indonesia juga memang cukup kaya dengan berbagai hal-hal yang bersifat mistis. Sebut saja yakni seekor hewan yang gemar memakan daging yang habitatnya hidup pada air tawar bernama buaya. Dan sebagai Negara kepulauan yang banyak mempunyai ratusan dan bahkan ada banyak ribuan sungai, Indonesia memang jadi pusat dari kehidupan hewan reptil yang berukuran raksasa seperti buaya. Tapi kepercayaan masyarakat kalau tak segala jenis dari seekor buaya merupakan hanya seekor hewan, tetapi merupakan sebuah perwujudan dari sebuah makhluk bisa dibilang gaib sampai merupakan kembaran manusia tersebut.

Berikut legenda dari buaya putih yang terkenal di beberapa wilayah yang ada di Indonesia sebagai berikut :

Buaya itu sebenarnya secara alami memang tergolong sebagai makhluk hidup yang lumayan dikramatkan menurut dari beberapa kalangan masyarakat yang ada di tanah air, terkhusus dari seekor buaya putih. Buaya putih menurut sebagian kalangan tak hanya terkenal sebagai salah satu jenis reptil berukuran raksasa yang habitatnya berada di sungai. Dan karena, tak sedikit dari kalangan masyarakat yang ada di tanah air menyebut kalau buaya putih merupakan sebuah perwujudan dari seorang siluman jenis wanita yang mempunyai sebuah mahkota yakni merah delima.


Legenda Sungai Brantas

Buaya putih yang berada di tanah air ini sudah menjadi reptil yang lumayan melegenda, dan bahkan legendanya dinilai telah ada pada jaman dari nenek moyang kita, contoh sebuah kisah buaya putih yang berada pada sungai Brantas, di provinsi Jawa Timur. pada masa kerajaan kuno di daerah Kediri, legenda buaya putih begitu kental pada masyarakat derah Kediri. Menurut cerita buaya itu merupakan makhluk gaib yang menunggu sungai Brantas yang cuma memperlihatkan wujudnya hanya pada orang tertentu saja.


Legenda Saudara Kembar Buaya Putih

Berbeda dari legenda yang ada di suangai Brantas tersebut, sebagian kalangan dari masyarakat adat di provinsi Sulawesi Selatan juga memiliki pengenalan tak biasa kepada sosok buaya putih itu. Menurut masyarakat Sulawesi Selatan, buaya putih itu tak selamanya diketahui perwujudan dari makhluk gaib yakni siluman namun buaya putih itu diyakini adalah saudara kembar dari salah seorang masyarakat.


Legenda Danau Tolire

Di wilayah Maluku masyarakat sekitar pun memiliki sebuah legenda tersendiri kepada sosok dari buaya putih ini. Kisah itu juga tak lepas dari sebuah danau bernama danau Tolire yakni sebuah danau yang sangat indah dan dikeramatkan. Dahulu diceritakan bahwa penduduk dekat danau adalah masyarakat yang baik adabnya, bisa dibilang kalau mereka itu memiliki tali persaudaraan sangat erat.

Baca Juga :  Kelainan dan Gangguan Pada Gerak

Tapi, tiba-tiba banyak penduduk hilang misterius. Menurut legendanya, segala kedamaian yang pegang antar warga itu hilang tak ada jejak karena sebuah peristiwa tak bermoral. Karena ada salah satu warga sekitar yang tega menghamili anakkandungnya sendiri, kemudian warga pun marah dan mengusir Ayah serta anaknya itu. Tetapi, peristiwa yang sangat lebih hebat menimpa ketika Ayah dan Anak itu pergi meninggalkan kampung. Menurut cerita saat itu tiba-tiba datang gempa yang sangat dahsyat. Masyarakat pun yakin kalau Ayah dan Anak itu telah dikutuk penguasa berubah jadi dua danau disamping itu warga sekitar juga dikutuk berubah menjadi buaya berwarna putih.

