Perkembangan Kota Makassar
Perkembangan bentuk kota Makassar pada abad-16 berawal dari dua lingkungan kecil yaitu pusat Kerajaan Gowa dan pusat Kerajaan Tallo. Kedua sumbu tersebut secara fisik dihubungkan oleh jalur jalan linier sepanjang pantai.
Setelah ditaklukkan oleh VOC pada tahun 1669, Kota Makassar berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan, dan pusat permukiman (Rasjid, 2000; Sumalyo, 2002). Pada awal abad ke-17 peranan kota Makassar sebagai bandar niaga dan administrasi semakin besar yang ditunjang oleh potensi wilayah, penduduk, dan letak geografisnya yang sangat strategis menjadi tempat transit perdagangan internasional terutama bangsa Eropa, Cina, Melayu, dan Arab.
Latar belakang aktifitas perdagangan nasional/internasional yang ramai ketika itu yang sejalan dengan nilai budaya masyarakatnya, mendorong cepatnya penyebaran dinamika pertumbuhan kota Makassar sebagai kota pantai (Kuntowijoyo, 2003). Berdasarkan nilai-nilai sosio-kultural yang dipahami, maka kehadiran berbagai komunitas tersebut telah memberikan kontribusi yang bersifat sinergis dengan masyarakat Bugis di kota Makassar.
Pada awal abad-20 benteng Rotterdam berperan sebagai pusat pemerintahan dan sebagai pusat permukiman kota Makassar. Selanjutnya pada saat ini perkembangan struktur kotanya tidak lagi berorientasi ke benteng. Pusat kota Makassar bergeser ke lapangan Karebosi, diikuti oleh adanya perkembangan kawasan-kawasan kota yang cenderung menyebar dan membentuk sub-sub pusat kota. Menurut Sumalyo (2002), “wujud kota Makassar berbeda dengan wujud kota tradisional nusantara lainnya seperti di Jawa, yaitu struktur kotanya tidak memperlihatkan secara jelas pola dasar tetap yang berbasis pada budayanya”.
Lebih jauh Sumalyo menyatakan bahwa perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan sejarah dan proses pertumbuhan. Dalam hal ini adalah perbedaan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur: lokasi, potensi wilayah, penduduk, dan pemerintahnya. Ketidak-jelasan pola wujud kota Makassar menjadi sebuah fenomena yang masih perlu dibuktikan dengan meneliti karakteristik pembentukan elemen fisik kotanya yang dikaitkan dengan latar belakang nilai-nilai sosiokultural masyarakatnya.
Mengikuti Tuan (1977), untuk menjelaskan makna dari organisasi ruang dalam konteks tempat dan ruang harus dikaitkan dengan budaya. Lebih lanjut Tuan menyatakan bahwa terdapat kesulitan tersendiri untuk menggeneralisasi makna dari organisasi ruang tersebut. Hal ini karena budaya sifatnya unik, dan antara satu tempat dengan tempat lain bisa sangat berbeda maknanya. Dengan demikian, untuk mengkaji keterkaitan pembentukan kota Makassar dengan nilainilai sosio-kultural masyarakatnya, perlu merujuk pada salah satu budaya masyarakat tertentu, yang dalam hal ini dipilih masyarakat Bugis.
Masyarakat Kota Makassar meliputi beberapa jenis etnik dominan yaitu antara lain: Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, dan beberapa masyarakat pendatang lainnya. Menyadari betapa pentingnya peranan budaya dalam membangun sebuah kota, sehingga penenelitian ini bermaksud untuk mengkaji keterkaitan antara nilai-nilai sosio-kultural masyarakat dan pembentukan kota. Hasil penelitian ini diharapkan menemukan sebuah konsep pembentukan kota yang dapat menuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya, yang selanjutnya dapat memberikan kontribusi pada bidang perancangan kota.
Asal Usul Kota Makassar
Makassar adalah salah satu kota metropolitan tepatnya di provinsi Sulawesi Selatan. Nama Makassar yang disandang kota ini bukan sekedar nama belaka, sejarah panjang masa lalu membuat nama Makassar menjadi sakral untuk dipakai kota yang dijuluki kota Anging Mammiri.
Sejarah Singkat Makasar
Selama tiga hari Baginda Raja Tallo ke-VI Mangkubumi dari Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri Kara Eng Katangka yang merangkap menjadi Tuma’bicara Butta ri Gowa, ia bermimpi melihat cahaya yang bersinar muncul dari Tallo. Cahaya itu kemilau nan indah yang memancar keseluruh Butta Gowa menuju ke negeri sahabat yang lain.
