Otonom Darah

Diposting pada

Hakikat Otonomi Daerah

Otonomi Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu authos yang berarti sendiri dan namos yang berarti undang-undang atau aturan. Oleh karena itu secara harfiah otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri. Otonomi Daerah adalah suatu pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998.

Pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.

Menurut pendapat yang lain, bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan, penggerakkan, dan pengawasan dalam pengelolaan pemerintahan daerah dalam penggunaan sumber daya pengelola dan memberikan pelayanan prima kepada publik.

Uraian diatas menunjukkan peranan administrasi negara dalam penyelengaraan otonomi daerah. Kebutuhan akan pentingnya administrasi negara terutama posisinya dalam penyelenggaraan otonomi daerah menjadi penting pada saat kita memasuki otonomi daerah yang dicanangkan pada tanggal 1 Januari 2001. Sehingga otonomi daerah semakin dituntut dalam pelayanan kepada masyarakat

pernahkah kalian mendengan istilah daerah otonom dan juga tonomi daerah? Tentunya kedua istilah ini sudah tidak asing lagi kalian dengar. Walaupun masing-masing berasal dari dua kata yang sana, akann tetapi peltakan susunan membuat kedua istilah tersebut mempunyai makan yang berbeda. Nah, utntuk lebih jelasnya meri kita pelajari di ulasan dibawah ini.

Daerah Otonom


Pengertian Otonomi Daerah

Otomoni daerah mempunyai asal kata yang sama dengan daerah tonom. Walaupun demikian keduanya mempunyai arti yang sangat berbeda. Berikut ini beberapa penjelasan pengertian otonomi daerah.


  1. Menurut KBBI

Otonomi daerah mempunyai arti “hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku”


  1. UU 32 tahun 2004

Makna otonomi daerah terdapat pada pasal 1 dalam UU ini yakni “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan juga mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


  1. Syafrudding

Makna otonomi daerah menurut syafrudding ialah suatu pemerintahan yang aturan-aturannya dibuat sendiri oleh pemerintah daerah. Tidak hanya dibuat, akan tetapi juga diurus sendiri.


  1. Kansil

Menurut kasil, otonomi daerah aialah suatu penyelenggaraan pemerintahan daerah dimana hak, wewenang dan kewajiban dalam penyelenggaraan tersebu berada di bawah pemerintah daerah juga sesuai dengan peratuan perundang-undangan yang berlaku.


Sejarah Otonomi Daerah


  • Warisan Kolonial

Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat.

Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.


  • Masa Pendudukan Jepang

Ketika menjalar Perang dingin II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda.

Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942  yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.


  • Masa Kemerdekaan

  1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (Komite Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri.


Tujuan Otonomi Daerah

Berdasarkan pasal 2 UU no. 32 tahun 2004 tujuan pelaksanaan otonomi daerah ada tiga yaitu: mengingkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut maka fungsi pemerintahan darah dalam pembangunan diserahkan  kepada pemerintah daerah dan DPRD. Ada empat tujuan otonomi.

  • Pembagian daerah kekuasaan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dan juga pembatasan wewenang peerintahan pusat karena adanya pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah
  • Tercapainya efisiensi dan efektivitas dalam menjalankan tugas pemerintahan karena adanya pembagian tugas dan kewajiban antara pemerintahan pusan dan pemerintah daerah
  • Peningkatan pembangunan daerah berdasarkan sosial, politik, ekonomi dan juga budaya.
  • Peningkatan peran masyarakat guna berpartisi aktif dalam pembangunan di daerahnya

Baca Juga :  Gymnospermae

Asas Otonomi Daerah

Dalam penyelenggaraan pemerintah menurut pasal 20 ayat 2 UU No. 32 tahun 2004, terdapat tiga asas tonomi daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat yaitu desntralisasi, dekosentrasi, dan juga tugas pembantuan. Ketiga istilah tersebut mengandung makna yang berbeda


  1. Desentralisasi

Pengertiannya terdapat pada pasal 1 ayat 7 yaitu “ desentralisasi ialah wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan juga mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan republik indonesia.


  1. Dekonsentrasi

Maka dekosentrasi ini terdapat dalam pasal 1 ayat 8 yaitu “dekosentrasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintahan dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.


