Pengertian Mahkamah Konstitusi
Mahkamah konstitusi adalah lembaga tinggi sebuah negara pada sistem ketatanegaraan Indonesia yang memegang wewenang kehakiman bersama dengan Mahkamah Agung.
Berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 2003 pasal 1. Mahkamah Konstitusi merupakan salah salah satu lembaga negara yang menjalankah wewenang kehakiman yang merdeka untuk penyelenggaraan peradilan untuk penegakan hukum dan keadilan.
Sejarah Mahkamah Konstitusi
Mahkamah konstitusi terbentuk berasal dari amandemen konstitusi yang dijalankan MPR di tahun 2001, hal tersebut diikuti dengan pengadopsian constituional count atau Mahkamah Konstitusi. Ide yang dibuat untuk membentuk Mahkamah Konstitusi ini adalah bagian dari perkembangan mengenai pemikiran hukum di abad 20.
Undang-Undang Dasar telah mengalami beberapa kali perubahan. Tetapi perubahan ketiga yang berkaitan dengan penantian pembentukan mahkamah konsitusi. Pada perubahan tersebut dilakukan penetapan bahwa mahkamah agung melakukan fungsi dari Mahkamah Konsitusi.
Fungsi tersebut dilaksanakan MA sampai MK terbentuk. Hal ini terdapat pada pasal 3 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Keempat.
Sesudah Mahkamah Konstitusi terbentuk memiliki aturan dan pedoman dalam melaksanakan tugas dengan benar, DPR bersama pemerintah bekerja sama untuk membuat Rancangan Undang-Undang tentang Konstitusi. Di 13 Agustus 2003, hasil permusyawaratan dan pembahasan yang detail antara DPR dan pemerintah tentang Mahkamah Konstitusi menghasilkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang mahkamah konstitusi.
Pada tanggal 15 Agustus 2003, dikeluarkan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003. Keputusan itu berhubungan dengan Hakim Konstitusi pertama, kemudian pada tanggal 16 Agustus dilaksanakan pembacaan sumpah jabatan oleh para Hakim Konstitusi di Istana Negara.
Adanya Keputusan Presiden yang dikeluarkan oleh Hakim Konstitusi yang dibentuk, maka sejak itu Mahkamah Konstitusi telah terbentuk.
Tugas Mahkamah Konstitusi
- Melaksankan pengujian Undang-Undang pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Memutuskan permasalahan kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Membuat keputusan pembubaran partai politik.
- Membuat keputusan mengenai perselisihan hasil pemilu (pemilihan umum).
- Memberikan keputusan pada pendapat dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD 1945.
- Mencari bukti mengenai permasalahan dengan tentang pejabat negara, pejabat pemerintah atau warga masyarakat.
Fungsi Mahkamah Konstitusi
- Melakukan pengawalan konstitusi di Indonesia. Hal ini maksudnya bahwa Mahkamah Konstitusi harus melaksanakan penegakan konstitusi sesuai dengan UUD 1945.
- Menjaga dan menjamin saat terjadinya penyelenggaraan konstitusionalitas hukum.
- Melaksanakan pengujian Undang-Undang pada Undang-Undang 1945.
- Membuat putusan sengketa yang terjadi terhadap lembaga negara
- Membuat putusan pembubaran suatu partai politik pada dasar alasan tertentu.
- Jika terjadi sengketa pada hasil pemilu, maka mahkamah konstitusi mempunyai hak memutuskan sengketa tersebut.
Wewenang Mahkamah Konstitusi
-
Menguji UU Terhadap UUD 1945.
Kewenangan yang paling penting adalah kewenangan yang harus dilakukan oleh MK (Mahkamah Konstitusi) menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kewenangan untuk melaksanakan pengujian konstitusi undang-undang. yang dapat dikatakan paling banyak di sorotan di dunia ilmu pengetahuan ialah pengujian atas konstitusi Undang-undang. MK (Mahkamah Konstitusi) harus dapat membangun karakter bangsa diera globalisasi sekarang ini, yang mana hukum peradilan harus tegak setegak-tegaknya dengan begitu nilai-nilai pendidikan karakter bangsa dalam segi hukum akan terwujud.
