Sejarah Asas Legalitas
Asas legalitas yang panjangnya adalah nullum crimen (delictum), nulla poena sine praevia lege poenali, bersumber dari Bavarian Code di Jerman Tahun 1813. Asas ini ditulis dan dimasukkan ke dalam Bavarian Code oleh Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach. Asas ini menggaris bawahi bahwa tiada seorang pun yang dapat dipidana tanpa ada hukum yang terlebih dahulu mengatur demikian. Asas yang merupakan ciri dari Eropa Kontinental ini merupakan lawan dari asas retroactive, yang artinya bahwa pemidanaan berlaku surut terhadap kejahatan yang belum diatur secara hukum pada saat dilakukan.
Pengertian Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah “keabsahan sesuatu menurut undang undang“.
Secara historis asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Voirbacht dan penerapannya di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana.”
Adapun istilah legalias dalam syari’at Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati demikian, bukan berarti syari’at Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan hukum pidana Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansional menunjukkan adanya asas legalitas.
Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau keseweenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang.
Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumanya. Jadi, berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan sejara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana.
Sumber Hukum Asas Legalitas
Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Tuhan. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut.
Allah tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklif yang sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:
Al-Qur’an surat Al-Isra’: 15
Artinya:
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”
Al-Qur’an surat Al-Qashash: 59
Artinya:
“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam Keadaan melakukan kezaliman.”
Kedua ayat tersebut mengandung makna bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW supaya menjadi peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu.
Dari dua ayat di atas, dapat katagorikan pada tiga kaidah hukum asas legalitas dalam Islam yaitu:
- “la hukmu liaf’alil uqala’I qabla wuruudi an-nash”Tidak ada hukuman bagi perbuatan orang berakal sebelum adanya ketentuan nash.
- “la jariimata wala uquubata illa binnash“ Tidak ada tindak pidana dan hukuman kecuali telah diatur dalam nash.
- “Al ashlu fi al-asya’I al-ibahatu hatta yadullu ad-daliilu ‘ala at-tahriim” Asalnya semua perkara dan perbuatan adalah diperbolehkan hingga ada ketentuan yang melarang perbuatan tersebut.
Penerapan Asas Legalitas
Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-kejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti. Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan diletakanya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Jadi, tidak diragukan bahwa prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua katagori diatas.
Menurut Nagaty Sanad, professor hukum pidana dari Mesir, asas legalitas dalam Islam yang berlaku bagi kejahatan ta’zir adalah yang paling fleksibel, dibandingkan dengan kedua katagori sebelumnya.
Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga, dan masyarakat melalui katagorisasi kejahatan dan sanksinya.
Kemudian jika berpegang pada asas legalitas seperti yang dikemukakan pada bab di atas serta kaidah “tidak ada hukuman bagi perbuatan mukallaf sebelum adanya ketentuan nas”, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung jawaban pidana. Dengan demikian nas-nas dalam syari’at Islam belum berlaku sebelum di undangkan dan diketahui oleh orang banyak.
Demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Asas Legalitas : Pengertian, Sejarah, Sumber Hukum, Beserta Penerapannya. semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.