Bersamaan pada malam ketiga, yaitu pada malam Jum’at 9 Jumadil Awal 1014 H. Di pinggir pantai Tallo merapatlah sebuah perahu yang kecil. Layarnya dari sorban, berkibar dengan kencang. Dan nampak seorang lelaki meminggirkan perahunya kemudian melakukan gerakan-gerakan aneh. Lelaki tersebut ternyata sedang melakukan sholat.
Sehingga cahaya yang terpancar dari badan Ielaki tersebut membuat pemandangan yang menggemparkan para penduduk Tallo, yang saat itu sontak ramai membicarakannya dan sampailah pada telinga Baginda KaraEng Katangka. Pada saat pagi buta tersebut, Baginda kemudian bergegas menuju pantai. Tetapi tiba-tiba lelaki itu telah muncul ‘menghadang’ tepat di gerbang istana. Memakai jubah putih dan sorban yang berwarna hijau. Wajahnya terlihat teduh. Dan badannya memancarkan cahaya.
Lelaki tersebut lalu menjabat tangan Baginda Raja yang kaku karena takjub. Digenggaman tangannya lalu menulis kalimat pada telapak tangan Baginda “Perlihatkanlah tulisan ini kepada lelaki yang sebentar lagi akan datang merapat di pantai,” kemudian lelaki itu menghilang. Baginda lalu terperanjat. Kemudian meraba-raba matanya guna memastikan bahwa ia tak sedang bermimpi. Dilihatlah di telapak tangannya tulisan itu ternyata memang ada. Baginda KaraEng Katangka selanjutnya bergegas pergi menuju pantai. Benar saja, nampak seorang lelaki sedang menambat perahu, yang terus menyambut kedatangannya.
Singkat cerita, Baginda pun akhirnya menceritakan pengalamannya lalu menunjukkan tulisan yang ada di telapak tangannya kepada lelaki tersebut. “Berbahagialah Baginda karena tulisan ini merupakan bacaan dua kalimat syahadat,” kata lelaki tersebut. Dan ternyata lelaki yang menuliskannya ialah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam.
Peristiwa itu dipercaya awal dari jejak sejarah terkait asal-usul nama “Makassar”, yang diambil dari nama “Akkasaraki Nabbiya”, yang memiliki arti Nabi menampakkan diri. Adapun laki-laki yang datang ke pantai Tallo itu ialah bernama Abdul Ma’mur Khatib Tunggal dikenal sebagai Dato’ ri Bandang, seorang yang berasal dari Kota Tengah.
Secara lebih jauh, penelusuran asal mula nama “Makassar” bisa ditinjau oleh beberapa segi, yakni:
-
Makna Makasar
Agar dapat menjadi manusia yang sempurna butuh “Ampakasaraki”, yakni menjelmakan yang terkandung didalam bathin yang diwujudkan melalui perbuatan. Dan jika “Mangkasarak” merupakan permewujudan diri untuk dapat menjadi seorang manusia yang sempurna melalui ajaran TAO yakni ilmu keyakinan bathin.
-
Sejarah Singkat Makasar
Sumber-sumber oleh Portugis di awal abad ke-16 sudah mencatat nama “Makassar” sudah menjadi ibu kota dari Kerajaan Gowa. Sebagai ibu kota Makassar telah dikenal bangsa asing. Bahkan pada sebuah syair ke-14 Nagarakertagama karangan dari Prapanca nama Makassar sudah tercantum.
-
Bahasa Makasar
Secara Etimologi, Makassar berasal dari kata “Mangkasarak” terdiri dari dua morfem bebas “kasarak” dan morfem ikat “mang”. Morfem ikat “mang” mempunyai arti yakni: (a). Mempunyai sifat yang terkandung pada kata dasarnya. (b). Menjelmakan diri yang dinyatakan pada kata dasarnya. Morfem bebas “kasarak” mempunyai arti yakni: (a). Nyata, jelas, tegas, terang. (b). Tampak pada penjelasan. (c). Besar (halus atau lawan kecil).
Jadi, kata “Mangkasarak” Mempunyai arti serta memiliki sifat yang besar dan juga berterus terang. Sebagai nama, orang yang mempunyai karakter “Mangkasarak” artinya orang itu mulia, terus terang. Sinkron antara bibir dan hati.
