Legenda Kolam Sampuraga

Diposting pada

Definisi Sampuraga

Sampuraga adalah sebuah cerita rakyat dengan beberapa versi, versi pertama berasal dari kisah nama tokoh cerita dari suku Dayak Tomun yang berasal daerah Kabupaten Lamandau Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia, di Lamandau Legenda Bukit Sampuraga bercerita tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi bukit batu. Sebuah bukit yang mirip reruntuhan kapal yang telah membatu di desa Karang Besi, Kabupaten Lamandau, tepatnya 2 kilometer dari tepian sungai Belantikan, dinamai menurut legenda ini. Bukit Sampuraga, demikian nama objek wisata Pemerintah Kabupaten Lamandau tersebut, diyakini memiliki bagian dek dan layar kapal Sampuraga.


Legenda Kolam Sampuraga Cerita Legenda Dari Sumatera Utara

Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak Hiduplah seorang janda tua dan seorang anak laki-lakinya bernama Sampuraga di sebuah gubuk reot. Walaupun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka setiap hari bekerja sebagai kuli di ladang milik orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sampai banyak orang kaya yang suka kepada mereka.

Pada suatu siang, Sampuraga dan majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang sesudah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka ngobrol dalam suasana akrab. Seakan tak ada jarak antara majikan dan buruh.

Hei Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke suatu negeri yang sangat subur serta peduduknya hidup makmur, ujar sang Majikan.

Negeri mana yang Tuan maksud? jawab Sampuraga penasaran.

Negeri Mandailing namanya Di sana, rata-rata penduduknya mempunyai sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana mempunyai kandungan emas, jawab sang Majikan.

Keterangan sang Majikan tersebut melambungkan impian Sampuraga.

Sebenarnya, saya telah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya, ujar Sampuraga dengan sungguh-sungguh.

Cita-citamu amat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti puji sang Majikan pada sampuraga.

Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga lalu membicarakan keinginannya itu kepada ibunya.

Bu, Raga mau pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Raga mau mengubah nasib kita yang telah lama menderita ini, ujar Sampuraga kepada ibunya.

Ke manakah kau akan pergi merantau, anakku? jawab ibunya.

Ke negeri Mandailing, bu Pemilik ladang itu yang bicara pada Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena tanahnya sangat subur, jawab Sampuraga kepada ibunya.

Pergilah, anakku! walaupun ibu sangat khawatir kita tidak bisa berjumppa lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak mempunyai alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, karena selama ini ibu tak pernah membahagiakanmu, anakku ujar ibu Sampuraga dengan rasa haru.

Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali kalau Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu! Sampuraga meminta doa pada ibunya.

Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang ingin kamu bawa! kata sang ibu.

Sesudah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga langsung mempersiapkan segala sesuatunya.

Besoknya , Sampuraga berpamitan pada ibunya. Bu, Raga berangkat! Jaga diri ibu baik-baik, jangan memaksakan bekerja keras! kata Sampuraga kepada ibunya.

Ya,  berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali kalau sudah berhasil! sahut sang ibu.

Sebelum pergi meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang hendak berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari mata sang Ibu. Sampuraga pun tak dapat membendung air matanya. Dia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu juga membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu berkata: Sudahlah, Anakku! kalau Tuhan menghendaki, kita pasti akan bertemu lagi  kata sang Ibu.

Sesudah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara serta melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah dia di kota Kerajaan Pidoli, Mandailing. Dia sangat terpesona ketika melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing memiliki rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di antara keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata ada di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri tersebut hidup makmur dan sejahtera.

Di kota tersebut, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya juga langsung diterima. Dia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena dia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata dia memang orang yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan mau memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan cepat. Keuntungan yang diperolehnya dia tabung untuk menambah modalnya, sampai usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama kemudian, dia pun terkenal menjadi pengusaha muda yang kaya-raya.

Sang Majikan sangat gembira melihat keberhasilan Sampuraga. Dia berniat menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.

Raga, kamu adalah anak yang baik dan rajin. Maukah kamu aku jadikan menantuku? tanya sang Majikan pada sampuraga.

Baca Juga :  Asal Usul Kalimantan Timur

Dengan senang hati, Tuan! saya bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu kata Sampuraga.

Pernikahan mereka pun diselenggarakan secara besar-besaran mrmakai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan 1 bulan sebelum acara itu diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih pun di siapkan. Gordang Sambilan  dan Gordang Boru yang terbaik juga sudah dipersiapkan untuk menghibur para undangan.

