Sejarah Munculnya Agama Hindu di Indonesia
Perkembangan agama Hindu-Budha tidak dapat lepas dari peradaban lembah Sungai Indus, di India. Di Indialah mulai tumbuh dan berkembang agama dan budaya Hindu dan Budha. Agama Hindu tumbuh bersamaan dengan kedatangan bangsa Aria (kulit putih, badan tinggi, hidung mancung) ke Mohenjodaro dan Harappa (Peradaban
Lembah Sungai Indus) melalui celah Kaiber (Kaiber Pass) pada 2000-1500 SM dan mendesak bangsa Dravida (berhidung pesek, kulit gelap) dan bangsa Munda sebagai suku bangsa asli yang telah mendiami daerah tersebut. Bangsa Dravida disebut juga Anasah yang berarti berhidung pesek dan Dasa yang berarti raksasa. Bangsa Aria sendiri termasuk dalam ras Indo Jerman. Awalnya bangsa Aria bermatapencaharian sebagai peternak kemudian setelah menetap mereka hidup bercocok tanam. Bangsa Aria merasa ras mereka yang tertinggi sehingga tidak mau bercampur dengan bangsa Dravida. Sehingga bangsa Dravida menyingkir ke selatan Pegunungan Vindhya.
Orang Aria mempunyai kepercayaan untuk memuja banyak Dewa (Polytheisme), dan kepercayaan bangsa Aria tersebut berbaur dengan kepercayaan asli bangsa Dravida yang masih memuja roh nenek moyang. Berkembanglah Agama Hindu yang merupakan sinkretisme (percampuran) antara kebudayaan dan kepercayaan bangsa Aria dan bangsa Dravida. Terjadi perpaduan antara budaya Arya dan Dravida yang disebut Kebudayaan Hindu (Hinduisme).
Istilah Hindu diperoleh dari nama daerah asal penyebaran agama Hindu yaitu di Lembah Sungai Indus/ Sungai Shindu/ Hindustan sehingga disebut kebudayaan Hindu yang selanjutnya menjadi agama Hindu. Daerah perkembangan pertama agama Hindu adalah di lembah Sungai Gangga, yang disebut Aryavarta (Negeri bangsa Arya) dan Hindustan (tanah milik bangsa Hindu).
Dalam ajaran agama Hindu dikenal 3 dewa utama, yaitu:
- Brahma sebagai dewa pencipta segala sesuatu.
- Wisnu sebagai dewa pemelihara alam
- Siwa sebagai dewa perusak
Muncul dan Berkembangnya Agama Budha
Agama Budha tumbuh di India tepatnya bagian Timur Laut. Muncul sekitar 525 SM. Agama Budha muncul dan dikenalkan oleh Sidharta (semua harapan dikabulkan). Agama Budha muncul disebabkan karena :
Sidharta memandang bahwa adanya sistem kasta dalam agama Hindu dapat memecah belah masyarakat, bahkan sistem kasta dianggap membedakan derajat dan martabat manusia berdasarkan kelahiran. Padahal setiap manusia itu sama kedudukannya.
Itulah fenomena yang ada di lingkungannya sementara itu satu hal yang membuat Sidharta akhirnya berusaha untuk menentang adat dan tradisi yang ada adalah karena beliau melihat adanya kenyataan hidup bahwa manusia akan tua, sakit, mati, dan hidup miskin yang intinya bahwa bagi Sidharta kehidupan adalah suatu “PENDERITAAN”.
Oleh karena itu manusia harus dapat menghindarkan diri dari penderitaan (samsara), dan demi mencari cara atau jalan untuk membebaskan diri dari penderitaan guna mencapai kesempurnaan maka beliau meninggalkan istana dengan segala kemewahannya melakukan meditasi tepatnya di bawah pohon Bodhi di daerah Bodh Gaya. Dalam meditasinya tersebut akhirnya Sidharta memperoleh penerangan agung dan saat itulah terlahir/ tercipta agama Budha.