Legendayang sudah melekaterat diberbagai kalangan yang ada di tanah air, cukup di yakini sampai saat ini. Terlepas menurut legendanya, buaya putih itusebenarnya tak seperti yang banyak diketahui. Buaya putih itu faktanya cuma seekor buaya yang mengalami kelainan dari genetiknya yang biasa kita kenal sebagai albino. Memang dengan jumlah jenisnya yang minim itu buaya jenis ini sulitsekali ditemuidisampinghabitat utamanya terleatk pada Benua Amerika. Perludiketahui, buaya putih dengan mempunyai jumlah lima jari itu pun tak berbeda pada buaya berjenis albino. Karena, secara alamiah kalau hewan alligator tersebut memang mempunyai jumlah lima buah jari pada setiap kakinya.


Cerita Buaya Putih

Saat melintasi jalan Daendels sepanjang pantai selatan Jawa Tengah, ada jalur favorit yang lumayan asik buat memacu adrenalin. Sepotong jalan sepanjang kurang lebih 15 km antara pantai Ayah sampai pantai Karangbolong yang masuk wilayah Kabupaten Kebumen itu lumayan sempit, berkelak-kelok tajam, penuh tanjakan curam dan kanan kirinya tebing atau jurang. Bikin sport jantung memang, tapi pemandangannya disitu lumayan asik dan masih alami banget.

Rada aneh memang. Sepanjang pinggiran pantai yang landai mulai dari Cilacap sampai Jogja, ada segundukan pegunungan kapur yang memiliki banyak puncak. Persis punuk unta tapi jumlahnya banyak yang kalo dilihat dari kejauhan malah terlihat seperti punggung buaya. Makanya pegunungan kapur berpunuk banyak itu seringkali dihubungkan dengan legenda Prabu Dewata Cengkar yang tewas ditangan Ajisaka. Diceburkan ke laut selatan dan berubah menjadi buaya putih yang kemudian terdampar sehingga berubah menjadi barisan bukit bukit kecil.

Baca Juga :  Peninggalan Kerajaan Salakanagara

Terlepas dari masalah pegunungan kapur tersebut, aku malah tertarik menguthak athik gathuk legenda Ajisaka vs Dewata Cengkar dari sisi yang lain. Secara umum, Ajisaka dikatakan sebagai penguasa pulau Majeti tempat tumbuhnya bunga Wijayakusuma yang terletak di sebelah selatan Nusakambangan. Dalam beberapa versi utamanya yang berbau Sunda, pulau Majeti seringkali disebut Majadi atau Majati. Aku sendiri cenderung mengkiaskannya sebagai Majati yang berasal dari kata Ma dan Jati. Ma itu ibu, Jati itu itu asli atau sejati. Maka Majati bisa diartikan sebagai ibu sejati atau ibu pertiwi.

Ajisaka sendiri berasal dari kata Aji (pusaka, berharga atau kepribadian) dan Saka (tiang yang kokoh). Jadi Ajisaka bisa diartikan sebagai tiang pusaka atau tiang kepribadian yang kokoh yang mengayomi ibu pertiwi. Ajisaka memiliki dua abdi yang bernama Dora dan Sembadha. Dora itu artinya bohong atau kebohongan dan Sembadha artinya teguh atau patuh. Ini menggambarkan kondisi nyata dimana penguasa selalu dikelilingi oleh dua hal yang saling bertolak belakang dan seringkali menjadi dilema dalam mengambil setiap keputusan.

Saat meninggalkan pulau Majeti, Ajisaka mengajak Dora dan menitipkan keris pusakanya kepada Sembadha. Mungkin filosofinya adalah, kemanapun penguasa pergi, boleh membawa serta segala kebohongannya namun percayakan pusaka kepada abdi yang patuh.

Beralih ke Dewata Cengkar. Berasal dari kata Dewata yang artinya dewa atau penguasa dan Cengkar yang artinya tandus. Terusir dari sebuah negeri di sebelah barat yang kemudian membuka hutan Medang menjadi negeri yang makmur sentausa. Medang Kamulan mulai masuk kedalam prahara setelah Dewata Cengkar jadi hobi makan daging manusia. Gara-garanya adalah jari telunjuk juru masak terpotong masuk kedalam masakan dan termakan oleh Dewata Cengkar.