-
Memutuskan Sengketa Pendapat
Mengenai hal sengketa dalam segala hal kewenangan lembaga konstitusi negara adalah adanya perbedaan pendapat atau pemikiran yang disertai persengketaan lainnya pada kewenangan setiap lembaga negara tersebut. Hal ini dapat terjadi mengingat sistem hubungan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang artinya sederajat tetapi saling mengendalikan satu dengan yang lainnya.
-
Memutuskan Pembubaran Partai Politik
Kebebasan Partai politik dalam berpartai ialah cerminan kebebasan manfaat organisasi dalam masyarakat dan bernegara untuk berserikat yang terdapat pada Pasal 28 ayat (3) UUD 1945. Oleh sebab itu, setiap orang sesuai dengan ketentuan UU bebas mendirikan dan ikut ambil dalam kegiatan parpol. Karena itu, pembubaran parpol bukan oleh anggota partai politik yang berkaitan merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2005 (Bagian III – Habis): “Permohonan Dikabulkan”
Amandemen terhadap UUD 1945 telah membawa banyak perubahan pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya hadirnya Lembaga (tinggi) Negara Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai pengawal dan penafsir tunggal UUD 1945. Berbagai putusan yang bermuara dengan dikabulkannya permohonan telah banyak dijatuhkan oleh lembaga tersebut, khususnya terhadap permohonan pengujian undang-undang (judicial review) terhadap UUD 1945. Akibat dikabulkannya permohonan ini, maka Pasal dan/atau Bagaian yang diuji dari suatu UU akan menjadi tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi warga negara.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang berkecimpung di dalam dunia hukum untuk mengetahui latar belakang dan apa saja Pasal dan/atau Bagian dari UU yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Jangan sampai ketentuan yang sudah dinyatakan oleh Mahkamah sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat, masih digunakan dalam penerapan hukum sehari-hari, seperti misalnya kasus penahanan seorang konsultan hukum di daerah Jawa Tengah yang masih didalilkan berdasarkan Pasal yang sebenarnya sudah tidak berlaku lagi.
Tulisan ini sengaja menguraikan intisari dari setiap Putusan tahun 2005 dengan amar “Permohonan Dikabulkan”, sehingga memudahkan siapapun untuk mengetahui secara singkat dan cepat tanpa harus membaca keseluruhan isi Putusan yang biasanya mencapai ratusan halaman. Semoga dengan memahami secara sederhana akan putusan-putusan berikut, akan pula menimbulkan kesadaran akan hak-hak konstitusional kita lainnya yang secara tegas telah dijamin dalam UUD 1945. Bilamana dilanggar, maka kita sudah tahu betul instrumen hukum apa yang harus kita tempuh dan lewati, yaitu salah satunya dengan jalan mengajukan upaya judicial review ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Selamat membaca!
A. PERMOHONAN DIKABULKAN SELURUHNYA
1. Putusan Perkara 067/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1995 tentang Mahkamah Agung (PDF).
• “Advokat Tidak Diawasi Oleh Pemerintah dan DPR”.
Perkara ini diajukan oleh Dominggus Maurits Luitnan, S.H., L.A. Lada, S.H., dan H. Ali Tjasa, S.H., M.H., yang ketiga-tiganya berprofesi sebagai advokat. Pada nantinya Pemohon secara khusus meminta MK menguji ketentuan Pasal 36 (beserta penjelasannya) UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) terhadap UUD 1945.
Pasal 36 UU MA berbunyi, “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris.” Pasal 36 UU MA telah menimbulkan tidak terdapatnya persesuaian dengan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan sejumlah UU lain. Sesungguhnya Pasal 54 UU Nomor 2 Tahun 1986 (diubah oleh UU Nomor 8 Tahun 2004) yang mengatur tentang pengawasan terhadap advokat telah dicabut secara menyeluruh oleh UU Jabatan Notaris.
Dengan demikian secara tidak langsung juga berarti telah mengubah ketentuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 juncto UU Nomor 5 Tahun 2004. Perubahan tersebut membawa implikasi yuridis bahwa pengawasan terhadap advokat yang sebelumnya dilakukan oleh MA dan pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang berada di bawahnya, sudah tidak berlaku lagi. Dalm hal ini yang berlaku adalah ketentuan ayat (1) yang menyatakan, “Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh organisasi Advokat,” sementra pada ayat (2)-nya dikatakan, “Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan.”
