Kebijakan Tanam Paksa

Diposting pada

Pengertian Tanam Paksa

Tanam Paksa Adalah Suatu pembangunan ekonomi yang DIbuat oleh pihak Belanda antara tahun 1830 sampai pertengahan abad ke-19. Sistem tanam paksa yang diterapkan pada zaman itu pada dasarnya ialah sebuah penghidupan kembali sistem eksploitasi dari zaman VOC yang berupa pengerahan wajib dan sistem pajak tanah. Oleh karena itu ciri pokok tanam paksa ada pada keharusan untuk membayar pajak dalam bentuk barang, yakni berupa hasil pertanian mereka, bukan dalam bentuk uang.

Kebijakan Tanam Paksa


Sejarah Awal Munculnya Kebijakan Tanam Paksa

Kebijakan ini muncul ketika Belanda berhasil menguasai Pulau Jawa, tetapi Belanda mengalami kebangkrutan. Hanya perkebunan kopi di daerah Priangan (Jawa Barat) yang masih mendatangkan keuntungan bagi Belanda.
Adapun keuntungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah habis dipakai untuk biaya militer dan administrasi.

Maka itulah, Belanda berusaha agar keberhasilan mereka menguasai Pulau Jawa juga memdatangkan keuntungan secara finansial.1 Kebangkrutan yang dialami Belanda ini merupakan akibat terjadinya Perang Jawa dan Revolusi Belgia. Peperangan-peperangan ini membuat utang dalam negeri Belanda berikut bunganya membubung tinggi. Sehingga pada tahun 1830, Johannes van den Bosch menyampaikan usulan kepada Raja Belanda.


Perkembangan Politik Tanam Paksa

Akibat perang Napoleon hutang dalam negeri Belanda dan pembayaran bunga atas hutangnya tersebut melonjak tinggi. Keadaan makin buruk saat Uni Belanda-Belgia yang dibentuk oleh hasil Kongres Wina pada tahun 1815 runtuh dalam revolusi Belgia pada tahun 1830. Usaha Belanda untuk menaklukan kembali Belgia pada tahun 1831-1832 mengalami kegagalan, kemudian pada tahun 1839 Belanda mengakui kemerdekaan Belgia. Dengan begitu Belanda sudah kehilangan sebagian dari wilayah negaranya.

Selama perang Jawa berlangsung, pihak Belanda memikirkan berbagai macam rencana untuk Jawa. Semuanya memiliki sasaran umum yaitu bagaimana bisa memperoleh hasil daerah tropis dalam jumlah dan harga yang tepat, sampai akan diperoleh keuntungan. Pada tahun 1829 Van den Bosch menyampaikan usulan-usulan kepada raja Belanda yang nanti akan disebut Cultuurstelsel. Raja menyetujui usulan-usulan itu, dan pada bulan Januari 1830 Van den Bosch tiba di Jawa sebagai gubernur jenderal yang baru.

Pemikiran Van den Bosch tentang Cultuurstelsel itu tidak pernah dirumuskan secara eksplisit, namun tampaknya sistem itu didasarkan pada sebuah prinsip umum yang sederhana. Desa-desa di Jawa menghutang pajak tanah (land-rent) pada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan sebesar 40 % dari hasil panen utama desa itu (beras). Dalam kenyataannya, taksiran yang sebenarnya seringkali di bawah angka ini dan pemungutan pajak itu seringkali sulit dilaksanakan karena tak cukup tersedianya sumber-sumber daya administrasi.

Baca Juga :  Akibat Pemanasan Global


Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa 

Sistem tanam paksa ini berisi ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Aturan-aturan itu dalam pelaksanaannya jauh menyimpang dari ketentuan sampai mengakibatkan penderitaan untuk masyarakat Jawa pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Pokok-pokok dari sistem tanam paksa ini adalah :

