Cerita Nenek Pakande

Diposting pada

Pengertian Nenek Pakande

nenek pakande adalah seorang nenek siluman yang sering menjadi momok bagi masyarakat bugis di daerah soppeng selatan. nenek siluman itu adalah manusia kanibal yang sakti mandraguna. ia sangant suka makan daging manusia, terutama daging anak-anak. itulah sebabnya, masyarakat setempat memanggilnya enenk pakande. dalam bahasa bugis, kata pakande berasal dari kata pakkanre-kanre tau yang berarti suka makan daging manusia. suatu ketika, seorang pemuda yang cerdik bernamma la beddu berpaya untuk mengusir nenek pakande karena kelakukannya telah meresahkan warga. mampukan la bedu mengusir nenek pakande dari negeri itu ? ikut kisahnya dalam cerita nenek pakande berikut ini


Cerita Nenek Pakande

Dahulu kala, mungkin jauh sebelum kita dan juga bahkan mungkin ibu dan ayah kita lahir, ada sebuah kisah mistis yakni seorang nenek-nenek yang doyan untuk memakan bayi dan juga anak-anak kecil. Dia disebut-sebut biasa berkeliaran di sekitar daerah Soppeng,  yaitu salah satu kabupaten yang ada pada Provinsi Sulawesi Selatan. Sebenarnya penampilan dari nenek tersebut biasa sekali. Dia sama saja seperti halnya para perempuan tua lain yang memiliki kulit keriput dan juga rambut yang sudah beruban. tidak ada yang terkesan mencurigakan dari fisik dia.

Cerita Nenek Pakande

Namun aksi jahatnya dalam menculik dan juga memakan anak-anak kecil yang dilakukannya hanya pada malam hari ini. Siapa sajakan para korbannya? Ternyata korbannya bukan anak-anak yang sedang terlelap tidur dalam kamarnya atau juga yang sedang duduk manis nonton Televisi. Tetapi anak-anak yang tengah asyik berkeluyuran dan bermain di luar rumah. Karena menurutnya mudah menculik mereka itu yang tengah berkeliaran di luar rumah ketimbang menyusup masuk dalam rumah. Masyarakat biasa menyebutnya dengan nama Nenek Pakande. Nama tersebut yakni berasal dari kata ‘manre’ yang dalam bahasa Bugis, mempunyai arti ‘makan’. Dan kata Pakande kurang lebih dapat diartikan sebagai seorang yang ‘tukang makan’.

Sesudah sebanyak tiga orang anak berhasil dia jadikan sebagai menu makan malam, kejahatan dari  Nenek Pakande ini perlahan mulai ketahuan. Masyarakat menaruh rasa curiga pada Nenek Pakande karena kejadian kehilangan itu mulai terjadi yakni sejak nenek ini datang. namun bagaimana caranya untuk menghentikan aksinya ini?

Masyarakat mengira kalau Nenek Pakande ini pasti memiliki ilmu gaib yang tinggi. Dan dipercaya hanya takut dengan Raja bernama Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale, yakni seorang raksasa pemakan para manusia jahat yang juga memang pernah berkeliaran di sekitar sana. La Beddu, seorang pemuda sekitar yang dikenal dengan kecerdikannya, memiiki ide. Dia meminta agar disiapkan seekor kura-kura, belut, salaga dan juga kulit rebung kering, satu ember penuh berisi busa sabun, serta sebuah batu besar. Warga awalnya hanya menganggap Beddu cuma sumbar. Warga menilai mana mungkin ia akan mampu mengalahkan seorang Nenek Pakande yang terkenal sakti hanya bermodalkan seember busa sabun dan beberapa bahan lainnya? Namun La Beddu dapat meyakinkan masyarakat itu.

