Pengertian Politik Etis
Politik etis adalah Suatu perjuangan politik dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, efisiensi diu daerah jajahan dan desentralisasi. Pada tahun 1890, muncul suatu politik balas budi bernama politik etis atas dasar desakan golongan liberal pada pemerintahan Belanda.
Golongan parlemen yang berpikiran progresif memberikan usul kepada pihak Belanda supaya sedikit mencurahkan perhatian kepada masyarakat Indonesia karena sudah membantu mengisi keuangan Belanda dengan susah payah lewat tanam paksa. Desakan yang diberikan itu didasarkan pemikiran bahwa Belanda memiliki hutang yang cukup banyak kepada Indonesia karena sudah menikmati kekayaan yang bukan miliknya.
Latar Belakan Politik Etis
Munculnya politik etis dilatarbelakangi oleh hal-hal berikut :
- Pelaksanaan sistem tanam paksa yang menguntungkan Belanda, tetapi menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia telah menggungah hati nurani sebagian orang Belanda.
- Eksploitasi terhadap tanah dan penduduk Indonesia dengan sistem ekonomi liberal tidak mengubah nasib buruk rakyat pribumi. Sementara itu, kaum kapitalis dari Belanda, Inggris, Amerika, Belgia, Cina, dan Jepang memperoleh keuntungan yang sangat besar.
- Upaya Belanda untuk memperkokoh pertahanan negeri jajahan dilakukan dengan cara penekanan dan penindasan terhadap rakyat. Rakyat kehilangan hak miliknya yang utama yaitu tanah. Bahkan, industry tanah pun terdesak. Karena penderitaan itu, timbullah golongan yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Mereka termasuk dalam golongan buruh yang bekerja pada perkebunan, pabrik, dan tambang.
- Adanya kritik dari kaum intelektual Belanda sendiri (Kaum Etis) terhadap praktik liberal colonial, seperti Van Kol, van Deventer, de Waal, Baron van Hoevell, dan Van den Berg.
Isi Politik Etis
-
Edukasi atau Pendidikan
Pendidikan sekolah kelas satu diberikan pada anak anak yang berkedudukan atau yang berharta dan anak dari pegawai negeri. Pada tahun 1903 ada 29 sekolah kelas satu di Afdeling dan 14 di ibukota karesidenan. Dalam hal ini anak anak di ajarkan tentang ilmu bumi, sejarah, ilmu alam, menggambar, membaca, berhitung dan menulis. Lalu untuk pendidikan kelas dua ditujukan untuk anak pribumi dari golongan bawah.
Pada tahun 1903, sekolah pendidikan kelas dua di Jawa dan Madura ada 245 sekolah bertaraf negeri serta di Fartikelir ada 326 sekolah yang diantaranya 63 sekolah dari Zending. Jumlah murid yang diterima pada tahun 1892 ada 50.000 siswa. Kemudian pada tahun 1902 ada 1.623 siswa dari pribumi yang belajar di sekolah Eropa.
Isi politik etis dalam hal edukasi ini pun membedakan sekolah sekolah antara anak pribumi golongan bawah dengan anak anak yang berharta. Untuk sekolah yang bertujuan menjadi pamong praja ada tiga sekolah Osvia yang berada di Magelang, Probolinggo dan Bandung. Dibawah ini ada nama sekolah untuk anak kaum pribumi dan anak anak Eropa yaitu:
- His atau Hollandsch Indlandsche School adalah setingkat SD.
- MULO atau Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs adalah setingkat SMP.
- AMS atau Algemeene Middlebare School adalah setingkat SMU.
- Kweek School atau Sekolah Guru untuk kaum bumi putra.
- Technical Hoges School atau Sekolah Tinggi Teknik yang ada di Bandung. Tapi pada tahun 1902, didirikan sekolah pertanian yang ada di Bogor (sekarang namanya menjadi IPB).
-
Irigasi atau Pengairan
Is Pada tahun 1885 dibangunlah pengairan oleh pemerintah belanda untuk sarana irigasi pertanian. Untuk bangunan irigasi yang ada di Demak dan Beratas luasnya mencapai 96.000 bau. Namun pada tahun 1902 luasnya menjadi 173.000 bau. Dengan irigasi uty akan membuat tanah menjadi lebih subur dan produksinya juga bisa bertambah.