Agama Budha lahir sebagai upaya pengolahan pemikiran dan pengolahan diri Sidharta sehingga menemukan cara yang terbaik bagi manusia agar dapat terbebas dari penderitaan di dunia sehingga dapat mencapai kesempuirnaan (nirwana) dan berharap tidak akan terlahir kembali di dunia untuk merasakan penderitaan yang sama.
Agama Budha
Agama Budha masuk ke Indonesia dibawa oleh para pendeta didukung dengan adanya misi Dharmadhuta, kitab suci agama Budha ditulis dalam bahasa rakyat sehari-hari, serta dalam agama Budha tidak mengenal sistem kasta. Para pendeta Budha masuk ke Indonesia melalui 2 jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan, yaitu melalui jalan daratan dan lautan. Jalan darat ditempuh lewat Tibet lalu masuk ke Cina bagian Barat disebut Jalur Sutra, sedangkan jika menempuh jalur laut, persebaran agama Budha sampai ke Cina melalui Asia Tenggara. Selanjutnya sampai ke Indonesia mereka akhirnya bertemu dengan raja dan keluarganya serta mulai mengajarkan ajaran agama Budha, pada akhirnya terbentuk jemaat kaum Budha.
Bagi mereka yang telah mengetahui ajaran dari pendeta India tersebut pasti ingin melihat tanah tempat asal agama tersebut secara langsung yaitu India sehingga mereka pergi ke India dan sekembalinya ke Indonesia mereka membawa banyak hal baru untuk selanjutnya disampaikan pada bangsa Indonesia. Unsur India tersebut tidak secara mentah disebarkan tetapi telah mengalami proses penggolahan dan penyesuaian. Sehingga ajaran dan budaya Budha yang berkembang di Indonesia berbeda dengan di India.
Agama Hindu
Para pendeta Hindu memiliki misi untuk menyebarkan agama Hindu dan melalui jalur perdagangan akhirnya sampai di Indonesia. Selanjutnya mereka akan menemui penguasa lokal (kepala suku). Jika penguasa lokal tersebut tertarik dengan ajaran Hindu maka para pendeta bisa langsung mengajarkan dan menyebarkannya.
Dalam ajaran agama Hindu konsepnya adalah seseorang terlahir sebagai Hindu bukan menjadi Hindu maka untuk menerima ajaran agama Hindu orang Indonesia harus di-Hindu-kan melalui upacara Vratyastoma dengan pertimbangan kedudukan sosial/ derajat yang bersangkutan (memberi kasta). Hubungan India-Indonesia berlanjut dengan adanya upaya para kepala suku/ raja lokal untuk menyekolahkan anaknya/ utusan khusus ke India guna belajar budaya India lebih dalam lagi.
Setelah kembali ke tanah air mereka kemudian menyebarkan kebudayaan India yang sudah tinggi. Bahkan tak jarang mereka mendatangkan para Brahmana India untuk melakukan upacara bagi para penguasa di Indonesia, seperti upacara Abhiseka, merupakan upacara untuk mentahbiskan seseorang menjadi raja. Jika di suatu wilayah rajanya beragama Hindu maka akan memperkuat proses penyebaran agama Hindu bagi rakyat di daerah tersebut. Berikut kerajaan-kerajaan hindu yang pernah berdiri di Indonesia.
Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai dengan nama asli Kutai Martadipura merupakan kerajaan hindu tertua di Indonesia, dengan aliran agama hindu-siwa. Letaknya di Muara Kaman tepatnya pada hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Keberadaan kerajaan ini ditandai dengan adanya 7 buah prasasti, yang dinamai prasasti yupa. Dengan palawa sebagai hurufnya,dan sansekerta sebagai bahasanya. Pendirinya adalah Raja Kudungga. Setelah Raja Kudungga wafat, kerajaan diambil alih oleh putranya, Raja Aswawarman. Dan setelah Raja Aswawarman wafat, kerajaan diambil alih oleh putra Raja Aswawarman, yaitu Raja Mulawarman.