Warga kemudian menyiapkan sebuah pancingan yakni seorang bayi yang lucu. Bayi yang montok tersebut tak dibiarkan berada di luar, tetapi disimpan dalam sebuah rumah sendirian yang pintunya terbuka. Nenek Pakande ternyata berhasil terpancing. Mungkin saja karena ia merasa bosan sudah berkeliling tapi tak  berhasil menemukan salah satu anak maupun bayi di luar rumah.

ketika sudah bersiap akan menggendong bayi itu, secara tiba-tiba terdengar suara keras dari atas atap rumah. “Hei, jangan kau bawa bayi itu. Enyah kau dari tempat sini atau kau akan kumakan!” teriak dari La Beddu, yang menyamar menjadi Raja Bangkung. Suaranya terdengar begitu menggelegar karena sudah memakai kulit rebung yang kering yang berbentuk semacam terompet seperti corong. Namun Nenek Pakande itu tak langsung percaya. Dia yakin itu hanyalah seseorang yang sedang berpura-pura menyamar menyerupai Raja Bangkung.

La Beddu selanjutnya menumpahkan satu ember berisi air sabun dari atas atap rumah. Nenek Pakande tersebut kaget, dengan mengira air sabun itu merupakan tetesan air liur dari si raksasa jahat itu. Namun dia tetap saja tak begitu percaya kalau itu memang benar Raja Bangkung. Maka La Beddu kemudian menjatuhkan lagi salaga yang bentuknya mirip menyerupai bentuksisir besar dan juga beberapa ekor kura-kura bagaikan seekor kutu dari raksasa.

Baca Juga :  Sifat Negara

Akhirnya Nenek Pakande menjadi benar-benar merasa ketakutan. Dia langsung berlari kencang menuju keluar dari rumah panggung itu, namun terpeleset belut-belut yang sengaja diletakkan warga yang dekat dengan tangga. Nenek Pakande langsung terjatuh dengan berguling-guling ke tanah. Dan kepalanya pun membentur batu besar yang sudah disiapkan.

Namun  dia tetap tak mau menyerah begitu saja. Berdiri dengan terhuyung-huyung, Nenek Pakande mengucapkan sumpah, “Suatu hari saya pasti akan kembali lagi! Dan akan saya pantau semua anak-anak kalian dari kejauhan dengan menggunakan cahaya bulan.” Dia juga  kemudian berteriak mengancam, “Saya pasti akan memakan anak-anak kalian yang masih saja berkeliaran di luar rumah pasa saat malam hari!”.

Dan kemudian Nenek Pakande pergi meninggalkan Daerah Soppeng dan entah akan kembali atau tidak.


Naskah Teks Drama Nenek Pakande dan Lato Pakande

Inilah sebuah fragmen yang berjudul Nenek Pakande dan Lato’ Pakande. Sebuah kisah yang diadaptasi dengan pengubahan seperlunya dari sebuah cerita rakyat Daerah Wajo, Sulawesi Selatan yang berjudul asli Nenek Pakande.

Para pemain :

Wafiq : Sebagai Ibu Tiri

Muflih Mahmud : Sebagai Lato’ Pakande

Asna Rahayu : Sebagai Nenek Pakande

Ahmad Ramadhan : Sebagai ayah kandung I Sitti dan I Becce

Wafiq  Azizah: Sebagai Ibu Tiri

Syarina : Sebagai Ikambecce

Nurasia : Sebagai I Sitti

Rizki Habibie :Sebagai I Baco

Syarina : Sebagai Ikambecce dan narator

Selamat menyaksikan…..

Di sebuah perkampungan, hiduplah dua orang anak bersaudara yang ditinggal mati oleh ibu kandungnya. Ayahnya pun menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Namun, ibu tiri mereka ternyata hanya menginginkan harta ayah anak tirinya. Oleh karena itu, ibu tiri dan anak kandungnya berlaku sangat kejam dan semena – mena kepadanya.

Suatu hari, seperti biasa, kedua anak bersaudara ini diperlakukan layaknya pembantu oleh ibu tirinya. Mereka diperintahkan untuk bekerja tanpa mengenal belas kasihan. Sedangkan anak kandungnya dibiarkan bersantai sambil terus mengumpat kedua saudara tirinya.

