Asal Usul Rawa Pening

Diposting pada

Definisi Rawa Pening

Danau Rawa Pening adalah sebuah danau alami yang sangat indah. Dikelilingi oleh gunung-gunung, perbukitan, dan hamparan sawah yang luas. Membuat keindahan semakin mata serasa dimanjakan apalagi dengan adanya sebuah legenda rawapening yang melatar belakanginya. Danau rawapening terletak dikota Ambarawa.

Dengan luas area 2.700 hektar diperkirakan danau alam rawa pening sudah terbentuk sejak sekitar 18000 sampai 13000 tahun sebelum masehi. Kemudian mencapai luas tebesarnya pada sekitar 11000 hingga 9000 tahun sebelum masehi, akan tetapi pada saat ini luas danau rawa pening telah menyusut karena pesatnya perkembangan tumbuhan eceng gondok (Eichomia crassipes).

Dampak pendangkalan danau rawa pening karena eceng gondok ini menyebabkan ketidakseimbangan ekologis yang menyebabkan ancaman bagi danau rawapening dan juga menyebabkan daya tampung air danau berkurang, sehingga fungsi air danau untuk berbagai keperluan baik untuk penghidupan masyarakat di sekitar danau dan di wilayah hilirnya menjadi terganggu, banjir disekitar danau. Selain itu, Eksploitasi sumberdaya danau dilakukan secara intensif untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sekitar kawasan. Pemanfaatan sumberdaya semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.


Fungsi dan Peranan Danau Rawa Pening

Sebagai danau alami yang bertugas menampung air alam dari pegunungan disekitarnya, maka tidaklah heran jika rawa pening mempunyai peranan yang sangat besar teritama bagi kehidupan masyarakat di sekitar Rawa Pening. Adapun fungsi-fungsi dari Danau rawa Pening,yaitu :


  • Danau Rawa Pening sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)

Fungsi danau Rawa Pening sebagai pembangkit listrik tenaga air didukung dengan adanya sebua pembangkit di desa Jelong yang berada di Rawa Pening, pembangkit listrik ini sangat memadai untuk kebutuhan masyarakat sekitar Danau Rawa Pening.


  • Danau Rawa Pening sebagai Pusat Irigasi

Dengan adanya sumber air yang melimpah, maka selain sebagai peternak ikan banyak masyarakat sekitar Rawa Pening yang memanfaatkan tanah di sekitar Danau Rawa Pening sebagai tanah pertanian atau persawahan. Dengan adanya Rawa Pening, persawahan yang menghampar luas di sekitar Rawa Pening telah mampu menghasilkan produksi padi yang sangat baik dan melimpah. Hal ini tentu saja didukung dengan adanya sumber pengairan irigasi yang baik dari air Danau Air Pening


  • Danau Rawa Pening sebagai Mata Pencaharian

Salah satu hasil lain dari Rawa Pening adalah ikan-ikan air tawar dan eceng gondok. Eceng Gondok adalah sebuah tanaman air rawa yang hidup mengambang di permukaan air. Manfaat Eceng Gondok yang sangat besar inilah yang saat ini merupakan sumber mata pencaharian para penduduk sekitar. Eceng Gondok memang sekarang ini telah menjadi bahan utama aneka produk kerajinan tangan yang sangat bagus. Saat ini Danau Rawa Pening telah menjadi salah satu daerah penyuplai kebutuhan eceng gondok bagi berbagai industri kerajinan tangan di berbagai tempat khususnya Jawa.


  • Danau Rawa Pening sebagai Pengendali Banjir

Letak Danau Rawa Pening yang tepat di tengah-tengah di bawah kaki semua pegunungan di sekelilingnya membuat Rawa Pening juga memiliki fungsi sebagai danau pengendali banjir. Danau Rawa Pening mampu menampung air yang sangat banyak terutama pada masa musim penghujan. Dengan adanya Rawa Pening ini maka semua air hujan dapat tertampung dengan balk di sini. dan membuat kota-kota di sekitar Rawa Pening aman dari banjir.

Baca Juga :  Usaha Peningkatan Hasil Agraris


Asal Usul Rawa Pening

Alkisah Pada Zaman Dahulu kala, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat desa bernama Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang dikenal pemurah dan suka menolong hingga sangat dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, mereka belum dikaruniai seorang anak. Meskipun  begitu, Ki Hajar dan istrinya selalu hidup rukun. Setiap menghadapi permasalahan, mereka pasti menyelesaikannya lewat musyawarah.

Suatu ketika, Nyai Selakanta sedang duduk terdiam seorang diri di depan rumahnya. Tidak lama kemudian Ki Hajar datang duduk di sampingnya.

Istriku kenapa kamu terlihat sedih? kata Ki Hajar.

Nyai Selakanta masih pula terdiam. Dia ternyata masih tenggelam dalam lamunannya sampai tidak menyadari keberadaan ki hajar di sampingnya. Dia baru sadar setelah Ki Hajar memegang pundaknya.