  • Akan diadakan perjanjian-perjanjian dengan rakyat, di mana rakyat akan memberikan sebagian dari tanah pertaniannya (sawah) untuk ditanami tanaman yang hasilnya nanti cocok untuk pasaran di Eropa.
  • Tanah yang diserahkan tersebut adalah 1/5 dari luas tanah pertanian sebuah desa.
  • Waktu yang dibutuhkan untuk tanaman itu sampai memberi hasil tidak boleh lama daripada penanaman padi.
  • – Tanah yang diserahkan tersebut, bebas dari pajak tanah.
  • Hasil semua tanaman tadi mesti diserahkan kepada pemerintah, kalau ternyata hasil taksiran dari hasil tanaman itu, lebih tinggi dari jumlah yang dibayar pemerintah maka selisihnya akan dikembalikan pada rakyat.
  • Kalau ada gangguan alam sampai panen menjadi rusak, maka kerugian ditanggung oleh pemerintah.
  • Rakyat bekerja di bawah pengawasan para kepala, pengawasan oleh para pegawai Eropa hanya terbatas pada kontrol pada pekerjaan panen dan transpor supaaya di jalankan pada waktu dengan baik.
  • Dalam beberapa hal umpamanya tentang gula, maka pekerjaan bisa dibagi sedemikian rupa sampai sebagian dari rakyat bisa mengerjakan penanaman sampai masak, sebagian hanya memanen, sebagian lagi mengurus pengangkutan sampai pabrik dan selebihnya bekerja di pabrik. Namun yang terakhir ini hanya dikerjakan kalau memang kekurangan tenaga kuli bebas.
  • Dalam hal dimana Cultuurstelsel mengalami kesulitan dalam pelaksanaan, mesti tetap berpegang pada pembebasan pajak tanah dan sebagai patokan bahwa petani sudah menjalankan tugasnya kalau dia sudah memelihara tanaman sampai dapat dipanen. Panenan dan pengerjaan hasil-hasil itu harus dijalankan dengan perjanjian baru atau cara-cara yang ditetapkan sebelumnya .

Dampak Sistem Tanam Paksa


  • Tanah dan Tenaga Kerja

Pelaksanaan sistem tanam paksa sudah mempengaruhi 2 unsur pokok kehidupan agraris pedesaan Jawa, yakni tanah dan tenaga kerja. Sistem tanam paksa pertama-tama mencampuri sistem pemilikan tanah penduduk pedesaan, karena para petani diharuskan memberikan tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor. Tuntutan akan kebutuhan tanah pertanian untuk penanaman tanaman ekspor yang dilakukan dengan ikatan desa sudah mempengaruhi pergeseran sistem pemilikan dan penguasaan tanah. Ini terjadi karena berbagai hal, baik karena adanya pertukaran atau pembagian tanah-tanah pertanian untuk pemerataan pembagian kewajiban menyediakan tanah dan kerja pada pemerintah, ataupun karena kecenderungan perusahaan pemilikan tanah perseorangan menjadi tanah komunal desa.

Baca Juga :  Asas Hukum Tata Negara

Selain tanah, sistem tanam paksa membutuhkan pengerahan tenaga kerja rakyat secara besar-besaran guna penggarapan lahan, penanaman, pemanenan, pengangkutan serta pengolahan di pusat-pusat pengelolaan atau pabrik. Pengerahan tenaga kerja yang dibutuhkan tersebut dilakukan dengan memakai ikatan organisasi desa. Oleh sebab itu, sistem tanam paksa menyentuh unsur tenaga kerja dari kehidupan masyarakat agraris di pedesaan Jawa. Dalam prakteknya, semua kerja yang dibutuhkan dengan cara sistem kerja paksa.


  • Politik Ekonomi Uang

Pelaksanaan sistem tanam paksa juga besar berarti dalam mengenalkan ekonomi uang ke dalam lingkungan kehidupan pedesaan agraris. Kehidupan perekonomian desa yang semula masih tradisional dan subsisten, secara berangsur-angsur berkenalan dengan ekonomi uang, yaitu lewat proses komersialisasi produksi pertanian dan pasaran kerja. Pengenalan penanaman tanaman ekspor dan penyerapan tenaga kerja bebas itu berlangsung saat sistem tanam paksa, pada dasarnya sudah menjadi pintu masuknya peredaran uang ke daerah pedesaan secara luas, yang besar pengaruhnya dalam membawa perubahan perekonomian desa ke arah kehidupan ekonomi pasar.

 Peredaran uang itu masuk antara lain lewat sistem pembayaran upah tanaman pada petani penanam (plantloon), pembayaran ”uang penggalak tanaman” (cultuurprocenten) pada para pejabat, pembayaran upah kerja bebas, dan dalam perkembangan terakhir pembayaran sewa tanah kepada petani.


  • Kelaparan

Bahaya kelaparan melanda daerah Jawa Tengah pada tahun 1849 hingga 1850, terutama terjadi di residen Semarang. Pada tahun 1850, residen Semarang penduduknya berkurang 9% sebagai akibat dari kematian serta pengungsian penduduk menuju daerah lain. Sebab yang mendasari terjadinya kelaparan ialah Kesewenang-wenangan pemerintah serta penyalahgunaan para pemimpin pribumi, Beberapa tanaman pemerintah yang wajib dilakukan oleh penduduk seperti kopi, tembakau, tebu, dan nila, Perluasan tanaman nila secara besar-besaran

 Tanaman nila ini menuntut lebih banyak tenaga pengerjaan dan memberikan upah sedikit serta lebih merugikan kalau dibanding dengan tanaman lain. Melihat kenyataan ini, maka pemerintah melaksanakan penggantian tanaman nila dengan tanaman tebu. Tanaman nila untuk penduduk menimbulkan keberatan besar dan berpengaruh pada harga padi yang sangat mahal. Selain disebabkan oleh pelaksanaan sistem tanam paksa, ada juga sebab lain contohnya kegagalan panen, berjangkitnya wabah penyakit.