  1. Tugas pembantu

Arti tugas pembantu terdapat dalam pasal 1 ayat 9 yang berbunyi “tujuan pembantuan ialah penugasan dari pemerintah kepada darah dan attau desa dari pemerintah propinsi kepada kabupaten atau kota dan atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu”.


Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah

Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan yang jelas.

Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.

Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:

  1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
  2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
  3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
  4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
  5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
  6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
  7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
  8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.

Pembagian Kekuasaan Dalam Kerangka Otonomi Daerah

Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat fedralisme. Jenis yang ditangani pusat hampir sama dengan yang ditangai oleh pemerintah dinegara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan agama serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat seperti kebijakan makro ekonomi standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pengembangan sumber daya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani pemerintah pusat disebutkan secara spesifik dalam UU tersebut.

Selain sebagai daerah otonom, provinsi juga merupakan daerah administrative, maka kewenangan yang ditangani provinsi/gubernur akan mencakup kewenangan dalam angka desentralisasi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom provinsi dalam rangka desentralisasi mencakup:

  1. Kewenangan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan dan perkebunan.
  2. Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makra, pelatihan bidang alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup dalam wilayah provinsi, pengelolaan pelabuhan regioal, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan perencanaan tata ruang provinsi.
  3. Kewenangan kelautan yang tidak meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum, dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
  4. Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota diserahkan kepada provinsi dengan penyertaan dari daerah otonom kabupaten atau kota tersebut.

Otonomi dan Daya Jangkau Kekuasaan

Dalam kebijakan otonomi daerah itu tercakup pula konsepsi pembatasan terhadap pengertian kita tentang ‘negara’ yang secara tradisional dianggap berwenang untuk mengatur kepentingan-kepentingan umum.Dalam UU No.22 Tahun 1999 tersebut, yang dapat dianggap sebagai wilayah dayaj angkau kekuasaan negara (state) hanya sampai di tingkat kecamatan.

Secara akademis, organ yang berada di bawah struktur organisasi kecamatan dapat dianggap sebagai organ masyarakat, dan masyarakat desa dapat disebut sebagai‘self governing communities’ yang otonom sifatnya. Oleh karena itu, pada pokoknya, susunan organisasi desa dapat diatur sendiri berdasarkan norma-norma hukum adat yang hidup dan berkembang dalam kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat desa itu sendiri.

Secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat menjangkau atau turut campur dalam urusan pemerintahan desa.Biarkanlah masyarakat desa mengatur sendiri tata pemerintahan desa mereka serta mengatur perikehidupan bersama mereka di desa sesuai dengan kebutuhan setempat.Tidak perlu diadakan penyeragaman pengaturan untuk seluruh wilayah nusantara seperti yang dipraktekkan selama ini. Prinsip ‘self governing community’ ini sejalan pula dengan perkembangan pemikiran modern dalam hubungan antara ‘stateand civil society’  yang telah kita kembangkan dalam gagasan masyarakat madani.

Dalam pengembangan masyarakat madani, tidak saja masyarakat desa dikembangkan sebagai ‘self governing communities’, tetapi keterlibatan fungsi-fungsi organisasi pemerintahan secara umum dalam dinamika kegiatan masyarakat pada umumnya juga perlu dikurangi secara bertahap.

Hanya fungsi-fungsi yang sudah seharusnya ditangani oleh pemerintah sajalah yang tetap harus dipertahankan wilayah yang berada dalam daya jangkau kekuasaan negara. Sedangkan hal-hal yang memang dapat dilepaskan dan dapat tumbuh berkembang sendiri dalam dinamika masyarakat, cukup diarahkan untuk menjadi bagian dari urusan bebas masyarakat sendiri.


Dasar Hukum Otonomi Daerah

Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :

  1. Undang-undang Dasar Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
  2. Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Undang-Undang
    Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Baca Juga :  Kebijakan Tanam Paksa

Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.


Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah

Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan UU No. 22/1999 dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

  1. Sistim ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
  3. Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan demikian, wilayah administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
  4. Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 th 1974 sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99 kedudukanya diubah menjadi perangkat daerah Kabupaten atau daerah Kota.

Problem Otonomi Daerah


  • Pertama

pudarnya negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemimpin negara adalah atasan para pemimpin di bawahnya. Namun di Indonesia, apakah faktanya memang demikian? Kenyataannya sangat jauh dari itu. Bagaimanapun para gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai. Realitas ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka.