Eh, Kanda  ucapnya dengan terkejut.

Istriku, apa yang kamu pikirkan? Ki Hajar bertanya.

Tidak memikirkan apa-apa, Kanda. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi kalau Kanda sedang pergi. Setidaknya di rumah ini selalu terdengar suara tangis dan rengekan seorang bayi, tentu hidup ini tak sesepi ini, kata Nyai Selakanta, Sejujurnya Kanda, Dinda ingin sekali memiliki anak. Dinda mau merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.”

Mendengar ucapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghela nafas panjang.

Sudahlah, Dinda. Mungkin belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus berusaha dan terus berdoa kepada-Nya, kata Ki Hajar.

Iya, Kanda, jawab Nyai Selakanta dengan meneteskan air mata.

Ki Hajar pun tak kuasa menahan air matanya melihat kesedihan istri yang sangat dicintainya itu.

Baiklah, Dinda  kalau memang Dinda sangat menginginkan anak, izinkanlah Kanda pergi bertapa untuk memohon pada Yang Maha kuasa, ucap Ki Hajar.

Nyai Selakanta juga memenuhi keinginan suaminya, walaupun berat untuk berpisah. Besoknya berangkatlah Ki Hajar ke lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah sekarang Nyai Selakanta seorang diri dengan hati semakin sepi.

Berminggu-minggu, bahkan telah berbulan-bulan Nyai Selakanta menunggu, tapi sang suami belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu juga mulai diselimuti perasaan cemas kalau-kalau terjadi sesuatu pada suaminya.

Suatu ketika, Nyai Selakanta merasa mual lalu muntah-muntah. Dia pun berpikir bahwa dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya benar Semakin hari perutnya pun semakin membesar. Setelah tiba

waktunya, dia pun melahirkan. Tapi, alangkah terkejutnya dia karena anak yang dilahirkan bukanlah seorang manusia, tapi seekor naga.

Dia menamai anak tersebut Baru Klinthing. Nama ini diambil dari nama tombak punya suaminya yang bernama Baru Klinthing. Kata baru berasal dari kata bra yang berarti keturunan Brahmana, yakni seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sedangkan kata Klinthing artinya lonceng.

Ajaibnya, walaupun berwujud naga, Baru Klinthing bisa berbicara seperti manusia. Nyai Selakanta juga terheran-heran bercampur haru melihat keajaiban tersebut. Tapi di sisi lain, dia juga sedikit merasa kecewa. Karena, betapa malunya dia kalau warga mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor naga. Untuk menutupi hal itu, dia pun berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur. Tapi sebelum itu, dia harus merawatnya terlebih dahulu sampai besar supaya bisa menempuh perjalanan menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selakanta merawat Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa diketahui warga.

Baca Juga :  Teori Kewarganegaraan

Dan waktunya  Baru Klinthing pun tumbuh menjadi remaja. Suatu hari, anak tersebut bertanya kepada ibunya.

Bu, apakah aku memiliki ayah? tanyanya.

Nyai Selakanta langsung kaget. Dia benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan tersebut keluar dari mulut anaknya. Tapi, hal itu sudah menyadarkan dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing mengetahui siapa ayahnya.

Iya, anakku Ayahmu bernama Ki Hajar Tapi, ayahmu sekarang sedang bertapa di lereng Gunung Telomoyo. Pergilah temui dia dan katakan padanya bahwa kamu adalah putranya, ucap Nyai Selakanta.

Tapi, Bu Apakah ayah akan mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini? tanya Baru Klinthing ,

Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru Klinthing ini sebagai buktinya, ucap Nyai Selakanta, Pusaka itu punya ayahmu.

Sesudah memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat ke lereng Gunung Telomoyo. Sesampainya di sana, masuklah dia ke dalam gua dan mendapati seorang laki-laki sedang duduk bersemedi. Kedatangan Baru Klinting ternyata mengusik ketenangan pertapa itu.

Hai, siapa itu? tanya pertapa itu.

Maafkan saya, tuan kalau kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan, kata Baru Klinting.

Betapa terkejutnya pertapa itu ketika melihat seekor naga yang bisa berbicara.

Siapa kamu dan mengapa kamu bisa berbicara seperti manusia? tanya pertapa itu.

Saya Baru Klinthing, jawab Baru Klinthing. Kalau boleh tahu, apa benar ini tempat bertapa Ki Hajar?

Iya aku Ki Hajar Tapi Dari kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya? kata pertapa itu .

Mendengar jawaban tersebut, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di hadapan ayahnya. Dia lalu menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Hajar tidak percaya kalau dirinya mempunyai anak berujud seekor naga. Ketika naga itu menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Hajar langsung mulai percaya. Tapi, dia belum yakin sepenuhnya.