Pada sebuah prasasti Yupa abad ke-4, dikisahkan bahwa Raja Mulawarman telah menyumbangkan 20.00 ekor sapi kepada para brahmana. Kisah ini menceritakan betapa dermawannya seorang Raja Mulawarman, oleh karena itu, dari sekian banyak raja yang memimpin kerajaan Kutai, Raja Mulawarman lah yang paling terkenal.
Keruntuhan kerajaan Kutai Martadipura disebabkan oleh tewasnya raja terakhir Kutai Martadipura yang kalah memperebutan kekuasaan dari kerajaan Kutai Kartanegara di bawah pimpinan Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Awalnya Kutai Kartanegara merupakan bagian dari kerajaan Kutai Martadipura, namun karena perbedaan kepercayaan, di mana Kutai Kartanegara menganut kepercayaan agama islam, akhirnya perebutan kekuasaan pun terjadi dan berakhir dengan Kutai Kartanegara sebagai pemenang.
Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan dengan nama asli Tarumanagara ini terletak di daerah Bekasi, Jawa Barat bagian utara. Raja yang paling terkenal adalah raja yang ke-3, yaitu Raja Purnawarman. Keberadaan kerajaan hindu dengan aliran hindu wisnu ini diketahui dengan ditemukannya beberapa prasasti yang menceritakan tentang keberhasilan-keberhasilan kerajaan. Prasasti-prasasti tersebut antara lain:
- Prasasti Kebon Kopi, ditemukan di kebon kopi milik Jonathan Reck
- Prasasti Tugu, ditemukan di daerah Bekasi, menceritakan tentang penggalian SungaiGomati oleh kerajaan Tarumanagara
- Prasasti Cidanghiang, ditemukan di daerah Pandeglang
- Prasasti Ciaruteun, ditemukan di aliran Sungai Ciampea, menggambarkan betapa perkasanya seorang raja Purnawarman dengan telapak kaki besarnya yang terukir di prasasti tersebut
- Prasasti Muara Cianten, ditemukan di daerah Ciampea
- Prasasti Jambu, ditemukan di daerah Nanggung, Bogor
- Prasasti Pasir Awi, ditemukan di daerah Cieteureun
Selain ditemukannya peninggalan-peninggalan berupa prasasti, ternyata ditemukan pula peninggalan berupa candi yang dikenal dengan sebutan Candi Jiwa, letaknya di daerah Karawang.
Selain peninggalan sejarah berupa prasasti dan candi, terdapat pula sumber-sumber sejarah lain mengenai kerajaan ini seperti:
- Fa hien, pada kitab Fa Kao Chi dari China
- Dinasti Sui, tahun 528 dan 535 Masehi
- Dinasti Tang, tahun 666 dan 669 Masehi
- Naskah wangsakerta yang menceritakan tentang pendirian kerajaan Tarumanegara
Akhir dari kerajaan ini disebabkan oleh keinginan Tarusbawa untuk membawa kerajaan Tarumanagara kembali ke kerajaan Sunda, namun salah satu saudara Tarusbawa yang bernama Galuh tidak setuju jika kerajaan Taruma kembali ke kerajaan Sunda, akhirnya Galuh pergi dari kerajaan Taruma, dan kembali datang untuk merebutnya kekuasaan kerajaan Sunda yang awalnya adalah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara, akhirnya kerajaan itu pun diubah menjadi Kerajaan Sunda Galuh.
Mataram Kuno
Menurut Teori Van Bammalen, letak kerajaan ini berpindah-pindah, hal ini disebabkan oleh 2 alasan, yaitu karena adanya bencana alam letusan Gunung Merapi, dan karena adanya peperangan dalam perebutan kekuasaan. Awalnya, pada abad ke-8 kerajaan ini terletak di daerah Jawa Tengah, kemudian setelah Gunung Merapi meletus pada abad ke-10, kerajaan ini dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok.