Yang terkandung dalam ungkapan “Akkana Mangkasarak”, ialah berkata terus terang, walaupun pahit, sanget penuh keberanian dan tanggung jawab. Dengan kata “Mangkasarak” bisa dikenal jika dia diperlakukan dengan baik, dia akan lebih baik. Apabila diperlakukan halus, ia akan lebih halus, dan apabila ia dihormati, maka ia juga akan lebih dari hormat.
Posisi Penelitian Sosio-Kultural di Kota Makassar
Sampai saat ini kajian keterkaitan aspek sosial budaya masyarakat dengan perwujudan kota, belum banyak mendapat perhatian di bidang perkotaan, khususnya yang dapat memberi kontribusi terhadap bidang perancangan kota. Beberapa hasil penelitian terkait yang memfokuskan pembahasannya di Kota Makassar akan dijelaskan pada pembahasan berikut. Kajian penelitian tersebut meliputi pembahasan tentang: nilai-nilai sosio kultural, kegiatan penduduk di perkotaan, rancangan wujud kota, dan tentang keterkaitan wujud kota dengan kebijakan publik. Penelitian-penelitian tersebut antara lain:
-
Satu
Penelitian Bambang Heryanto (2001a) yang berjudul: ”The Spirit and Image of the City: A Case Study of The Changing and Developing Urban Form of Ujung Pandang, Indonesia”. Penelitian ini melihat interaksi antara perancangan kota sebagai kebijakan publik dan menilai keterlibatan para pelaku pembangunan dalam proses perkembangan kota di Indonesia khususnya di kota Makassar.
Metode penelitian dilakukan secara kualitatip. Indikator karakteristik bentuk kota yang ditinjau berupa: urban form, street pattern, land use, open space, dan sky line; sedangkan indikator kebijakan publik dilihat berupa: kebijakan penzoningan ruang, peraturan bangunan, dan beberapa perangkat perancangan kota seperti kebijakan perancangan, acuan perancangan, dan kebijakan pemerintah tentang rencana-rencana tata ruang / master plan yang telah disusun. Secara spesifik penelitian tersebut hanya membahas tentang keterkaitan kebijakan publik dalam perkembangan kota, tetapi tidak mengkaji keterkaitan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat kota Makassar dengan pembentukan kotanya.
-
Dua
Penelitian Trisutomo, S. (1997), yang berjudul ”Urban Waterfront: the Spatial Characteristics of Ujung Pandang, Indonesia”. Penelitian ini melihat pada karakteristik elemen fisik ruang kota Makassar khususnya disepanjang kawasan pantai. Secara spesifik penelitian tersebut membahas secara eksplanatori tentang tingkat intensitas penggunaan ruang dan kondisi kualitas ruang khususnya pada kawasan pesisir pantai sebagai sebuah analisis karakteristik waterfront. Namun demikian penelitian tersebut hanya membahas ke arah analisis spasial, akan tetapi tidak mengkaji lebih jauh tentang keterkaitan karakteristik waterfront atau wujud pesisir pantai kota Makassar dengan kajian nilai-nilai sosio-kultural masyarakatnya sebagai salah satu faktor pembentuk kota.
-
Tiga
Penelitian Yulianto Sumalyo (2001) yang berjudul: ”Sejarah Perkembangan Arsitektur dan Kota Makassar”. Penelitian ini dimotivasi oleh fenomena banyaknya pembongkaran bangunan bersejarah di kota Makassar tanpa memperhatikan keunikan artefak sejarah.
Hasil penelitian ini memperkuat pentingnya warisan budaya yang dapat mencerminkan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, serta perlunya kesadaran pemerintah dan masyarakat untuk mempertahankan warisan tersebut. Secara spesifik penelitian ini hanya membahas tentang kondisi nyata perkembangan kota dan bangunan, tetapi tidak mengkaji keterkaitan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat kota dengan wujud kota, sehingga hasilnya belum menghasilkan sebuah konsep yang dapat dipedomani dalam perancangan kota ke depan.
-
Empat
Penelitian Halilintar Latief (2006) yang berjudul ”Kepercayaan Orang Bugis di Sulawesi Selatan, Suatu Kajian Antropologi Budaya”. Penelitian ini merupakan penelitian antropologi yang dibahas secara deskriptip kualitatip melalui kajian budaya Etnik Bugis. Penelitian ini mengungkapkan bahwa kepercayaan orang Bugis meliputi unsur-unsur rohani lokal yang hingga kini masih menjiwai serta mempengaruhi sosial budaya sebagian masyarakat Bugis.