Berdasarkan analisa dan alur berpikir sebagaimana diuraikan di atas, meskipun MK tidak menemukan adanya hak konstitusional para Pemohon yang dilanggar dengan tidak diubahnya ketentuan Pasal 36, namun di pihak lain, telah nyata bahwa pembentuk undang-undang tidak cermat dalam melaksanakan kewenangannya. Ketidakcermatan tersebut berakibat pada timbulnya inkonsistensi antara satu undang-undang dengan UU lainnya.
Sehingga terlepas dari kekurangan para Pemohon dalam membangun argumentasi guna mendukung dalil-dalilnya, MK bekesimpulan bahwa ketidakcermatan dalam proses perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 menjadi UU Nomor 5 Tahun 2004, yang tidak mengubah Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 dimaksud, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya. Setelah berlakunya Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka keberadaan dan keberlakuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 (sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004), bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan oleh karenanya permohonan para Pemohon harus dikabulkan.
Meskipun MK berpendirian Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945, pendirian MK tersebut tidak dimaksudkan untuk diartikan bahwa Advokat sama sekali terlepas dari pengawasan pihak-pihak lain.
MK menilai bahwa pengawasan terhadap suatu profesi, lebih-lebih yang fungsinya melayani kepentingan public, adalah suatu keniscahyaan, bahkan dapat dikatakan merupakan hal yang bersifat melekat (inherent) pada profesi itu sendiri. Sehingga, pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi suatu profesi yang melayani kepentingan public dimaksud merupakan kebutuhan sekaligus keharusan agar public yang dilayani oleh profesi itu tidak dirugikan.
Oleh karena itu, independensi atau kemandirian suatu profesi tidak boleh diartikan bebas dari pengawasan. Namun, pengawasan juga tidak boleh diartikan sedemikian rupa sehingga sulit dibedakan dengan campur tangan yang terlalu jauh yang megakibatkan seseorang yang menjalankan suatu profesi, dalam hal ini profesi advokat, menjadi terhambat dalam melaksanakan fungsinya secara independent.
2. Putusan Perkara Nomor 005/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PDF).
• “Penjelasan UU Tidak Boleh Membuat Norma Baru”.
Perkara pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU Pemda) diajukan oleh beberapa pihak yang bertindak selaku perorangan dan kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama maupun sebagai pihak yang mewakili badna hukum (partai politik). Dalam hal mewakili partai politik, para Pemohon adalah Ketua DPD dari 12 perwakilan (cabang) partai politik yang berada di Sulawesi Utara.
Para Pemohon meminta MK untuk melakukan pengujian atas Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda. Ketentuan penjelasan Pasal 59 ayat (1) disinyalir oleh Pemohon justru membuat ketentuan baru yang berbeda dengan ketentuan dalam” Pasal 59 UU Pemda itu sendiri. Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda yang berbunyi, “Partai Politik atau gabungan partai politik dalam ketentuan ini adalah partai politik atau gabungan partai poltik yang memiliki kursi di DPRD” telah menegasikan atau menghilangkan substansi norma (batang tubuh) Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda.
Padahal menurut Para Pemohon, Pasal 59 ayat (1) yang berbunyi, “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai atau gabungan partai politik” dan ayat (2) yang berbunyi, “Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen ) dari akumulasi perolehan suara sah dalam kepemilikan umum anggota DPRD yang bersangkkutan” sudah jelas substansinya.
B. PERMOHONAN DIKABULKAN SEBAGIAN
1. Putusan Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PDF).
• “Antara Pilkada Langsung dan Pemilihan Umum”.
Secara keseluruhan, para Pemohon dalam perkara ini mengajukan pengujian terhadap Pasal-Pasal UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda yang terdiri atas 10 (sepuluh) butir yaitu Pasal 1 angka 21 sepanjang menyangkut anak kalimat, “… yang diberik wewenang khusus oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota”, Pasal 57 ayat (1) sepanjang menyangkut anak kalimat
“… dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; Pasal 66 ayat (3) huruf e; Pasal 67 ayat (1) huruf e; Pasal 62 ayat (2) sepanjang menyangkut anak kalimat “… oleh DPRD”; Pasal 89 ayat (3) sepanjang menyangkut anak kalimat, “…diatur dalam Peraturan Pemerintah”; Pasal 94 ayat (2) sepanjang menyangkut anak kalimat, “ … berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; dan Pasal 114 ayat (4) sepanjang menyangkut anak kalimat, “ … diatur dalam Peraturan Pemerintah”, UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 22E ayat (5).