Agama di kerajaan ini pun terbagi menjadi 2, yaitu hindu pada Dinasti Sanjaya dan budha pada Dinasti Syailendra. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya, Raja Sanjaya. Setelah Raja Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran. Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran adalah Rakai Warak, kemudian Rakai Warak digantikan oleh Rakai Garung (Samaratungga).
Di tengah-tengah pemerintahan kerajaan Mataram Kuno, Datanglah keinginan Rakai Pikatan untuk menjadi penguasa tunggal sebagai Dinasti Sanjaya. Persaingan antara Dinasti Sanjaya yang dipimpin Rakai Pikatan dengan Dinasti Syailendra yang dipimpin Raja Samaratungga, membuat cita-cita Rakai Pikatan untuk menjadi penguasa tunggal di Pulau Jawa terhalang. Terjadi pertikaian antar kedua dinasti. Akhirnya pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti melalui pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya dengan Pramodawardhani dari Dinasti Syailendra.
Namun, pernikahan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani ternyata tidak membuahkan kedamaian, malah justru membuat pertikaian antara Dinasti Sanjaya dengan Dinasti Syailendra semakin sengit. Akhirnya, Rakai Pikatan sebagai Dinasti Sanjaya berhasil menguasai kerajaan sedangkan Pramodawardhani bersama anaknya, Balaputradewa melarikan diri ke Palembang, Sumatra Selatan untuk kemudian mereka menjalankan sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga jadi pelaksana pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih ini di antaranya adalah:
- Ratu, Datu, Sri Maharaja
- Rakryan Mahamantri I Hino
- Mahamantri Halu & Mahamantri I Sirikan
- Mahamantri Wko & Mahamantri Bawang
- Rakryan Kanuruhan
Raja Mataram selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang, kemudian dilanjutkan oleh Dyah Balitung yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Maha Dambhu sebagai Raja Mataram Kuno yang sngat terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan. Di masa pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat lainnya. Rakryan I Halu,dan Rakryan I Sirikan. Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung.
Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama di Kerajaan Mataram Kuno yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Kerajaan Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur. Mpu Daksa, yang pada masa pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino,melakukan kudeta karena merasa bahwa ia adalah keturunan asli Dinasti Sanjaya, kemudian Mpu Daksa digantikan oleh menantunya, Sri Maharaja Tulodhong.
Kerajaan Mataram Kuno berakhir dengan sebuah peristiwa yang disebut Peristiwa Mahapralaya. Saat itu, Raja Teguh Dharmawangsa sedang menikahkan putrinya, dengan Raden Wijaya. Di tengah-tengah pesta, datang pasukan kerajaan Sriwijaya dengan kerajaan kecil sekutunya, Kerajaan Wurawari. Raja Teguh Dharmawangsa tewas, sedangkan putrinya yang sedang menikah lolos dan berhasil melarikan diri ke Madura bersama suaminya, Raden Wijaya.
Kerajaan Kediri
Berdirinya Kerajaan Kediri berawal ketika Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan kecil Wurawari berhasil meruntuhkan kerajaan Mataram Kuno lewat Peristiwa Mahapralaya. Kekuasaan Kerajaaan Mataram Kuno diambil alih, dan nama Mataram diubah menjadi Kediri. Kerajaan Kediri merupakan kerajaan turunan Ajiwuwari. Raja pertamanya adalah Raja Sri Jayawarsha.
Kemudian dilanjutkan oleh Raja Bameswara. Dalam kitab Kakawin Smaradahana, karangan Mpu Dharmaja, diceritakan bahwa Raja Bameswara adalah keturunan pendiri Dinasti Isyana. Kemudian Raja Bameswara digantikan oleh mertuanya, Jayabhaya. Pada masa pemerintahan Jayabhaya, terjadi perang saudara ini diabadikan dalam bentuk Kakawin Bharatayuddha yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Punuluh.
