Pengertian Tan Malaka
Tan Malaka adalah seorang tokoh besar yang memiliki peran besar dalam sejarah revolusi Indonesia. Para sejarawan menempatkan dia pada barisan “Tujuh Begawan Revolusi Indonesia” (Soekarno, Hatta, Sjahrir Tan Malaka, Amir Sjaripudin, Jendral Sudirman, dan A.H. Nasution.
Perjalanan Tan Malaka dalam revolusi Indonesia tergolong sangat dramatis. Perjalanan hidupnya penuh ketegangan. Sosoknya diburu di berbagai Negara. Namanya dicatut dan dipalsukan oleh orang-orang yang meminjam ketenarannya. Rudolf Mrazek menyebut seorang Tan Malaka sebagai “Manusia Komplit”, yakni dia memiliki pemikiran yang cerdas sekaligus sebagai seorang aktivis politik yang lincah.
Muhammad Yamin menyebutnya sebagai “Bapak Republik Indonesia” yang disamakan dengan Washington yang merancang Republik Amerika Serikat sebelum merdeka, atas jasa besarnya nama Washington diabadikan sebagai nama ibukota negaranya, sementara itu nama besar Tan Malaka justru nyaris dilupakan oleh sejarah bangsanya.
Selama 51 tahun perjalanan hidupnya, Tan telah menjelajahi kurang lebih dari 21 tempat dan 11 negara dengan kondisi sakit-sakitan serta pengawasan ketat dari agen-agen Interpol. Di mulai dari tanah kelahirannya di Minangkabau, hingga berpetualang ke Belanda, Jerman, Inggris, Moskow, Filipina, Burma, Beijing, Thailand, dan kembali lagi ke Indonesia untuk bergerilya ke Banten, Jakarta, Surabaya, Purwokerto, dan Yogyakarta. Semua perjuangan dan pengorbanan ini dilalui demi satu hal yakni sebuah kemerdekaan Indonesia.
Dalam Proses perjalanan hidupnya ini, Tan telah menghasilkan kurang lebih 23 karya tulis dari buah pemikirannya yang turut menerangi obor revolusi. Dari sekian banyak buku karya Tan Malaka ada 3 buah buku yang sangat fenomenal pengaruhnya terhadap kehidupan berbangsa di Indonesia, diantaranya ialah Masa Aksi (Massa Actie), Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi), dan Madilog (Materialime Dialektika Logika)
Cerita Pemikiran Tan Malaka
Dia adalah seorang yang sudah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora. Namanya Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan sekarang mungkin dua-tiga generasi melupakan sosoknya yang lengkap ini kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi.
ORDE Baru sudah melabur hitam peran sejarahnya. Tapi, harus diakui, di mata sebagian anak muda, Tan memiliki daya tarik yang tak tertahankan. Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran dan langkah-langkah politik Tan sama seperti membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya disebarluaskan melalui jaringan klandestin. Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan dengan berbisik. Walau dalam perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dikaitkan dengan PKI: musuh abadi Orde Baru.
Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno, lewat kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama 2 setengah tahun, tanpa pengadilan. Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat dia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Saat PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso orang yang sudah bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai ketimbang Tan. Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno pada Tan. Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada 4 nama salah satunya Tan jika Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap. Akhirnya Soekarno sendiri membakar testamen itu. Testamen itu berbunyi kalau saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi pada seorang yang sudah mahir dalam gerakan revolusioner yaitu Tan Malaka.
-
Politik
Politik memang kemudian menenggelamkannya Di Bukittinggi, di kampung halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup. Saat Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan sejak 36 tahun lalu, mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, Februari lalu, guru-guru sekolah tersebut terkejut. Sebagian guru tak tahu Tan pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool (sekolah guru) tersebut pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin browsing di Internet. Mereka masih tak yakin, hingga kemudian Poeze datang. Poeze pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru Tan, tersembunyi di balik lemari sekolah.
Di sepanjang hidupnya, Tan sudah menempuh pelbagai royan dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, sampai Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini adalah tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Dia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), serta Soekarno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu sudah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, contohnya mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno saat diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh kalau isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.