I Sitti : Ohh Indo, Malupuka….

Ibu Tiri : Cih, baruko bekerja begitu sudah peot ma ko! Maumu makan terus! Walaupun makan ko, tubuh  tetap kayak ikan kering, dodol! Sudah, teruskanmi saja pekerjaanmu!

Ikambecce : Murasami itu!

La Baco : Indo, lapar betulan maka’ ini! Berbahasa Inggrismi perutku!

Ibu Tiri : Janganmi lagi panggilka’ Indo. Bukanka’ Indo’mu. Indo’mu sudah lama mampus.

I Kambecce : Jadi apami nepanggilkanki’ Indo’?

Ibu Tiri : Panggilka’ saja dengan sebutan petta! Ingat memanngi!

Akhirnya, kedua saudara itu melanjutkan pekerjaannya dengan sesekali menyeka keringat dan menahan perutnya yang sudah sejak pagi belum diisi. Tiba – tiba dari kejauhan, ibu tiri mereka melihat bahwa suaminya sudah pulang. Diapun gusar dan cemas.

Ibu Tiri : (cemas) aduh, matima’! adami suamiku pulang, aduh… (makin cemas)

Setelah suaminya datang, Ibu Tiri kemudian menyambut suaminya dengan sok lembut agar kejahatannya tidak diketahui oleh suaminya.

Ayah : Assalamu Alaikum…

Ibu Tiri : Waalaikum salam… Wedede…adami suamiku pulang! Pasti cape’ki bapa’na. pergimi makan baru istirahat!

Ayah : Terima kasih indo’na! sudahmaka’ tadi makan di sawah. Bagaimana dengan I Sitti dan La Baco, sudahmi makan?

Ibu Tiri : Oh sudahmi Bapa’na! Sampai – sampai tidak ada tersisa apapun.

I Kambecce : Iya, ambo’. Sampai – sampai saya hanya dikasi lauk seadanya oleh Indo’. Tetapi, tidak apa – apa ambo’, karena saya sudah menganggap mereka seperti saudara kandungku sendiri.

Ayah : (bertanya kepada kedua anaknya) Nak, apa betul kalian sudah makan? Ambo’ lihat wajah dan tubuh kalian masih kelihatan lemah!

I Sitti : be…be…be…sudah Ambo’! Sudah ma tadi dikasi makan sama Petta!

Ayah : (heran) Petta? Siapa itu Petta, nak?

Ibu Tiri : (menyela pembicaran) Oh…maksudnya Indo’. I Sitti tadi pasti salah ucap. Ya toh? (memandang I Siti dengan penuh kemarahan)

I Sitti : I…I…Iya…Ambo’. Saya salah ucap ka tadi!

Ayah : Oke pale, ayah istirahat dulu, yah! (pergi istirahat)

Setelah suaminya pergi, Ibu tiri I Siti dan La Baco pun memarahi kedua anaknya dengan kata – kata kasar.

Ibu Tiri : Kalian tidak boleh mengadu kepada ayah kalian! Kemudian, ingat, jangan panggil saya petta di depan ayah kalian! Kalau tidak, he’ nyawa taruhannya.

I Siti dan La Baco : I..Iya petta. Kami minta maaf!

Ibu Tiri : Asal kalian tahu saja, jika bukan karena harta, Ambo’mu yang kurus itu sudah lama saya ceraikan!

Ibu Tiripun berlalu meninggalkan kedua anak malang itu.

La Baco : Kenapa Indo kejam sekali sama kita, daeng?

Baca Juga :  Demokrasi Terpimpin

I Siti : Sudah, sabarmako saja ndi. Pasti kebaikan akan menang!

Tiba – tiba I Kambecce datang

I Kambecce : enak betul dimarahin! Rasain! Emang enak, cape’ deh… Sekarang, pergi kalian dari sini! Pergi sana! (ketiga pemain meninggalkan pentas)

Ibu tiri dan suaminyapun datang. Ibu tiri mengfitnah kedua anak tirinya agar ayahnya membenci anak kandungnya itu.