Undangan pertemuan pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara undangan pimpinan partai ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai uang negara. Ini membuat Indonesia seperti mempunyai banyak presiden. Walaupun para pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan kepala daerah yang didukung partai mereka.


  • Kedua

lemahnya jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur bukan atasan bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang jumlahnya lebih dari empat ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan politis yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik partai. Seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda. Kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando dari pusat ke daerah menjadi terputus. Kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan seluruh pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah.

Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal banyak program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan Menkes Siti Fadilah Supari terkait kegagalam penanganan flu burung, dimana instruksi dan dana dari departemen kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala daerah tidak mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan), kiranya cukup relevan sebagai contoh. Realitasnya NKRI sekarang telah tiada. Yang ada hanyalah persekutuan ratusan kabupaten dan kota di Indonesia.


  • Ketiga

semakin kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam pemerintahan di Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di partai dan perusahaan. Partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis. Pimpinan pusat bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi. Dan pimpinan tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. Ini membuat partai dan perusahaan di Indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. Partai dan perusahaan lebih terasa sebagai suatu “pihak”.

Ini lain dengan pemerintah yang lebih terasa sebagai “kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat persaingan”. Dengan melihat bahwa pemerintahan di Indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang umumnya mengandalkan dukungan para konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa konglomerat merupakan subjek atas partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. Ini berarti yang berkuasa di Indonesia adalah para konglomerat.

Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara (sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan Warren Buffet, orang terkaya di dunia, di atas APBN Indonesia).

Bisa dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang “mungkin terpecah” bisa dikuasai oleh VOC (sebuah perusahaan dunia), bagaimana sekarang ratusan daerah yang umumnya secara politis “sudah terpecah” menghadapi puluhan VOC baru yang kekuatannya di atas negara? Dari fakta ini saja sangat bisa dipahami mengapa Indonesia berada dalam cengkeraman korporatokrasi/konglomeratokrasi.


  • Keempat

terabaikannya urusan rakyat. Asumsi yang diberlakukan dalam konsep otonomi daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. Pelaksanaan asumsi ini adalah bahwa para gubernur, bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam komando pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol DPRD setempat. Sayangnya, bagaimanapun juga DPRD mempunyai realitas yang sama dengan para pimpinan pemerintahan dalam hubungannya dengan partai dan korporasi/konglomerat. Ini berarti kekuasaan korporasi justru semakin mengakar.


Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini :


  • UU No. 1 tahun 1945

Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.


  • UU No. 22 tahun 1948

Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat.


  • UU No. 1 tahun 1957

Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.

Baca Juga :  Tumbuhan Xerofit


  • Penetapan Presiden No.6 tahun 1959

Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.


  • UU No. 18 tahun 1965

Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja


  • UU No. 5 tahun 1974

Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional.


  • UU No. 22 tahun 1999

Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.


Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah

  1. Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
  2. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
  3. Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
  4. Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
  5. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
  6. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
  7. Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
  8. Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  9. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut mengenai batas laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  10. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
  11. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
  12. Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah. Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Proses Otonomi Daerah di Indonesia

Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara. Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan dengan berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan amandemen UU Otonomi Daerah.

Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah di Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 masing-masing digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Konsep Kebijakan Fiskal Daerah

Desentralisasi tidak hanya terkait dengan model pemerintahan, namun juga menyangkut paradigma ekonomi yang disebut desentralisasi ekonomi. Desentralisasi ekonomi mencakup aktivitas dan tanggung jawab ekonomi yang diimplementasikan pada level daerah. Upaya desentralisasi ekonomi antara lain liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi.

Berkaitan dengan hal tersebut, desentralisasi fiskal menjadi komponen utama proses

desentralisasi di Indonesia. Menurut Pakpahan (2006), desentralisasi fiskal meliputi:

  1. Pembiayaan mandiri (self financing) dan cost recovery dalam bidang pelayanan publik
  2. Peningkatan PAD
  3. Bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat
  4. Transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan lebih adil
  5. Kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasarkan kebutuhan daerah

demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Otonom Darah : Pengertian, Hakikat, Sejarah, Tujuan, Asas, Prinsip, Pembagian, Daya Jangau, Dasar Hukum, Pokok Pikiran, Problem, Perkembangan, Proses, Komsep, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.

Posting pada SD