Jayabhaya berhasil memenangkan perang saudara tersebut sehingga wilayah Kediri berhasil disatukan lagi dengan wilayah Jenggala. Peristiwa kemenangan ini diabadikan dalam Prasasti Ngantang. Kemudian Raja Jayabhaya digantikan oleh Raja Sarweswara dari Aryyeswara. Kemudian digantikan lagi oleh Raja Gandra. Pada masa pemerintahannya, Gandra menyempurnakan struktur pemerintahan yang diwariskan Kerajaan Mataram Kuno. Setelah Raja Gandra, Kerajaan Kediri dipimpin oleh Raja Kameshwara. Pemerintahan Kameshwara ditandai dengan pesatnya hasil karya sastra Jawa.
Pada masa pemerintahannya, cerita-cerita panji atau kepehlawanan banyak dihasilkan. Raja kerajaan Kediri berikutnya adalah Kertajaya atau Srengga. Pada masa pemerintahannya, Kediri mulai mengalami masalah dan ketidakstabilan. Hal ini karena Kertajaya berusaha membatasi dan mengurangi hak istimewa para kaum Brahmana, kemudian di daerah Tumapel (sekarang Malang) muncul kekuatan baru di bawah pimpinan Ken Arok.
Perlahan-lahan, terjadi arus pelarian para Brahmana dari wilayah Kediri menuju Tumampel. Kertajaya menyikapi arus pelarian ini dengan mengerahkan tentara Kerajaan Kediri untuk menyerbu Tumapel. Perang antara pasukan Kertajaya dan Ken Arok terjadi di Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan kekuasaan pasukan Kertajaya. Atas kekalahan ini, Kerajaan Kediri memang seolah-olah telah runtuh, namun ternyata, secara perlahan kerajaan Kediri masih berdiri dibawah pimpinan Raja Jayakatwang, meskipun keberadaan mereka di bawah kekuasaan Kerajaan Singasari.
Kerajaan Singasari
Berdirinya Kerajaan Singasari, saling berkaitan erat dengan Kerajaan Kediri dan Majapahit. Ketika Ken Arok menjabat sebagai prajurit di Tumapel, di Kerajaan Kediri sedang berlangsung perselisihan antara Raja Kertajaya dengan para Brahmana. Para Brahmana tersebut melarikan diri ke Tumapel karena merasa lebih nyaman berada di Tumapel, akhirnya terjadilah pertempuran antara Kerajaan Kediri dengan paukan akuwu Tumapel. Dalam pertempuran di Ganter, Kerajaan Kediri mengalami kekalahan dan Raja Kertajaya meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan sebagian wilayah Kerajaan Kediri dengan Tumapel, dan mendirikan Kerajaan Singasari, dengan Tunggul Ametung sebagai rajanya.
Ken Arok bergelar Sri Rangga Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindrawangsa di Jawa Timur. Istri pertamanya bernama Ken Umang, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Awalnya, Ken Arok hanyalah seorang anak desa yang dilahirkan oleh seorang Ibu bernama Ken Nduk. Ia dididik oleh para penjahat di lingkungan sekitarnya hingga dewasa, sehingga ia tumbuh dan berkembang menjadi seorang penjahat yang suka mabuk, mencuri, dan membunuh. Pada perjalan hidupnya, ia bekerja sebagai seorang prajurit di daerah Tumapel, dan tertarik pada Ken Dedes, istri komandan Tunggul Ametung.
Timbul keinginan Ken Arok untuk memperistri Ken Dedes. Singkat cerita, Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung dengan keris yang dibuat Mpu Gandring, kemudian ia pun segera memperistri Ken Dedes. Setelah sekian lama, Ken Dedes akhirnya menceritakan peristiwa pebunuhan suaminya tersebut kepada anaknya dari Tunggu Ametung, Anusapati. Anusapati marah, dan berniat balas dendam, akhirnya Anusapati berhasil membunuh Ken Arok dengan keris buatan Mpu Gandring yang telah digunakan Ken Arok untuk membunuh ayah kandungnya.