Secara ngawur, juru masak bisa diartikan sebagai penguasa dapur yang selalu menyiapkan makanan bagi seluruh warga keraton. Makanan itu bisa dianalogikan sebagai kemakmuran dan telunjuk identik dengan kekuasaan. Jadi juru masak dalam hal ini bisa dianggap sebagai pemegang kesejahteraan rakyat yang kekuasaannya terpotong. Tanpa kekuatan memerintah dengan telunjuknya pemegang amanat kemakmuran, Dewata Cengkar jadi lupa diri dan berubah menjadi pemangsa rakyatnya sendiri.

Ketika rakyat Medang Kamulan hampir habis, datang Ajisaka menyerahkan diri untuk menjadi santapan Dewata Cengkar menggantikan seorang gadis terakhir di negeri itu. Ajisaka tak menggunakan kekuatan fisik dan hanya meminta imbalan berupa tanah selebar ikat kepalanya. Saat Ajisaka dan Dewata Cengkar mengukur tanah, ikat kepala itu terus menerus bertambah lebar sampai akhirnya Dewata Cengkar tercebur ke laut selatan dan berubah menjadi buaya putih.

Baca Juga :  Asal Usul Nama Minangkabau

Ikat kepala dalam hal ini bisa diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang memang disimpannya dalam kepala. Dengan pengetahuan yang terus menerus melebar, kekuasaan Dewata Cengkar bisa ditamatkan sampai dia berubah menjadi buaya putih yang mungkin itu memang wujud aslinya. Buaya sendiri selama ini diidentikan sebagai kelicikan sampai-sampai ada istilah air mata buaya atau buaya darat. Walau berpenampakan putih atau sok suci, dia tetaplah buaya yang menyimpan kejahatan.

Aku tak tahu pemaknaan apa yang tepat untuk Dewata Cengkar ini. Seorang penguasa negeri tandus di sebelah barat yang licik namun berpura-pura baik. Bisa membangun hutan Medang menjadi negeri makmur, untuk kemudian dimangsanya sendiri satu persatu sampai habis. Beruntunglah kejahatan itu bisa ditumpas dengan damai oleh Ajisaka pemegang pusaka ibu Pertiwi.

Aku sendiri juga ga tahu apa makna dibalik cerita selanjutnya, dimana Ajisaka menyuruh Dora mengambil keris pusakanya yang dititipkan ke Sembadha. Padahal sebelum pergi, Sembadha sudah dipesan untuk tidak memberikan keris itu kepada siapapun selain kepada Ajisaka sendiri. Apalagi di akhir kisah disebutkan bahwa Dora dan Sembadha sama-sama mati saat menjalankan tugasnya masing-masing berdasarkan perintah plinplan Ajisaka. Apakah ini berarti sampai akhir hayat nanti, kejahatan dan kebaikan akan selalu sama kuat berebut pengaruh dan kekuasaan dalam diri manusia..?

Mbuhlah…
Cerita jalan-jalan malah jadi bahas hal serius
Ada yang punya analogi lain tentang kisah ini..?

Keterangan :
Kisah diatas diambil dari salah satu versi dari berbagai versi yang banyak berkembang dalam cerita rakyat Jawa dan Sunda. Mohon maaf dan harap dimaklumi bila ada perbedaan dengan yang diketahui teman-teman. Maaf juga kalo pembabaran analoginya aneh bin atang karena memang tanpa dasar alias ngawur belaka.


Misteri Buaya Putih di Sungai Brantas Kediri

Cerita tutur tentang keberadaan buaya putih di aliran Sungai Brantas sejak zaman kerajaan kuno Kediri hingga sekarang masih saja menjadi misteri yang tak terpecahkan. Sebab sungai yang digunakan sebagai lalu lintas air sejak masa Empu Sindok pada masa Mataram Hindu selalu minta korban nyawa manusia.

Berulang kali orang tiba-tiba kalap di sungai yang pernah ditumbali oleh Mpu Baradah saat memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua yakni Kerajaan Panjalu dan Jenggala sekitar tahun 1009.

demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Legenda Buaya Putih : Cerita, Misteri, Sungai Brantas, Saudara Kembar, Danau Tolire, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.

 

Posting pada S1, S2