Berita mengenai pesta pernikahan yang meriah itu sudah tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga sudah mengetahui berita tersebut, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tak percaya kalau anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang yang kaya-raya.

Ah, tak mungkin anakku akan menikah dengan putri bangsawan yang kaya, sedangkan dia adalah anak seorang janda yang miskin. Barangkali namanya saja yang sama kata yang terlintas dalam pikiran janda tua itu.

Meskipun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin memastikan berita yang sudah diterimanya. Sesudah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah dia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk menyaksikan pernikahan anak satu-satunya tersebut. Sesampainya di wilayah kerajaan Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar juga suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua tersebut mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, saat dia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu ialah Sampuraga yang merupakan anak kandungnya sendiri.

Oleh karena rindu yang sangat mendalam, Dia tidak bisa menahan diri. Tiba-tiba dia berteriak memanggil nama anaknya.

Sampuragaaa…!

Sampuraga sangat kaget mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. Ah, tak mungkin itu suara ibu, pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber suara tersebut di tengah-tengah keramaian. Tak lama kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.

Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak! ujar nenek tua itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak mau Sampuraga.

Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, seperti disambar petir. Wajahnya mendadak berubah menjadi merah membara, seakan terbakar api. Dia sangat malu pada para undangan yang hadir, karena nenek tua tersebut tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.

Hei, perempuan jelek! Enak saja kau mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku! kata Sampuraga.

Sampuragaaa  Anakku! Aku ini ibumu yang sudah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu ttelah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak! Iba perempuan tua tersebut.

Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku telah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini! pinta Sampuraga.

Hati Sampuraga benar-benar telah tertutup. Dia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang menyaksikan kejadian tersebut menjadi terharu. Tapi, tak seorang pun yang berani menengahinya.

Perempuan tua yang malang tersebut kemudian diseret oleh 2 orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan bercucur air mata, perempuan tua itu berdoa:

Ya, Tuhan! kalau benar pemuda itu ialah Sampuraga, berilah dia pelajaran! Dia sudah mengingkari ibu kandungnya sendiri.”

Seketika itu pun, mendadak langit diselimuti awan tebal dan hitam serta Petir menyambar bersahut-sahutan. Tidak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara petir yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Semua penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sedangkan ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta tersebut tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan jugaistrinya.

Beberapa hari kemudian, tempat itu sudah berubah menjadikolam air yang sangat panas. Di sekitarnya ada beberapa batu kapur berukuranbesar yang bentuknya mirip kerbau. Selain itu, juga ada 2 unggukan tanahberpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduksetempat menganggap bahwa semua itu ialah penjelmaan dari upacara pernikahanSampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu lalu diberinama Kolam Sampuraga. Sampai Sekarang tempat itu sudah menjadi salah satudaerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang.


Cerita Rakyat Tentang Sampuraga Si Anak Durhaka

Pada zaman dulu, hiduplah seorang janda tua dan anak laki-lakinya di sebuah kampung yang sepi. Anak laki-laki itu bernama Sampuraga. Hidup mereka bisa dibilang miskin, namun mereka tetap saling menyayangi dan bahagia. Untuk bisa menghidupi kehidupannya sehari-hari, mereka mencari kayu bakar untuk dijual dan juga menjadi buruh upah di lading orang lain. Keduanya sangat jujur dan rajin dalam bekerja sehingga banyak yang suka kepada mereka.

Suatu hari, di bawah pohon rindang Sampuraga dan juga majikannya beristirahat sembari menikmati makan siang dan berbincang-bincang setelahnya mereka bekerja dari pagi.

Sampuraga, usiamu masih muda. Kalau boleh aku sarankan, kamu sebaiknya pergi ke negeri yang penduduknya hidup makmur dan sangat subur”. Ucap majikannya

“yang Tuan maksud itu negeri mana?” Sampuraga penasaran

“Namanya negeri Mandailing, rata-rata penduduk disana memiliki lading dan juga saha. Karena tanah disana memiliki kandungan emas, maka dengan mudah mereka mendapatkan uang hasil dari mendulang emas di sungai”. Majikan menjelaskan

“Sebenarnya saya sudah lama ingin merantau untuk mnecari pekerjaan yang baik dan bisa membahagiakan ibu saya”. Ucap Sampuraga sungguh-sungguh

“Begitu mulia cita-citamu, Sampuraga! Memang kamu anak yang berbakti”. Majikannnya memuji

Setelahnya ia berbincang seperti itu dengan majikannya, Sampuragapun pulang dan mengutarakan keinginannya kepada sang ibu.

Baca Juga :  Definisi Konstitusi Menurut Para Ahli

“Bu, aku ingin merantau untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Aku ingin mengubah nasib kita yang terus-terusan menderita”.

