Peran Pembentuk RUU
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah program legislasi yang diajukan, setiap tahun terus bertambah, padahal oleh Baleg dan Pemerintah telah ditetapkan sebanyak 284 RUU dalam Program Legislasi Nasional 2005-2009. Ternyata, perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat berubah sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri.
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) menentukan bahwa “Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).” Ketentuan ini kemudian digunakan oleh DPR-RI dan Pemerintah untuk mengembangkan keinginannya mengatur sesuatu dalam undang-undang di luar Prolegnas. Dari keinginan tersebut, ternyata membawa dampak yang sangat luas terhadap pencapaian atau target yang semula telah disepakati yang berakibat terbengkalainya Prolegnas itu sendiri.
Departemen Hukum dan HAM, yang mewakili Pemerintah dalam penyusunan Prolegnas, selalu menghadapi persoalan karena tidak dapat melarang atau membatasi prakarsa departemen/LPND dalam mengajukan usulan prolegnas baru, apalagi jika program yang diusulkan tersebut benar-benar penting dan perlu untuk melaksanakan penyelenggaraan negara dan kepemerintahan, misalnya, penyelenggaraan pemilu dan parpol serta keinginan untuk mengubah pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Agung.
Posisi tawar terhadap pengajuan prolegnas baru merupakan salah satu persoalan tersendiri karena ternyata DPR-RI, melalui Balegnya, juga mengajukan usulan prolegnas baru di luar yang 284 RUU tersebut. Dengan demikian, makna Prolegnas 2005-2009 sebagai acuan instrumen perencanaan yang terpadu dan sistematis belum sepenuhnya mengikat.
Jika Pasal 17 ayat (3) tersebut dibiarkan berkembang dan tanpa kendali, maka yang terjadi adalah munculnya inflasi jumlah RUU yang berakibat “lebih besar dari pasak”, terkait dengan kemampuan DPR-RI dan Pemerintah untuk menyelesaikan program tersebut. Pemerintah pada dasarnya menunggu diundang untuk membahas suatu RUU karena konsekuensi dari pergeseran kekuasaan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 dan UU P3. Jadi, kemampuan DPR-RI lebih dipertaruhkan untuk menyelesaikan RUU, dibandingkan dengan Pemerintah.
Perkembangan Program Legislasi Nasional yang Belum Fokus
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa prosedur penyusunan peraturan perundang-undangan, selain sebagian ditentukan dalam UU P3, secara rinci juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 68 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperpu, RPP, dan Rpresiden.
Dalam Perpres 61 ditentukan bahwa penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI dikoordinasikan oleh Badan Legislasi sedangkan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri (Menteri Hukum dan HAM). Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI dan Pemerintah dilakukan dengan memperhatikan konsepsi RUU yang meliputi:
- latar belakang dan tujuan penyusunan;
- sasaran yang akan diwujudkan;
- pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; dan
- jangkauan dan arah pengaturan.
Terkait dengan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah, Menteri meminta kepada menteri lain dan pimpinan LPND mengenai perencanaan pembentukan RUU di lingkungan instansinya masing-masing sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya. Penyampaian perencanaan pembentukan RUU disertai dengan pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal menteri lain atau pimpinan LPND telah menyusun naskah akademis, maka naskah akademis tersebut wajib disertakan dalam penyampaian perencanaan pembentukan RUU.
Keberadaan Naskah Akademis dan Proses Harmonisasi
Naskah akademik (NA) adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan RUU (Pasal 1 Perpres Nomor 68 Tahun 2005). Perlu tidaknya NA dalam Perpres tersebut merupakan pilihan bagi Pemerintah untuk menyediakan, sedangka bagi DPR-RI melalui Tata Tertibnya, penyediaan NA diwajibkan dalam setiap penyusunan RUU. Secara tidak langsung, kewajiban tersebut berimbas bagi Pemerintah untuk selalu menyediakan. Jika Pemerintah tidak menyediakan, kemungkinan besar RUU yang diajukan tidak dapat masuk dalam Prolegnas sebagai daftar prioritas.
Mengapa NA dianggap penting untuk dijadikan landasan penyusunan suatu RUU? Sesuai dengan definisi di atas, setidak-tidaknya suatu RUU dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan.