Kepercayaan Bugis juga menjadi cermin kebertahanan penganutnya dalam menghadapi tekanan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Penelitian tersebut secara spesifik hanya mengungkapkan konsep kepercayaan dalam kebudayaan Bugis semata termasuk ritualnya, tetapi tidak sampai medefinisikan nilai-nilai tersebut secara operasional dalam pembentukan lingkungan binaan atau kota.
-
Lima
Penelitian Mattulada (1975) yang berjudul ”La Toa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi”. Penelitian ini merupakan penelitian bidang antropologi politik dibahas secara deskriptip membahas sebuah kajian sejarah Etnik Bugis. Penelitian ini mengungkapkan bahwa ketaatan dan respon terhadap kepemimpinan dikuasai oleh suatu sikap hidup yang berdasar pada suatu sistem nilai yang hidup dalam kebudayaan orang Bugis yang disebut ”Siri na Pesse dan Pangadereng” yang diyakini akan membangun wujud menuju kesempurnaan kehidupannya. Penelitian tersebut secara spesifik hanya mengungkapkan tentang beberapa konsep kebudayaan orang Bugis semata, tetapi tidak sampai medefinisikan nilai-nilai tersebut secara operasional dalam pembentukan kota.
-
Enam
Penelitian Rahman Rahim (1984) dalam disertasinya yang berjudul “Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis”. Penelitian ini merupakan penelitian bidang antropologi budaya yang dibahas secara deskriptip mengungkapkan bahwa nilainilai utama kebudayaan Bugis meliputi: kejujuran (alempureng), kecendekiaan (amaccang), kepatutan/kepantasan (asitinajang), keteguhan (agettengeng), usaha (reso), dan harga diri/malu (siri’).
Nilai-nilai tersebut dianggap memiliki pengaruh yang sangat tinggi terhadap setiap pola pikir dan perilaku masyarakat Bugis dalam konteks kehidupannya saat ini dan akan datang. Penelitian tersebut secara spesifik hanya mengungkapkan tentang beberapa nilai-nilai utama kebudayaan orang Bugis saja, tetapi tidak sampai medefinisikan nilai-nilai tersebut secara operasional dalam pembentukan lingkungan binaan atau kota.
-
Tujuh
Penelitian Christian Pelras (1996) yang berjudul “The Bugis”. Penelitian ini membahas sejarah pembentukan nilai-nilai kebudayaan dan peradaban masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai-nilai utama kebudayaan Bugis sebagai unsur-unsur penggerak utama masyarakat yang dinamis dan berkepribadian kuat adalah seperti: keberanian, kecerdasan,
ketaatan terhadap ajaran agama, dan kelihaian berbisnis. Penelitian tersebut secara spesifik hanya mengungkapkan tentang perkembangan sosio-kultural orang Bugis mulai dari aspek kosmologi sampai pada aspek pemahaman dan pemaknaan orang Bugis terhadap ruang dan lokasi. Namun demikian penelitian ini tidak melihat keterkaitan antara nilai-nilai tersebut terhadap kondisi visual dan spasial dalam pembentukan kota.
Letak Geografis Kota Makasar
Makassar adalah Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak di bagian Selatan Pulau Sulawesi yang dahulu disebut Ujung Pandang, terletak antara 119º24’17’38” Bujur Timur dan 5º8’6’19” Lintang Selatan yang berbatasan sebelah Utara dengan Kabupaten Maros, sebelah Timur Kabupaten Maros, sebelah selatan Kabupaten Gowa dan sebelah Barat adalah Selat Makassar. Kota Makassar memiliki topografi dengan kemiringan lahan 0-2°(datar) dan kemiringan lahan 3-15° (bergelombang). Luas Wilayah Kota Makassar tercatat 175,77 km persegi. Kota Makassar memiliki kondisi iklim sedang hingga tropis memiliki suhu udara rata-rata berkisar antara 26,°C sampai dengan 29°C.
Peta Kota Makasar
demikianlah artikel dari dunipendidikan.co.id mengeia Asal Usul Kota Makassar : Perkembangan, Sejarah Singkat, Sosio Kultur, Makna, Bahasa, Letak Geografis Beserta Petanya, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.