2. Putusan Perkara Nomor 066/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (PDF).
• “Kewenangan MK Menguji UU Sebelum Terjadi Amandemen UUD 1945”
Pemohon dalam perkara ini adalah Warga Negara Indonesia sebagai pengusaha di bidang usaha kecil menengah yang bergabung dan membentuk Kadin UKM. Keinginan tersebut muncul karena sebagai pengusaha kecil tidak dapat menyalurkan aspirasi dan tidak dapat mendapat pelayanan penuh dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1987.
Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menetapkan undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan pertama UUD 1945, sehingga telah menghambat konstitusionalitas dan merugikan hak konstitusi Pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian undnag-undang yang diundangkan sebelum perubahan UUD 1945. Pemohon mendalailkan bahwa Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Hukum Acara
Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh peradilan biasa.[12] Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review).[13]
Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umunya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.
Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya.
Hanya saja jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan TUN dengan aturan hukum acara perdata maka secara mutatis mutandis juga aturan hukum acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuay dalam UU Mahakamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek.
Pemohon
Dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi, sebenarnya siapa sajakah yang boleh memohon (legal standing)? Ternyata tidak semua orang boleh mengajukan perkara permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon.[9] Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata[10] maupun hukum acara tata usaha negara tidak dapat dijadikan dasar.
Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Persyaratan legal standing atau kedudukan hukum dimaksud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.
Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di MK ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, yang bunyinya sebagai berikut:
Perorangan warganegara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
Badan hukum publik atau privat; atau
Lembaga Negara.
Hal yang perlu diingat bahwa pemohon harus mampu menguraikan dalam permohonannya mengenai hak dan kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan hak dan kewenangan kosntitusional? Seperti telah diuraikan di atas, kepentingan hukum saja tidak cukup untuk menjadi dasar legal standing dalam mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi, tetapi terdapat dua hal yang harus diuraikan dengan jelas. Dua kriteria dimaksud adalah
Kualifikasi pemohon apakah sebagai (i) perorangan Warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (iii) badan hukum publik atau privat, atau (iv) lembaga negara;
Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Asas –Asas hukum Acara MK
Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjalankan kewenangannya sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman memiliki panduan dalam menjalankan persidangan.Panduan tersebut berupa asas-asas hukum yang digunakan sebagai pegangan bagi para hakim dalam menjalankan tugasnya mengawal konstitusi. Asas tersebut meliputi:
a. Persidangan Terbuka untuk Umum
Pasal 19 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pengadilan terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini juga berlaku bagi persidangan pengujian undang-undang.Dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa persdiangan terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.Persidangan yang terbuka merupakan sarana pengawasan secara langsung oleh rakyat.Rakyat dapat menilai kinerja para hakim dalam memutus sengketa konstitusional.
b. Independen dan Imparsial
MK merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang bersifat mandiri dan merdeka.Sifat mandiri dan merdeka berkaitan dengan sikap imparsial (tidak memihak).Sikap independen dan imparsial yang harus dimiliki hakim bertujuan agar menciptakan peradilan yang netral dan bebas dari campur tangan pihak manapun. Sekaligus sebagai upaya pengawasan terhadap cabang kekuasaan lain. Selain itu hakim MK juga menjunjung tinggi konstitusi sebagai bagian dalam sengketa pengujian undang-undang.Apabila hakim tidak dapat menempatkan dirinya secara imbang merupakan penodaan terhadap konstitusi.
c. Peradilan Cepat, Sederhana, dan Murah
Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan bahwa peradilan harus dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan.Dalam prakteknya MK membuat terobosan besar dengan menyediakan sarana sidang jarak jauh melalui fasilitas video conferrence.Hal ini merupakan bagian dari upaya MK mewujudkan persidangan yang efisien.