Panji Tohjaya, anak kandung Ken Arok dengan Ken Umang mengetahui peristiwa pembunuhan ayahnya yang dilakukan Tohjaya. Akhirnya dengan keris yang sama, Tohjaya berhasil membunuh Anusapati. Ranggawuni, yang merupakan saudara dari Anusapati, mengetahui pembunuhan yang dilakukan Tohjaya, akhirnya dengan keris yang sama, Ranggawuni membunuh Tohjaya.Setelah kejadian bunuh membunuh berantai ini, akhirnya naik tahta lah Raja Kertanegara sebagai raja yang terkenal dan terbesar dari kerajaan Singasari. Ia mempunyai semangat Ekspansionis.
Kertanegara bercita-cita memperluas Kerajaan Singasari hingga keluar Pulau Jawa yang disebut dengan istilah Cakrawala Mandala. Pada tahun 1275, ia mengirim pasukan ke Sumatra untuk menguasai Kerajaan Melayu yang disebut sebagai Ekspedisi Pamalayu. Dalam ekspedisi tersebut, Kerajaan Melayu berhasil di taklukan. Peristiwa ini diabadikan pada alas patung Amoghapasha di Padangroco (Sungai Langsat).
Seorang utusan Cina bernama Meng K’i pulang ke Cina, dan menceritakan pada kaisar Kubilai Khan bahwa Kerajaan Melayu yang awalnya menjadi incarannya telah dikuasai dan ditaklukan oleh Kerajaan Singasari. Kaisar Kubilai Khan begitu marah, ia segera mengirim pasukan untuk menyerang Kerajaan Singasari.
Mendengar wilayah kekuasaannya di bagian Sumatra akan diserang, pasukan-pasukan Kerajaan Singasari segera dikirim ke Sumatra untuk menghadapi serangan pasukan Cina. Sementara itu, Raja Jayakatwang dari Kerajaan Kediri (kerajaan yang pernah dikalahkan Kerajaan Singasari) melihat kesempatan baik untuk merebut kembali kekuasaan selagi pasukan-pasukan Kerajaan Singasari dikirim ke Sumatra. Pada tahun 1292, Raja Jayakatwang dengan pasukan Kerajaan Kediri langsung menyerang Ibu kota Kerajaan Singasari.
Menurut cerita, pada saat serangan musuh datang, Raja Kertanegara beserta para pejabat dan pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana, sehingga dapat dengan mudah mereka semua dibunuh oleh musuh. Kerajaan Singasari akhirnya berhasil direbut kembali oleh Jayakatwang, Raja dari Kerajaan Kediri.
Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan hindu terakhir dan terbesar di Indonesia. Letaknya di Pulau Jawa. Pendirinya adalah Raden Wijaya, menantu dari Raja Teguh Dharmawangsa (Kerajaan Mataram Kuno) yang sempat melarikan diri ke Madura bersama istrinya saat terjadi Peristiwa Mahapralaya.
Kerajaan Majapahit, awalnya hanyalah sebuah desa kecil bernama Desa Tarik.Desa itu merupakan pemberian dari Raja Jayakatwang dari Kediri atas kembalinya menantu Raja Teguh Dharmawangsa (Raden Wijaya) dari Kerajaan Mataram Kuno yang telah lama dikuasai Kerajaan Kediri. Raden Wijaya telah dimaafkan dan dipercaya tidak bersalah atas kesalahan generasi atasnya.
Singkat cerita, pada tahun 1292, armada Cina yang terdiri dari 1.000 buah kapal dengan 20.000 orang prajurit tiba di Tuban, Jawa Timur dengan tujuan untuk menyerang Raja Kertanegara yang telah merebut Kerajaan Melayu dan menyatakan tidak mau tunduk pada Kaisar Kubilai Khan. Mereka tidak tau bahwa Raja Kertanegara beserta Kerajaan Singasari itu telah meninggal dan hancur dikalahkan oleh Raja Jayakatwang dari Kediri.