NA dalam proses penyusunan suatu RUU merupakan potret atau peta tentang berbagai hal atau permasalahan yang ingin dipecahkan melalui undang-undang yang akan dibentuk dan disahkan. Makna yang sering dikemukakan oleh pembentuk undang-undang bahwa dalam pertimbangan RUU selalu dicantumkan segi filosofis, sosiologis, dan yuridis, mengingatkan kepada kita semua betapa segi tersebut penting karena terkait dengan konstatasi fakta yang ada dan bagaimana fakta tersebut dapat dipecahkan melalui cara-cara yang filosofis dan yuridis.
Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Yang lebih penting adalah bahwa pembentuk peraturan harus memahami makna asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi :
- kejelasan tujuan (setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai);
- kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat (setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang);
- kesesuaian antara jenis dan materi muatan (dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya);
- dapat dilaksanakan (setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis);
- kedayagunaan dan kehasilgunaan (setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara);
- kejelasan rumusan (setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya); dan
- g) keterbukaan (dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan).
Asas-asas tersebut merupakan dasar berpijak bagi pembentuk peraturan perundang-undangan dan penentu kebijakan. Semua asas di atas, harus terpateri dalam diri mereka yang akan membentuk peraturan perundang-undangan yang biasanya diwujudkan dalam bentuk pertanyaan dalam setiap langkah yang ditempuh.
Muatan Peraturan Perundang-undangan
Sedangkan materi muatan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang sama dengan materi muatan undang-undang (Pasal 9 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004). Pasal 10 menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kemudian sesuai dengan tingkat hierarkinya, bahwa Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi yang melaksanakan Peraturan Pemerintah (Pasal 11).
Mengenai Peraturan Derah dinyatakan dalam Pasal 12 bahwa materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Materi muatan peraturan perundang-undangan juga mengandung asas-asas yang harus ada dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Asas-asas n suatu peraturan perundang-undangan, semakin rinci dan konkrit pula materi muatannya. Kesemuanya itu mencerminkan adanya tingkatan-tingkatan tentang materi muatan peraturan perundang-undangan dimana undang-undang merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang paling luas jangkauannya.
Tata Urut Perundang-Undangan : TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, TAP MPR No. III/MPR/2000, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011G
Tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia sudah beberapa kali dilakukan perubahan sejak masa awal kemerdekaan dahulu. Berikut ini beberapa peraturan yang pernah menjadi dasar tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia.
- TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 (Mengenai Memorandum DPR-GR tentang sumber tertib hukum Republik Indonesia dan juga tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia)
Berdasarkan pada TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia yaitu sebagai berikut :
- Undang-Undang Dasar 1945
- Ketetapan MPR
- Undang-Undang (UU)
- Peraturan Pemerintah (PP)
- Keputusan Presiden (Keppres)
- Peraturan Pelaksana, yang terdiri atas Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri
Catatan : TAP MPR ini kententuan nya sudah tidak berlaku
- TAP MPR No. III/MPR/2000 (Mengenai Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Undang-Undang.)
Berdasarkan pada TAP MPR No. III/MPR/2000, tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia yaitu sebagai berikut :
- Undang-Undang Dasar 1945
- Tap MPR
- Undang-Undang (UU)
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
- Peraturan Pemerintah (PP)
- Keputusan Presiden (Keppres)
- Peraturan Daerah (Perda)
Catatan : Ketentuan dalam TAP MPR ini juga sudah tidak berlaku
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.)
Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia ialah sebagai berikut :
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perppu)
- Peraturan Pemerintah (PP)
- Peraturan Presiden (Perpres)
- Peraturan Daerah (Perda)
Catatan : Ketentuan dalam Undang-Undang tersebut sudah tidak berlaku
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (Mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.)
Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut :
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Ketetapan MPR
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perppu)
- Peraturan Pemerintah (PP)
- Peraturan Presiden (Perpres)
- Peraturan Daerah Provinsi (Perda Prov)
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kab/Kota)
Catatan : Ketentuan dalam Undang-Undang tersebut masih berlaku
Berikut ini adalah penjelasan tentang jenis peraturan perundang-undangan :
- Peraturan Perundang-undangan ialah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum serta dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dengan melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
- UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu hukum dasar (konstitusi) yang tertulis sebagai peraturan negara tertinggi dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan nasional.