Ayah : Ada apa indo’na? mengapa bibirmu manyun?

Ibu Tiri : Gara – gara anakmu bapa’na!

Ayah : Kenapa memangngi?

Ibu Tiri : Masa’ nabilangika’ ceba? Padahal, cantik sekali istrimu ini Bapa’na!

Ayah : Betul itu Indo’na? (istrinyapun mengangguk) Kurang ajar sekali itu anak! Bilang apai lagi?

Ibu Tiri : Bilanngngi juga kalo itu ambo’nya, sudah kering, jelek, kurus, hidup lagi!

Ayah : (marah) macolla sekali itu anak! Awas nanti!

Ibu Tiri : Bapa’na, mengidamka’!

Ayah : Manengka? (girang)

Ibu Tiri : Iya, mau sekalika’ makan anu…

Ayah : Anu apa? Mangga, jambu, pisang, durian, atau apa?

Ibu Tiri : Mauka’ sedding makan hati manusia!

Ayah : (kaget) Apa?!!?!

Ibu Tiri : Betulka’! ohh.. sembelihmi saja kedua anakmu yang kurang ajar itu, biar kumakan mi nanti hatinya!

Ayah : (ragu) Tapi…merekakan anak kandungku?

Ibu : Tidak apa – apa. Demi anakmu ini, Bapa’na! kan nanti kita akan dapat anak lagi. Apalagi sudah ada I Kambecce! Anakmu masih ada dua bapa’na! Dua anak cukup, bapa’na!

Ayah : Baiklah, kalu begitu saya pergi dulu mengambil parang! (pergi mengambil parang)

Ibu Tiri : Ha…ha…ha, bodoh betul suamiku yang jelek itu! Sebentar lagi, saya akan menjadi pewaris tunggal harta suamiku, ha…ha…ha…! (meninggalkan pentas)

I Siti dan La Baco akhirnya dibawa ke tengah hutan untuk disembelih. Walaupun sebenarnya, ayahnya tidak tega melakukan hal itu.

La Baco : Mauki’ pergi ke mana Ambo?

Ayah : Maafkan Ambo’nak. Terpaksa ambo’ akan menyembelihmu, demi adikmu kelak!

I Sitti : Terserah Ambo’. Apapun perintah ambo’, akan kami laksanakan.

Ayah : Kalau begitu, tutup mata kalian! (Keduanyapun menutup mata) Sekali lagi, maafkan Ambo’, nak!

Ayahnyapun sudah bersiap memenggal kepala kedua anak kandungnya. Tetapi, ia tak kuasa, dan membuang pedang itu.

Ayah : Maafkan Ambo’ nak, Ambo’ tidak kuasa! Kalian adalah anak Ambo’! kalau begitu, buanglah diri kalian, dan jangan lagi kembali ke rumah! Pergi kalian! (kedua anaknya pergi)

Setelah beberapa hari menyusuri hutan, kedua kakak – beradik itu menemukan sebuah gubuk di tengah hutan untuk beristirahat.

La Baco : Daeng, lapar sekalika’!

I Sitti : Kalau begitu, mari kita beristirahat di gubuk itu!

Keduanyapun menuju ke gubuk itu yang tanpa sepengetahuannya adalah milik Nenek Pakande, orang yang gemar makan daging manusia. Di gubuk itu, keduanya makan dengan lahap dan rakus. Tiba- tiba Nenek Pakande datang dari perburuan.

Nenek : Sepertinya ada bau manusia disini… hi…hi…hi…sudah lama saya tidak makan  manusia, hi…hi…hi… Berarti saya akan pesta besar malam ini, hi…hi…hi…

Nenek Pakandepun memasuki rumahnya dan melihat dua anak bersaudara sedang memakan makanannya.

La Baco : Daeng, ada Nenek Pakande! Takut sekalika’

Nenek : Ternyata betul ada manusia di sini. Hi…hi…hi…, walaupun ada yang sedikit kurus, tapi tidak apa – apalah!