Kekurangan bahan makanan secara mengerikan sempat terjadi di Demak dan Grobogan sebagai akibat kegagalan panen karena panen yang ada diserang oleh hama belalang serta berbagai praktek pemerasan, dimana mengenai hal ini pihak pemerintah Belanda sendiri tak pernah memikirkan pada akibat-akibat yang mengkhawatirkannya. Di daerah Demak, kesengsaraan terjadi karena terlalu tingginya pemungutan pajak tanah serta pelaksanaan dinas-dinas wajib untuk pembuatan benteng yang sangat memberatkan.


  • Penyakit

Penyakit tampaknya juga berkaitan dengan tempat tinggal dan makanan serta minuman atau kebiasan-kebiasaan lain dalam kehidupan sosial budaya orang-orang di desa. Di kabupaten Demak, Grobogan, dan Semarang kelaparan menyebabkan meningkatkannya angka kematian. Selama panen gagal dan kelaparan, banyak penduduk-penduduk daerah tersebut yang menikmati makan hanya sekali sehari ditambah dengan makanan tambahan kecil contohnya jagung, singkong, ubi. Oleh karena itu kegagalan panen serta kelaparan di Semarang sering diikuti oleh penyakit. Pengabaian pada masalah kebersihan juga menyebabkan penduduk mudah terserang penyakit. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tanah-tanah daratan pun mempengaruhi penyakit, khususnya perluasan pekerjaan-pekerjaan irigasi, pembukaan sawah-sawah baru, serta perbaikan komunikasi dan transportasi.

Baca Juga :  Efek Fotolistrik

Menghadapi situasi yang seperti itu, tak ada pemecahan atas permasalahan yang timbul ini, selain dengan cara-cara tradisional dan keyakinan. Penduduk di Jawa pada umumnya meyakini 2 penyebab utama timbulnya penyakit yaitu fisikal dan spiritual. Yang pertama menyangkut penyakit yang timbul dari sebab-sebab nyata contohnya sakit perut, luka dan lain-lain. Penyakit ini biasanya diobati menggunakan ramuan obat lokal yang dibuat dari tanaman yang tumbuh di halaman rumah orang desa. Sedangkan yang kedua menggunakan kekuatan supranatural seperti ilmu hitam. Dalam hal ini pasien dibawa ke dukun untuk mendapat pertolongan penyakit.

Kebijakan kesehatan pemerintah Belanda di Jawa abad ke-19 hanya berorientasi pada orang Eropa dan kolonial. Penekanan dan pelayanan kesehatan lebih ditujukan untuk melindungi kesehatan orang-orang Eropa, baik sipil ataupun militer dibanding untuk penduduk pribumi. Fasilitas-fasilitas kesehatan lebih banyak dikonsentrasikan di kota-kota pusat administratif Belanda contohnya Batavia, Semarang dan Surabaya. Penduduk di luar kota berada di luar kepentingan dan bahkan pelayanan pengobatan untuk pribumi juga sangat terbatas, karena halangan warna kulit dan biaya.


  • Teknologi Baru

Secara tidak langsung pelaksanaan sistem tanam paksa, pada dasarnya sudah mengenalkan teknologi baru, terutama dalam pengenalan biji-biji tanaman perdagangan, contohnya tebu, indigo dan tembakau, serta cara penanamannya, walaupun pengenalan teknologi pertanian baru yang terjadi pada masa itu belum bisa merangsang perubahan dan pertumbuhan perekonomian rakyat pedesaan pada umumnya.


Akhir Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa

Robert van Niel menyatakan runtuhnya sistem tanam paksa karena ada pandangan liberal baru yang ditandai oleh perubahan politik 1848 di Belanda. Hal tersebut memunculkan rasa tidak suka terhadap personalisme, favoritisme, dan otokrasi sistem kolonial di daerah Jawa.15 Maka itu, setelah Partai Liberal sukses menguasai Parlemen Belanda, dimulailah revisi UUD negeri Belanda. Selain itu, protes terhadap kebijakan tanam paksa juga dilancarkan sekelompok penulis, pegawai menteri, dan sebagian besar kaum kolonis lama.1


demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Kebijakan Tanam Paksa : Pengertian, Sejarah Awal Munculnya, Perkembangan, Pelaksanaan, Dampak Sistem, Akhir Pelaksanaan, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.

Posting pada SD