W.R. Supratman pun sudah membaca habis Massa Actie. Dia memasukkan kalimat Indonesia tanah tumpah darahku ke dalam lagu Indonesia Raya sesudah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk Khayal Seorang Revolusioner. Di situ Tan antara lain menulis, Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri Kewajiban seorang yang tahu akan kewajiban putra tumpah darahnya.
Di seputar Proklamasi, Tan menorehkan perannya yang sangat penting. Dia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama pada proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan masih sebatas catatan di atas kertas. Tan menulis aksi itu uji kekuatan guna memisahkan kawan dan lawan. Setelah rapat ini, perlawanan pada Jepang makin berani dan gencar.
Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita yang sangat menarik. Poeze bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, contohnya Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, sudah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu mesti didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tidaklah banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia Tapi mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari pelbagai daerah bukan perkara mudah.
Poeze mengambil jalan berputar Dia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang sudah didatangi Tan. Contohnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Dia cuma membawa paling banyak 2 setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, Dia selalu memakai celana selutut. Dia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi kalau polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Dia mempunyai 23 nama palsu dan sudah menjelajahi 2 benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer, 2 kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.
Tan Malaka “Tokoh Hidup Yang Terlupakan”
Siapa sebenarnya sosok dibalik nama Tan Malaka? Nama lengkapnya adalah Ibrahim gelar Datoek Tan Malaka. Tahun kelahirannya, menurut Dr. Poeze, diduga pada tahun 1894 di Desa Pandan Gadang. Ia menjadi pelajar disebuah sekolah pendidikan guru. Karena cerdas, kesempatan yang dia peroleh di Sekolah Rajo, Bukittinggi, tidak lepas dari kecerdasan sebagaimana yang dikatakan guru Belandanya, Horensma, di sekolah guru (Kweekschool) itu, “Rambut hitam buru yang bagus sekali, bermata hitam kelam seolah memancarkan sesuatu.” Berkat gurunya ini pula Tan Malaka kemudian melanjutkan studi ke negeri Belanda, di usia 17 tahun.
Tan Malaka mendahului sekolah di negeri Belanda dari pada Hatta, Sjahrir, Abdul Rifai, Ibrahim Taher, dan Abdul Muis. Di negeri penjajah itu, Tan Malaka menyerap dan mempelajari ideologi yang menjadi titik awal perjuangan revolusinya sampai akhir hayatnya, serta Negeri Belandalah, sebenarnya, yang membentuk wataknya, yakni membaca, belajar, dan menderita. Selama dia menjalani studinya di Belanda, dia menutupi kekurangan uang dengan mengajar bahasa bahasa Melayu, sambil berusaha menyelesaikan studinya, dan berjuang melawan sakit bronchitis yang dideritanya, yang bermula hanya karena tidak memiliki baju hangat ketika musim dingin.
Karens terjadinya Perang Dunia 1 di Eropa (1914-1918), Tan Malaka terhalang pulang ke Tanah Air. Ia terpaksa hidup berdikari dan selama tahun-tahun itu ia berkenalan dengan ideology sosialisme dan komunisme. Pada tahun 1920 Tan Malaka akhirnya pulang ke Tanah Air dan menjadi guru di sebuah sekolah yang didirikan oleh perusahaan perkebunan Eropa di Sumatra Timur.
Pada Februari tahun 1921 Tan Malaka meminta berhenti dan pindah ke Semarang di mana sebuah partai baru, yaitu Partai Komoenis Indonesia (PKI) belum lama berdiri. Tan Malaka segera aktif menyelenggarakan pendidikan cuma-cuma kepada anak-anak rakyat jelata, menulis pamphlet-pamflet, dan mendorong berbagai pemogokan. Serta Tan Malaka juga mempunyai peran sebagai agilitator komunis yang membuatnya dicurigai oleh polisi rahasia Hindia Belanda. Dalam keputusan gubernur jendral Belanda, ia dikenakan hubungan pembuangan, Tan Malaka memilih negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya pada Maret 1922.