I Sitti : Jangan makan kami Nek! Sakit nanti perutta’!

Nenek : Kalau begitu makanlah yang banyak cucu – cucuku! Hi…hi…hi…, nantipi kumakanko, karena Nenek Pakande lagi diet. Jangan sampai wajah nenek yang cantik ini dan tubuh nenek yang seksi ini berubah jelek gara – gara kegemukan, hi…hi…hi…. Kalau wajah nenek jelek, nanti Lato’ Pakande selingkuh dengan janda kembang, hi…hi…hi…, nenek takk rela dimadu

La Baco : Daeng, we de de… ternyata Nenek Pakande calleda juga. puehh!

I Sitti : Tongeng, Ndi’.  Tidak apa – apaji! Mungkin baru narasakan puber! Mengertimako saja, ndi’!

Nenek : He! Bilang apako. Mukira ka tidak kudengar’i? Tunggumi kalau datang ki suamiku, kumakan hidup – hidupko!

La Baco : We de..de, ada tonji pale yang suka – suka’i nenek! Kukira masih perawanki’ nenek. Ternyata ada tommi suaminya, sungguh terlalu,!!!

Nenek : Mukirami tadi tidak laku-lakuka’? nde’ siyolo… Banyakji yang naksir sama saya, tapi saya tolak i. karena saya tohh orangnya setia sama lato.

Tiba – tiba Lato’ Pakande, suami Nenek Pakande datang. Dia sangat kaget melihat dua orang manusia di rumahnya.

Nenek : Yes! Datangmi suamiku! Darimanaki’ Lato’?

Lato’ : Darika’ menonton porseninya SMP 1, dinda!!!

Nenek : Dasar tua – tua keladi, makin tua makin jadi! Pasti cariko lagi ana’ dara di SMP 1. (menjewer kuping nenek Pakande)

Baca Juga :  Dasar Hukum NKRI

Lato’ : Tolong – tolong….. Tidakji nek….Tidakji!!! Ampun – ampun…

Nenek : Ampun – ampun!!! Kenapa memangko pergi cari ana’ dara, nah adami istrimu…

La Baco : Arengi tawana, nek!!! Kasi keras’i nek!

Lato’ : Berhentimo sayang… (merayu) Wedede…ndak malu ko dilihat sama penonton, ampun ma… ampun ma…

Nenek : tapi awasko, kalau sampai pergiko lagi, kukutukko jadi panning!

Lato’ : Iya, tidakmi lagi… Biar tidak kau kutu’ka tetap tonji bau panning ketiakku! Mauko ciummi, ini… (mengangkat lengannya)

I Sitti : Pakaiko tawasa’ lato’! Makecci sekali ketiakmu!

Nenek : Ha, berhentimo! dapatka’ manusia lato’…  Lato bagaimana kalo buatki’ sate manusia,

Lato’ : OK, ha…ha…ha… Tapi janganko lupa beli gigi palsu, nenek! Nanti tidak bisako kunyah’i!

Nenek : Tapi nantipi dimakan’i,! Karena lagi Dietka’ inie!

Lato’ : Jangan mako diet. Biar tidak diet ko tetap tonjiko jelek. Makanmi sekarang lapar sekali ma!!!

Nenek : Bilang apako? nantipi mumakan’i! terkenako nanti tekanan darah tinggi!

Lato’ : Biarmi, macua toni’. Hampir tonjiki’ mati!

Nenek : Iya pale’, tapi kalau naik’i tekanan darah tinggi mu, tidak kuurus mako. Dan kalau mati ko Tidak ku kubur mako’!!!

Lato’ : Aih…. Nggak ku urus itu! Ah, mauma’ makan’i sekarang, lapar sekalima’ e. (Mendekati I Sitti dan I Becce)

I Sitti : Tolong…tolong…jangan kasian makanka’! Tolong…

Nenek : Kalian akan tetap saya makan, mendekatlah kemari cucuku, hi…hi…hi…!