Setelah Raden Wijaya wafat, putera permaisuri Tribuwaneswari yang bernama Jayanegara menggantikannya sebagai Raja Majapahit. Pada awal pemerintahannya Jayanegara harus menghadapi sisa pemberontakan yang meletus dimasa ayahnya masih hidup. Selain pembrontakan Kuti dan Sumi, Raja Jayanegara diselamatkan oleh pasukan pengawal (Bhayangkari) yang dipimpin oleh Gajah Mada ia kemudian diungsikan ke Desa Bedager.
Raja Jayanegara wafat tahun1328 karena dibunuh oleh salah seorang anggota dharmaoutra yang bernama Tanca. Oleh karena ia tidak mempunyai putra ia kemudian digantikan oleh adik perempuannya Bhre Kahuripan yang bergelar Tribuanatunggadewi Jayawishnuwardhani. Suaminya bernama Cakradhara yang berkuasa di Singasari dengan gelar Kertawerdhana.
Dari kitab Negarakertagama, digambarkan adanya beberapa pemberontakan di masa pemerintahan Ratu Tribuanatunggadewi. Pembrontakan yang paling berbahaya adalah pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Namun pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah itu Gajah Mada bersumpah di hadapan Raja dan para pembesar kerajaan bahwa ia tidak akan amukti palapa (memakan buah palapa), sebelum ia dapat menundukan seluruh Nusantara di bawah naungan Majapahit.
Pada tahun 1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang diberi nama Hayam Wuruk. Pada tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi mengundurkan diri setelah berkuasa 22 tahun. Ia wafat pada tahun 1372. Pada tahun 1350, Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara dan Gajah Mada diangkat sebagai Patih Hamangkubumi. Dibawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan Majapahit menguasai wilayah yang sangat luas.
Hampir seluruh wilayah Nusantara tunduk pada Majapahit, namun ada satu kerajaan kecil yang belum berhasil dikuasai kerajaan Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda Galuh. Raja Hayam Wuruk bersama Patih Gajah Mada berusaha untuk menaklukan kerajaan tersebut, namun ketika itu Raja Hayam Wuruk terlanjur jatuh cinta pada putri dari Kerajaan Sunda Galuh yang bernama Dyah Pitaloka. Raja Hayam Wuruk bermaksud untuk menikahi Dyah Pitaloka. Ia mengundang keluarga besar Kerajaan Sunda Galuh datang ke Kerajaan Majapahit untuk menikah dengan Dyah Pitaloka.
Ketika keluarga besar dari kerajaan Sunda Galuh tiba di Kerajaan Majapahit, terjadi kesalahpahaman. Patih Gajah Mada mengira bahwa keluarga besar Kerajaan Sunda Galuh ingin menyerang Kerajaan Majapahit, akhirnya Patih Gajah Mada segera mengeluarkan pasukan dan membunuh semua anggota keluarga Kerajaan Sunda Galuh. Hanya Dyah Pitaloka yang tidak dibunuh. Melihat seluruh keluarganya tewas, Dyah Pitaloka pun akhirnya melakukan belapati (bunuh diri) pada dirinya sendiri.
Raja Hayam wuruk yang mengetahui peristiwa kesalah pahaman tersebut menjadi marah, terlebih ketika melihat calon istrinya mati karena bunuh diri atas kesalah pahaman patihnya. Akhirnya, Raja Hayam Wuruk pun sakit, dan meninggal karena sakit hati. Sejak kematian Raja Hayam Wuruk, maka Kerajaan Majapahit mencapai masa kemunduran, perlahan-lahan kekuasaan Majapahit pun runtuh. Pada salah satu versi cerita, dikisahkan Sang Patih, Gajah Mada pergi ke sebuah gunung untuk berdiam diri dan menjadi pertapa karena merasa bersalah pada rajanya.
Demikianlah artikel dari duniapenddikan.co.id mengenai Sejarah Kerajaan Hindu Budha Di Indonesia : Muncul, Berkembang, Kutai, Tarumanegara, Mataram Kuno, Kedir, Singasari, Majapahit, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.