Dalam pengasingan politiknya ia memulai petualangan di Amsterdam dan Rotterdam, diteruskan menuju Berlin, berlanjut ke Moskow, di kota Moskow ini pada November 1922, Tan Malaka menghadiri Kongres Internasional Partai-partai Komunis (Kominfrom), ia kemudian diangkat sebagai Wakil Kominfrom untuk seluruh wilayah Asia Tenggara. Perjalanan Tan Malaka berlanjut ke Kanton, Hongkong, Manila, Shanghai, Amoy, dan beberapa desa dipedalaman Tiongkok, sebelum dia menyelundup ke Rangon, Singapura, dan Penang. Maka dimulailah hasil pengembaraannya selama 20 tahun, ia diburu oleh polisi rahasia di Manila, Hongkong, Bangkok, Singapura, dan ibu kota lainya sebelum ia kembali ke Tanah Air pada 1942 setelah militer Jepang menguasai Asia Tenggara.
Tan Malaka “Nasionalis atau Komunis?”
Manusia Tan Malaka adalah contoh pemimpin yang berjuang dan melahirkan gagasan bernas utuk kesejahteraan bangsa tanpa pamrih. Secara sosiologis, Tan Malaka bukanlah seorang komunis, tetap perantau yang telah dibekali dasar keislaman yang kuat dari alam Minangkabau. Sebagai perantau berpendidikan, ia berpikir dinamis, selalu mempertanyakan dan mencari gagasan baru untuk bangsanya yang sedang dijajah. Mempertanyakan adalah melalui kritik tentang apa di luar logika dan kepatutan, dan karena itu pula Tan Malaka sangat percaya kepada kekuatan dialektika berpikir persoalan kemasyarakatan dapat dipecahkan dengan baik.
Meskipun sempat memimpin Partai Komunis Indonesia pada 1921, Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI Madiun pada 1926/1927. Di lain hal tentang komunis dia menolak kebijakan Komunis Internasional (Kominfrom) di Moskow. Sejak 1920-an Moskow tampak lebih memanfaatkan Kominfrom sebagai kepentingan hegemoni internasional Uni Soviet dari pada kepentingan perjuangan kaum nasionalis. Kominfrom bahkan mencurigai Pan-Islamisme sebagai pessing internasionalnya, hal itu sesuatu yang tidak biss ditetima oleh Tan Malaka.
Tan Malaka Dengan Karya Pemikirannya
Sampai kematiannya yang tragis sebagai tumbal revolusi, lebih dari 20 tahun hidup Tan Malaka dihabiskan untuk merantau di negeri lain. Dari agen Kominfrom untuk Asia Tenggara sampai free agent untuk dirinya sendiri. Dari seorang pedagog tulen dengan jaminan financial hingga hidup sebagai orang yang merdeka.
Dalam Proses tersebut, Tan Malaka telah menghasilkan 23 karya tulis yang turut menerangi obor revolusi. Diantaranya ialah, Parlemen atau Soviet, SI Semarang dan Onderwijs, Semangat Muda, Naar de Republiek Indonesia, Massa Actie, Manifesto Bangkok, Aslia Bergabung, Madilog, Muslihat, Islam Dalam Tinjauan Madilog, Dari Penjara ke Penjara, Pandangan Hidup,Kubandel di Kaliurang, dll.
Dari sekian banyak karya besar Tan Malaka, salah satu karya Tan Malaka yang dianggap sebagai opus magnum-nya adalah buku Madilog yang ditulis selama delapa bulan dengan rata-rata tiga jam penulisan setiap hari di persembunyiannya disekitar Cililitan, Jakarta. Buku ini menguraikan tentang tiga soal yang menjadi pokok pemikirannya selama tahun-tahun pembuangannya, dengan bahan-bahan studi yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, akan tetapi sebagian naskas harus dibuang untuk menghindari pemeriksaan Jepang.
demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Cerita Pemikiran Tan Malaka : Pengertian, Cerita Pemikiran, Tohoh Hidup Yang Terlupakan, Nasionalis dan Karyanya, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.