d. Putusan bersifat ErgaOmnes
Berbeda dengan peradilan di MA yang bersifat inter partes artinya hanya mengikat para pihak bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan umum. Pengujian undang-undang di MK merupakan peradilan pada ranah hukum publik.Sifat peradilam di MK adalah ergaomnes yang mempunyai kekuatan mengikat.Dengan demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.
e. Hak Untuk Didengar Secara Seimbang (Audi Et AlteramPartem)
Dalam berperkara semua pihak baik pemohon atau termohon beserta penasihat hukum yang ditunjuk berhak menyatakan pendapatnya di muka persidangan. Setiap pihak mempunyai kesempatan yang sama dalam hal mengajukan pembuktian guna menguatkan dalil masing-masing.
f. Hakim Aktif dan Pasif dalam Persidangan
Karakteristik peradilan konstitusi adalah kental dengan kepentingan umum ketimbang kepentingan perorangan. Sehingga proses persidangan tidak dapat digantungkan melulu pada inisiatif para pihak. Mekanisme constitutional control harus digerakkan pemohon dengan satu permohonan dan dan dalam hal demikian hakim bersifat pasif dan tidak boleh aktif melakukan inisiatif untuk melakukan pengujian tanpa permohonan.
g. Ius Curia Novit
Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan pengadilan tidak boleh menolak memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih tidak ada dasar hukumnya atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.Dengan demikian pengadilan dianggap mengetahui hukum. Asas ini ditafsirkan secara luas sehingga mengarahkan hakim pada proses penemuan hukum (rechtsvinding) untuk menemukan keadilan.
Sumber Hukum Acara MK
Dalam mewujudkan fungsinya itu pada dasarnya terimplementasi dalam proses peradilan yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. Sebagai sebuah lembaga peradilan, maka tentu proses peradilan di Mahkamah Konstitusi diatur dalam suatu hukum acara dan yang menjadi sumber hukum dari hukum acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
- UUD 1945
- UU NO. 24 TAHUN 2003 (dan UU terkait);
- PMK-PMK
- PUTUSAN MK
- Konvensi/Perjanjian Internasion• PMK Nomor 006/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
- PMK Nomor 008/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan
- Konstitusional Lembaga Negara.
- PMK Nomor 15/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.
- PMK Nomor 16/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan
- Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
- PMK Nomor 17/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
- PMK Nomor 18/PMK/2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference).
- PMK Nomor 19/PMK/2009 tentang Tata Tertib Persidangan.
- PMK Nomor 21/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Peraturan Mahkamah Konstitusi RI
- Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 21/PMK/2009
Pedoman beracara dalam memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 19/PMK/2009
Tata Tertib Persidangan - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 18/PMK/2009
Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference) - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 17/PMK/2009
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum presiden Dan Wakil Presiden - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 16/PMK/2009
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 15/PMK/2008
Pedoman BeracaraDalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 14/PMK/2008
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 12/PMK/2008
Tentang Prosedur Beracara Partai Politik - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 11/PMK/2006
Tentang Pedoman Administrsiyustisial mahkamah Konstitusi - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 08/PMK/2006
Tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 07/PMK/2005
Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 06/PMK/2005
Tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 05/PMK/2004
Tentang Prosedur Pengajuan Keberatan atas Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 04/PMK/2004
Tentang Pedoman Beracara dalam Persidangan Hasil Pemilihan Umum - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 03/PMK/2003
Tentang Tata Tertib Persidangan pada Mahkamah Konstitusi - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 02/PMK/2003
Tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku - Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 001/PMK/2003
Tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
Undang – Undang tentang MK
- Pasal 28 – Pasal 49: Ketentuan hukum acara yang bersifat umum
- Pasal 50 – Pasal 60 untuk Pengujian Undang-undang
- Pasal 61 – Pasal 67 untuk Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
- Pasal 68 – Pasal 73 untuk Pembubaran Partai Politik
- Pasal 74 – Pasal 79 untuk Perselisihan Hasil Pemilu
- Pasal 80 – Pasal 85 untuk Pendapat DPR (Ps. 7B UUD)
demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Wewenang Mahkamah Konstitusi : Pengertian, Sejarah, Tugas, Fungsi, Putusan, Hukum Acara, Asas, Sumber Hukum, Peraturan, Undang, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.
baca juga :