Baiklah, aku percaya kalau pusaka Baru Klinthing itu adalah punyaku. Tapi, bukti tersebut belum cukup bagiku. Kalau kamu memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini! kata Ki Hajar.

Baru Klinthing langsung melaksanakan perintah itu untuk meyakinkan sang ayah. Dengan kesaktian yang dimiliki, Baru Klinting berhasil melingkari Gunung Telomoyo. Akhirnya, Ki Hajar pun mengakui bahwa naga tersebut adalah anaknya. Setelah itu, dia kemudian memerintahkan anaknya untuk bertapa di Bukit Tugur.

Pergilah bertapa ke Bukit Tugur! kata Ki Hajar, Suatu saat nanti, tubuhmu akan berubah menjadi manusia.

Baiklah ayah, jawab Baru Klinthing.

Sementara itu, tersebutlah sebuah desa yang bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, tapi sayang penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu waktu, penduduk Desa Pathok bermaksud mengadakan merti dusun (bersih desa), yakni pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk memeriahkan pesta, akan digelar berbagai macam pertunjukan seni dan tari. Berbagai makanan lezat juga akan disajikan sebagai hidangan bersama serta jamuan untuk para tamu undangan. Karena itu para warga beramai-ramai berburu binatang di Bukit Tugur.

Sudah hampir seharian mereka berburu, tapi belum satu pun binatang yang tertangkap. Saat mau kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini adalah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai menangkap serta memotong-motong daging naga tersebut kemudian membawanya pulang. Sesampainya di desa, daging naga tersebut mereka masak untuk dijadikan hidangan dalam pesta.

Baca Juga :  Hakikat Ideologi

Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh dengan luka sampai menimbulkan bau amis. Rupanya, anak laki-laki tersebut adalah penjelmaan Baru Klinthing. Oleh karena lapar, Baru Klinthing juga ikut bergabung dalam keramaian itu. Saat dia meminta makanan kepada warga, tidak satu pun yang mau memberi makan. Mereka malah memaki-maki, bahkan mengusirnya.

Hai pengemis. Cepat pergi dari sini! kata para warga, Tubuhmu bau sangat amis.

Sungguh malang nasib Baru Klinthing Dengan perut keroncongan, dia juga berjalan sempoyongan mau meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan seorang janda tua bernama Nyi Latung.

Hai, anak muda Kenapa kamu tak ikut berpesta? kata Nyi Latung.

Semua orang menolak aku hadir di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku, kata Baru Klinthing, Padahal, aku sangat lapar.

Nyi Latung yang baik hati itu juga mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu langsung menghidangkan makanan lezat.

Terima kasih, Nek kata Baru Klinthing Ternyata masih ada juga warga yang baik hati di desa ini.

Iya, cucuku Semua warga di sini sombong. Mereka juga tidak mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihatku, kata Nyi Latung.

Kalau, begitu Mereka harus diberi pelajaran kata Baru Klinthing. Kalau nanti Nenek mendengar suara gemuruh, langsung siapkan lesung kayu!

Baru Klinthing kemudian kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Sesampainya di tengah keramaian, dia menancapkan lidi itu ke tanah.

Wahai, kalian semua kalau kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang kutancapkan ini! kata Baru Klinthing.

Merasa diremehkan, warga pun beramai-ramai mau mencabut lidi tersebut. Pertama tama, para anak kecil disuruh mencabutnya, tapi tak seorang juga yang berhasil. Saat giliran para kaum perempuan, semuanya tetap saja gagal. Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu persatu tapi tak seorang pun dari mereka yang bisa mencabut lidi itu.

Ah, kalian semua payah Mencabut lidi saja tidak bisa, ucap Baru Klinthing.

Baru Klinthing langsung mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, dia pun bisa mencabut lidi itu dengan mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh juga menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi tersebut. Semakin lama semburan air semakin besar sampai terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut mau menyelamatkan diri. Tapi, usaha mereka sudah terlambat karena banjir sudah menenggelamkan mereka. Seketika, desa tersebut berubah menjadi rawa atau danau, yang sekarang dikenal dengan Rawa Pening.

Sementara itu, sesudah mencabut lidi  Baru Klinthing langsung berlari menemui NyiLatung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Maka,selamatlah dia bersama nenek itu. Sesudah peristiwa itu, Baru Klinthing kembalimenjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.


Wisata Alam dan Pemandangan Danau Rawa Pening

Keindahan danau alam Rawa Pening memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Banyak potensi wisata yang bisa dimanfaatkan dengan adanya Danau Rawa Pening. Aneka jenis wisata bisa diolah dari keberadaannya seperti misalnya wisata alam dengan menikmafi keindahan danau Rawa Pening. Baik dari tepi danau maupun dengan menyusuri tengah danau menggunakan perahu.


demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Asal Usul Rawa Pening : Definisi, Fungsi, Peran, Wisata Aalam Beserta Pemandangannya semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.

Posting pada SD