La Baco : Ampun, jangan makan kami kasian… tolong, tolong! (tiba – tiba I Sitti melihat sebuah botol yang disumbat)

Nenek : Jangan sentuh botol itu. Itu tempat nyawaku dan  si lato’! Ampun…ampun…jangan sentuh botol itu! Kami berjanji tidak akan memakan kalian, suwer!!!

Lato’ :Eh, ampun….ampun…. ka nak, bercanda ja tadi mu makan ko!! Jangan ko sentuh itu botol, ampun….ampun…. nak

Setelah mengetahui bahwa botol itu adalah tempat nyawa Nenek Pakande dan Lato’ Pakande, I Sitti segera membuka penyumbat botol itu. Tiba – tiba Nenek Pakande dan Lato’ Pakande menggelepar – gelepar dan sesak napas. Akhirnya, Nenek Pakande dan Lato’ Pakande meninggal dunia.

Setelah kematian Nenek Pakande dan Lato’ Pakande, kedua kakak beradik itu mengambil harta pusaka Nenek Pakande. Mereka telah menjadi saudagar kaya dan berjualan pakaian di pasar. 10 tahun berlalu, ketika mereka sedang berjualan di pasar, mereka melihat Ibu Tirinya yang telah berubah menjadi tua, mengemis di pasar itu.

La Baco : Daeng, itukan Ibu tiri kita! Indo’… Indo’…

I Sitti : Betul, ndi’! Indo’…indo’…

Kedua kakak beradik itu menghampiri Ibu Tirinya. Ibu tirinya pun malu dan merasa bersalah setelah melihat kedua anak tirinya.

Ibu Tiri : Jangan…bukanka’ indo’mu. Kalian pasti salah orang.

I Sitti : Tidak salah orangka’. Meskipun indo’ bukan ibu kandungku, tetapi, kami tetap menganggap Indo’ seperti ibu kandung kami.

Ibu Tiri : Betapa mulia hati kalian, nak. Sampai – sampai kalian masih mengakuiku sebagai Indo’ kalian. Padahal, Indo’ telah menghasut ayahmu untuk membunuh kalian.

La Baco : Lupakanlah semua masalah itu. Itu hanya masa lalu. Tetapi, mengapa keadaan Indo’ seperti ini, dan….di mana ambo’ serta saudara tiriku?

Ibu Tiri : Maafkan Indo’ nak! Setelah kepergian kalian, ayahmu sangat menyesali perbuatannya. Dia kemudian jatuh sakit. Setahun kemudian, kami mengalami musibah, nak… rumah kita terbakar, semuanya hangus dilalap api. Dan ambo’mu…dan ambo’mu…(tidak mampu menahan kesedihannya)

I Sitti : Ada apa dengan Ambo’ku, Indo…. Mengapa Indo’ menangis?

Ibu Tiri : Ayah dan saudaramu meninggal dunia dilalap api, nak! sekarang, Indo’ hidup sebatang kara dan bekerja sebagai pengemis, nak!

I Sitti : Innalillahi wa inna ilaihi rajiu’n.  Ambo’ku telah meninggal dunia? Maafkan aku Indo’!

La Baco : Kalau begitu, bagaimana kalau Indo’ tinggal di rumah kami? Kami hanya tinggal berdua!

Ibu Tiri : Terima kasih, nak! Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian! Terima kasih, nak!

Akhinya, I Sitti dan I Becce tinggal bersama ibu tirinya. Mereka hidup rukun dan damai, sampai ajal menjemput.


Pesan Moral Cerita Nenek Pakande

Pesan moral dari drama ini adalah, yakinlah bahwa kebaikan akan menang, dan belajarlah untuk memaafkan kesalahan orang lain, walaupun kesalahan itu sangat menyakitkan..


demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Cerita Nenek Pakande : Pengertian, Naskah Teks Drama Beserta Pesan Moralnya, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.

Posting pada SD