“Mau kemanakah engkau akan pergi anakku?”. Ibunya bertanya

“Aku akan pergi ke Negeri Mandailing bu, majikanku tadi bilang kalau negeri disana penduduknya hidup makmur dan sejahtera karena tanahnya yang begitu subur” jelas Sampuraga

“Pergilah anakku! Meskipun ibu sangat khawatir tidak bisa bertemu lagidenganmu karena usia ibu yang semakin tua, namun tak ada alasan untuk ibu melarangmu pergi. Maafkan ibu karena belum bisa membahagiakanmu selama ini, anakku”.

“Terima kasih Ibu! Aku berjanji jika sudah berhasil nanti akan kemabli menemui ibu, doakan anakmu bu!”Sampuraga meminta restu.

“Ya, Anakku! Siapkan bekal yang akan kamu bawa!”.

Esok harinya, Sampuraga siap untuk berangkat dan berpamitan kepada ibunya.

“Bu, aku berangkat! Ibu harus jaga kesehatan, dan jangan terlalu bekerja terlalu keras!”.

“Ya anakku, berhati-hatilah kamu dijalan, cepat kembali jika kau sudah berhasil disana”.

Sampuraga pun berpamitan sambil mencium tangan ibunya dengan hati yang sangat haru. Air matapun keluar dari kelopak mata sang ibu begitupun dengan Sampuraga. Sampuraga merangkul ibunya, begitupun ibu membalas dengan pelukan erat dan berkata:

“Sudahlah anakku! Jika tuhan menghendaki pasti kita akan bertemu kembali”. Ucap sang ibu.

Sampuraga pun pergi meninggalkan ibunya. Ia pergi di malam hari, melewati perkampungan dan juga hutan belantara.

Suatu hari, ia sampai di disa yang bernama Sirambas. Melihat negeri itu ia sanagt terpesona. Penduduknya yang begitu ramah-tamah, masing-masing mereka memiliki rumah yang begitu indah yang atapnya ijuk. Dan ditengah-tengah keramaian kota itu berdiri sebuah istana yang begitu mewah. Di setiap sudut kota terdapat candi yang terbuat dari batu. Semua yang ia lihat menandakan kalau penduduk disana itu hidup dengan sejahtera.

Sampuraga pun mencoba melamar pekerjaan disana, dan lamaran pertamanyapun langsung di terima oleh Raja Sirambas. Sang Raja sangat percaya kepadanya, karena ia anak yang begitu jujur juga rajin bekerja. Sang Raja sudah beberapa kali menguji kejujurannya ternyata memang ia begitu jujur. Oleh karena itu sang Raja ingin mengangkatnya menjadi Raja dengan menikahkannya dengan anak perempuannya yang terkenal sangat cantik di wilayah Sirambas karena memang sang Raja tidak meiliki seorang anak laki-laki.

“Sampuraga, engkau adalah anak yang begitu baik juga rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?”. Sang Raja bertanya.

“Dengan sennag hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan puteri Tuan”. Jawabnya

Pernikahanpun dipersiapkan sebulan sebelum acara secara besar-besaran, puluhan ekor kambing juga kerbau disediakan untuk disembelih. Gordang Sambilanpun sudah di persiapkan untuk menghidur para undangan. Pernikahannya itu sampai beritanya hingga ke pelosok desa.


Sejarah Sampuraga

Sampuraga versi lainnya dikisahkan sebagai folktale pada banyak keluarga suku Dayak Tomun di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Seperti halnya kisah Sampuraga dari Sumatera Utara dan cerita Amat Rhang Mayang dari Aceh, suku Dayak Tomun menganggap cerita Sampuraga sebagai cerita yang benar-benar terjadi di Kalimantan Tengah. Jika kita lihat dari segi bentuk, struktur cerita, dan persepsi yang terkandung di dalamnya, kisah Sampuraga dari Kalimantan Tengah lebih mirip dengan kisah Malin Kundang ketimbang Sampuraga dari Sumatera Utara.

Malin Kundang dan Sampuraga versi Dayak Tomun sama-sama menyebutkan tentang kapal dan tokoh utamanya yang dikutuk ibunya menjadi batu. Kapal Malin Kundang menjadi batu di Pantai Air Manis, Teluk Bayur di Kota Padang. Demikian pula kapal Sampuraga yang menjelma bukit berbentuk kapal 2 kilometer dari tepian sungai Belantikan di desa Karang Besi, Kabupaten Lamandau. Lalu kenapa nama tokohnya sama dengan tokoh anak durhaka dari Sumatera Utara? Suatu kebetulan atau telah terjadi salah persepsi saat ceritanya diwariskan? Lalu siapa penutur aslinya? Bagaimana seharusnya folktale itu diceritakan?