-
Transmigrasi atau Perpindahan Penduduk
Isi politik etis yang terakhir adalah transmigrasi atau perpindahan penduduk. Dengan proses transmigrasi, tanah luar Jawa yang belum diolah lalu diubah menjadi ladang penghasilan. Kemudian juga bisa mengurangi kepadatan penduduk di wilayah Jawa. Pada tahun 1865, jumlah penduduk Madura dan Jawa adalah 14 juta jiwa. Tapi pada tahun 1900 jumlahnya berubah menjad dua kali lipat.
Awal abad ke 19 terjadi migrasi penduduk dari wilayah Jawa Tengah ke Jawa Timur dikarenakan perluasan perkebunan tembakau dan tebu. Ada juga migrasi dari wilayah Jawa menuju Sumatera Utara karena besarnya permintaan tenaga kerja diperkebunan Deli, Sumatera Utara. Sementara untuk migrasi yang menuju Lampung mempunyai maksud untuk menetap.
Pelaksanaan Dalam Politik Etis
Dalam perubahan politik ini negeri Belanda membawa pengaruh bagi kebijakan pada negara-negara jajahan Belanda, termasuk Indonesia “Hindia Belanda”. Golongan liberal di negeri Belanda yang mendapat dukungan yang besar dari kalangan masyarakat, mendesak pemerintah Belanda untuk meningkatkan kehidupan di wilayah jajahan.
Yang dalam hal ini salah satu penganut politik liberal ialah Van Deventer.C.Th.van Deventer yang merupakan salah seorang tokoh penganjur “pencetus” Politik Etis. Desakan ini mendapat dukungan dari pemerintah Belanda, dalam pidato negara pada tahun 1901, Ratu Belanda, Wihelmina mengatakan:
“Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran dari penduduk Hindia Belanda”.
Yang hal demikian pidato tersebut menandai awal kebijakan memakmurkan Hindia Belanda yang dikenal sebagai Politik Etis atau Politik Balas Budi.
Tokoh-Tokoh Pencetus Politik Etis
Yang keberadaan Politik Etis di Hindia Belanda ketika itu, setidaknya diwarnai oleh sosok-sosok mereka, baik sebagai inisiator, fasilitator, eksekutor maupun kritikus dari kebijaksanaan tersebut.
Berikut adalah 5 tokoh Belanda yang mewarnai Politik Etis.
-
Eduard Douwes Dekker (1820-1887)
Eduard Douwes Dekker atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda. Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran ‘Multatuli’.
Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti “‘Aku sudah menderita cukup banyak’” atau “‘Aku sudah banyak menderita’”; di sini, aku dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah. Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker sebagai berlebih-lebihan. Max Havelaar bisa jadi buku yang mempengaruhi terlahirnya Politik Etis di Hindia Belanda kelak. Eduard Douwes Dekker atau Multatuli (Sumber: voiceseducation)
-
Pieter Brooshooft (1845 – 1921)
Brooshooft adalah seorang wartawan dan sastrawan, yang dikenal sebagai salah satu tokoh Politik Etis. Tahun 1887 Brooshooft mengadakan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa, lalu menuliskan laporan tentang keadaaan yang sangat menyedihkan di Hindia Belanda akibat kebijakan tanam paksa pemerintah. Dia menyampaikan laporan tadi kepada 12 tokoh politisi Belanda terkemuka, disertai lampiran setebal buku yang memaparkan fakta-fakta yang dicatat dan ditandatangani 1255 orang.