- Ketetapan MPR dan putusan MPR yang telah ditetapkan dalam sidang MPR, yang terdiri atas 2 (dua) macam yakni Ketetapan ialah putusan MPR yang mengikat baik ke dalam atau keluar majelis, dan Keputusan ialah putusan MPR yang mengikat ke dalam majelis saja.
- Undang-Undang (UU) ialah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat atas Persetujuan bersama Presiden.
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) ialah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan, Perppu diajukan ke DPR dalam persidangan berikut; DPR bisa menerima atau menolak Perppu tanpa melakukan perubahan; apabila disetujui oleh DPR, Perrpu ditetapkan menjadi Undang-Undang; apabila ditolak oleh DPR, Perppu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- Peraturan Pemerintah (PP) ialah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden guna menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
- Peraturan Presiden (Perpres) ialah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden guna menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi ataupun dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
- Peraturan Daerah (Perda) Provinsi ialah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan Gubernur.
- Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota ialah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan Bupati/Walikota.
Tata urutan peraturan perundang-undangan mempunyai fungsi supaya pembuatan undang-undang di tingkat rendah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang lebih tinggi.
Dalam hal terjadi pertentangan, berdasarkan pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 yaitu sebagai berikut :
- Dalam suatu hal Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujian dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
- Dalam suatu hal Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiandilakukan oleh Mahkamah Agung.
Model Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Proses pembentukan undang-undang pada dasarnya dapat dilakukan dalam berbagai model pilihan partisipasi sesuai dengan tingkat perkembangan politik suatu negara. Partisipasi masyarakat ini akan tergant[2]ung dari kesadaran masyarakat dalam tatanan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Untuk memberikan kejelasan lebih lanjut tentang pendekatan ini, menarik untuk disimak uraian penulis dalam buku ini berkaitan dengan adanya pemahaman terhadap masing-masing model partisipasi publik tersebut adalah sebagai berikut:
-
Model Pertama : Pure Representative Democracy
Dalam model partisipasi publik yang pertama ini, sifat partisipasi masyarakatnya masih “pure” atau murni. Artinya, rakyat selaku warga negara dalam suatu negara demokrasi keterlibatannya dalam pengambilan keputusan publik dilakukan oleh wakil-wakil yang dipilih melalui pemilihan umum untuk duduk dalam lembaga perwakilan. Dalam hal ini, masyarakat hanya tinggal menerima saja apa yang akan diproduk oleh legislatur dalam pembentukan UU.
-
Model Kedua : A Basic Model of Public Participation
Dalam model yang kedua ini digambarkan bahwa rakyat telah melakukan interaksi keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan, tidak hanya melalui pemilihan umum tetapi dalam waktu yang sama juga melakukan kontak dengan lembaga perwakilan. Meskipun demikian model partisipasi ini belum dapat dikatakan sebagai bentuk dan hakekat interaksi yang sebenarnya.
-
Model Ketiga : A Realism Model of Public Participation
Dalam model pilihan yang ketiga ini, public participation pelaku-pelakunya cenderung dilakukan dan didominasi oleh adanya kelompok-kelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang diorganisir. Publik, selain ikut dalam pemilihan umum juga melakukan interaksi dengan lembaga perwakilan. Akan tetapi tidak semua warga negara melakukan public participation dalam bentuk membangun kontak interaksi dengan lembaga perwakilan. Pelaku-pelaku public participation telah mengarah pada kelompok-kelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang diorganisir. Dengan demikian terdapat kecenderungan untuk memahami “public” dalam konteks yang terbatas.
-
Model Keempat : The Possible Ideal for South Africa
Model alternatif yang diperkenalkan sebagai bentuk keempat dari berbagai partisipasi masyarkat ini, merupakan perluasan dalam memasukkan tiga kelompok partisipan, yaitu : those who are organized and strong; those who are organized but weak; and those who are weak and unorganized. Dengan menerapkan model ini, pemerintah dapat mengembangkan visi strategis yang dapat ditujukan kepada ketiga kelompok tersebut secara bersama-sama. Dalam model ini, pada gilirannya memunculkan dua tambahan dimensi yaitu: a) dimensi peranan partai-partai politik dan partai mayoritas; b) dimensi hubungan perwakilan dengan eksekutif.
demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Tata Urut Perundang : Peran Pembentuk, Perkembangan Program Legislasi, Keberadaan Naskah, Proses, Asas Peraturan, Muatan, Model, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.