(Karena cerita Sampuraga versi Dayak Tomun bercampur aduk dengan Malin Kundang, saya jadi teringat dengan naskah Puti Bungsu (Wanita Terakhir) karya Wisran Hadi. Beliau menggabungkan tiga mitos dalam narasi berbeda: Malin Kundang, Malin Deman dan Sangkuriang dalam satu ruang teks cerita baru: Puti Bungsu. Jangan-jangan Wisran sendiri yang meramu cerita Sampuraga tersebut? Hehehe…)

Cerita rakyat adalah salah satu bagian dari folklore. Pada umumnya, cerita rakyat hanya berbentuk cerita lisan yang diceritakan secara turun temurun. Indonesia- yang terdiri dari berbagai suku bangsa – sangat kaya dengan cerita rakyat, peribahasa, pantun, mitologi, legenda, mau pun dongeng. Cerita-cerita tersebut hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya masing-masing. Dilihat dari beragam cerita rakyat yang tersebar di berbagai daerah, tampak adanya kesamaan bentuk penceritaan antara cerita rakyat daerah yang satu dengan daerah lain. Perbedaannya hanya terletak pada versi dan warna lokal daerah masing-masing.

Saat menulis cerita Sampuraga di Wikipedia saya merasa sedang memainkan genealogi dengan obyeknya tokoh utama dalam folktale tersebut. Sayang sekali saya hanya mengandalkan sisa-sia ingatan seorang staf saya di Lamandau sebagai narasumbernya. Kalau ada di antara pembaca yang lebih mengetahui cerita sebenarnya, dipersilahkan ikut menyuntingnya. Wikipedia milik kita bersama kok.


Kisah Sampuraga

 Konon, menurut cerita yang diwariskan turun temurun dalam keluarga suku Dayak Tomun, seorang bangsawan dari sebuah kerajaan di Sumatera berlayar sampai ke kerajaan Petarikan, di hulu sungai Belantikan, pedalaman Kalimantan. Namanya Patih Sebatang. Tidak jelas apakah Patih Sebatang ini sama dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang, tokoh legendaris masyarakat Minangkabau.

Di kerajaan yang bersahaja ini, Patih Sebatang dikisahkan berjumpa dengan seorang putri Kerajaan Petarikan yang cantik jelita. Namanya Dayang Ilung, yang digambarkan memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alis matanyanya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Singkat cerita Patih Sebatang jatuh cinta dan akhirnya menikahi sang putri.

Tidak lama kemudian, Dayang Ilung melahirkan seorang putra, yang dinamai Cenaka Burai. Entah bagaimana kisahnya Patih Sebatang akhirnya berpisah dengan isteri tercintanya. Selain buah cintanya yaitu Cenaka Burai, satu-satunya kenang-kenangan yang mempersatukan cinta mereka adalah cincin pernikahan yang selalu disimpan baik oleh Patih Sebatang.

Baca Juga :  Kalimat Aktif dan Pasif

Sampuraga dibesarkan ayahnya sebagai seorang pemuda yang berharkat dan bermartabat tinggi. Dan entah bagaimana asal-usulnya, Cenaka Burai juga kelak dipanggil sebagai Sampuraga. Kemudian ketika sudah dewasa Sampuraga diceritakan ayahnya bahwa ibunya ada di sebuah kerajaan nun jauh di hulu sungai Belantikan. Sampuraga berkeras ingin menjumpai ibu kandungnya tersebut, dan meminta apa ciri-ciri ibunya. Sang ayah pun menceritakan kecantikan ibu kandung Sampuraga, dan menunjukkan sebuah cincin pernikahan mereka.

Dibekali dengan cincin pernikahan ayahnya, Sampuraga pergi berlayar sampai ke kerajaan Petarikan. Sesampainya disana, masyarakat membawanya menemui sang ibu yang sudah tua. Dayang Ilung ternyata telah bertahun-tahun menantikan kembalinya anak kandungnya. Bukan main senangnya Dayang Ilung mengetahui buah hatinya menjumpainya langsung. Hampir saja ia memeluk Sampuraga, tapi Sampuraga menolak. Sampuraga tidak percaya bahwa wanita asing di depannya tersebut adalah ibunya sendiri. Ayahnya telah menceritakan kecantikan sang ibu. Bagaimana mungkin wanita yang tua renta tersebut adalah puteri cantik yang diceritakan sang ayah?