-
Conrad Theodore van Deventer (1857-1915)
Van Deventer dikenal sebagai seorang ahli hukum Belanda dan juga tokoh Politik Etis. Pada sebuah surat tertanggal 30 April 1886 yang ditujukan untuk orang tuanya, Deventer mengemukakan perlunya sebuah tindakan yang lebih manusiawi bagi pribumi karena mengkhawatirkan akan kebangkrutan yang dialami Spanyol akibat salah pengelolaan tanah jajahan. Lalu pada 1899 Deventer menulis dalam majalah De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan). Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur dan aman adalah hasil kolonialisasi yang datang dari daerah jajahan di Hindia Belanda (“Indonesia”), sementara Hindia
-
Jacques Henrij Abendanon (1852-1925)
.H. Abendanon adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dari tahun 1900-1905. Ia datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1900. Ia ditugaskan oleh Belanda untuk melaksanakan Politik Etis. Di bawah Abendanon, sejak tahun 1900 mulai berdiri sekolah-sekolah baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah. Pada tahun ini sekolah Hoofdenscholen (sekolah para kepala) yang lama diubah menjadi sekolah yang direncanakan untuk menghasilkan pegawai-pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren).
J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A. Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Jacques Henrij Abendoon (Sumber: facebook)
-
Dr. Douwes Dekker (1879-1950)
Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia. Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama “Nusantara” sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang merdeka.
Setiabudi adalah salah satu dari “Tiga Serangkai” pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat. Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik etis ini karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers) dan Tionghoa.
Tujuan/Isi Politik Etis
Adapun tujuan “Isi” Politik Etis yaitu:
- Edukasi ialah menyelenggarakan pendidikan.
- Irigasi ialah membangun sarana dan jaringan pengairan.
- Transmigrasi/imigrasi ialah mengorganisasi perpindahan penduduk.
Politik etis yang dalam hal ini dilaksanakan Belanda dengan melakukan perbaikan bidang irigasi, pertanian, transmigrasi dan pendidikan, sepintas kelihatan mulia. Namun di balik itu, program-program ini dimasudkan untuk kepentingan Belanda sendiri.
Munculnya Elite Nasional “Kaum Terpelajar Pribumi”
Yangs salah satu dampak pelaksanaan Politik Etis ialah melahirkan golongan cerdik, karena berkat diselenggarakannya pendidikan “cendikiawan”. Sekolah-sekolah yang ada pada waktu itu ialah HIS “Hollands Inlandsche School” yang diperuntukkan bagi keturunan Indonesia asli yang berada pada golongan atas, sedangkan untuk golongan Indonesia asli dari kelas bawah disediakan sekolah kelas dua.
Dalam pendidikan tingkat menengah disediakan HBS “Hogere Burger School”, MULO “Meer Uiterbreit Ondewijs”, AMS “Algemene Middlebared School”, di samping itu ada beberapa sekolah kejuruan/keguruan seperti Kweek School, Normal School.
Adapun untuk pendidikan tinggi, ada Pendidikan Tinggi Teknik “Koninklijk Institut or Hoger Technisch Ondewijs in Netherlands Indie”, Sekolah Tinggi Hukum “Rechshool”, dan Sekolah Tinggi Kedokteran yang berkembang sejak dari Sekolah Dokter Jawa, Stovia, Nias dan GHS “Geneeskundige Hooge School”.
Kegagalan Politik Etis
Reaksi terhadap pelaksanaan politik etis mulai muncul pada tahun 1914.Masyarakat mulai bergolak dan banyak melancarkan kritik terhadap politik etis yang dianggap telah gagal. Kegagalan tersebut Nampak dalam kenyataan-kenyataan sebagai berikut :
- Sejak pelaksanaan sistem politik ekonomi liberal Belanda mendapatkan keuntungan yang sangat besar sekali, sedangkan tingkat kesejahteraan rakyat pribumi masih tetap rendah.
- Hanya sebagian kecil kaum pribumi yang memperoleh keuntungan dan kedudukan yang baik dalam masyarakat colonial yaitu golongan pegawai negeri.
- Pegawai negeri dari golongan pribumi hanya digunakan sebagai alat saja sehingga dominasi bagsa Belanda tetap saja sangat besar.
demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Pencetus Politik Etis : Pengertian, Latar Belakang, Pelaksanaan, Isi, Pelaksanaan, Tokoh Pencetus, Tujuan, Munculnya Elite Nasional, Kegagalan, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.