Sampuraga masih ingin membuktikan lagi. Dikenakannya cincin pernikahan ayahnya kepada wanita tua itu. Karena Dayang Ilung sudah dimakan usia, cincin tersebut menjadi terlalu besar untuk melingkari jari-jarinya. Sampuraga semakin yakin bahwa wanita itu bukan ibunya. Sampuraga memutuskan untuk pulang.

Dayang Ilung kecewa. Ia berkata kepada Sampuraga, “Nak, kamu sudah meminum susu dari tubuhku. Kalau kamu tidak mau mengakuinya, kamu akan terkena malapetaka!”

Dengan amarah di dalam dada, Sampuraga berlayar pulang. Dia tidak habis pikir, kenapa ada wanita tua yang bersikeras meyakinkan Sampuraga bahwa dia adalah ibunya, padahal ayahnya sudah jelas memberitahu ciri-ciri sang ibu.

Di tengah jalan, tiba-tiba badai menghadang. Kapalnya oleng diombang-ambingkan ombak besar. Ketika kapalnya hampir karam, Sampuraga teringat kutukan wanita tua tersebut. Hati kecilnya tiba-tiba disadarkan bahwa dia baru saja durhaka pada ibunya sendiri.

“Ibu, ibu, kamu memang ibuku!” demikian Sampuraga memohon ampun. Tiba-tiba terdengar suara ibunya, “Nak, sudah jatuh telampai. Tidak mungkin keputusan ditarik kembali. Kutukan sudah terjadi.” Demikianlah Sampuraga membatu bersama kapalnnya   


Lirik Lagu Sampuraga

Sebelum Uwa mulai bercerita, mari kita simak terlebih dahulu lirik lagu
dari Irama Gambus Mandahiling yang berjudul “Sampuraga”.

Sampuraga… namaila Marinang
Sampuraga… namaila Marinang
Ale…namaila Marinang

Legende di Mandailing
si Sampuraga nadurhako
baen ingoton di natading
Jadi tauladan di namamboto
jadi tauladan di namamboto

Manyogot di ombun manyorop
Dainang tangis tarilu-ilu
Manyogot di ombun manyorop
Dainang tangis tarilu-ilu

Sampuraga tu Dainang mangido moof
Langka ma au inang…do’ahon au

Langka ma au inang…do’ahon au
Ale…langkama au inang …do’ahon au

Sampuraga dipangarattoan
dapotan baru halak nakayo
Sampuraga lupa daratan
lupa tu inang jadi durhako
Ale…lupa tu Inang jadi durhako

Hukum karma sian Tuhan
aek susu dainang jadi lautan
Mate bonomma sahumaliang
dohot si Sampuraga anak durhako

Demikian, singkat cerita Sampuraga yang telah di ramu ibu Dinillah Afdillah
dalam bentuk syair lagu. Untuk melengkapi syair tersebut, berikutnya Uwa72 akan bercerita
lebih rinci mengenai Sampuraga ini. Mudah-mudahan para poparan kel. Bgd.Manahan dapat me
ngambil manfaat dari cerita ini.


Pesan Moral Cerita Sampuraga

erita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin bekerja, sifat jujur dan sifat durhaka terhadap orang tua. Ketiga sifat tersebut tercermin pada sifat dan perilaku Sampuraga.

Demikian cerita sampuraga yang telah di ambil dari berbagai sumber, sehingga legenda yang mulai terlupkan oleh segenap warga demi untuk melihat betapa hebatnya ganjaran yang didapa seorang anak bila durhaka kepada orang tua. Cerita yang bisa menarik objek wisata ini seolah terabaikan oleh pemerintah demi untuk tetap menjaga alkisah sampuraga dengan berbagai peninggalan sejarah yang melegenda secara nasional.

Disekolah juga sudah jarang terdengar bagaimana legenda dahulu yang bisa menggugah hati para siswa agar sampuraga adalah anak durhaka yang tidak perlu di tiru sebab pendidikan ahlak sangt minim, sehingga adapt istiadat Mandailing yang punya tutur sapa yang halus dan lembut kini mulai putar akibat dari berbagai kebudayaan barat yang sudah menjadi bahan tontonan di berbagai media televise.

Dari legenda juga adat istiadat yang bisa menuntun generasi penerus bangsa harus tetap dilestarikan dengan berbagai metode pendidikan sekolah untuk tidak mentiadakan adapt dan budaya Mandailing yang kini sudah terkikis oleh zaman.


demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Legenda Kolam Sampuraga : Definisi, Sejarah, Cerita Dari Sumatera, Sianak Durhaka, Kisah, Lirik Lagu, Pesan Moral, Gambar, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.

Posting pada SD