Pengertian dan Sejarah Ikan Patin
Ikan patin merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan panjang berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru‐biruan. Ikan patin dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk membudidayakannya. Ikan ini cukup responsif terhadap pemberian makanan tambahan. Pada pembudidayaan, dalam usia enam bulan ikan patin bisa mencapai panjang 35‐40 cm. Sebagai keluargaPangasidae, ikan ini tidak membutuhkan perairan yang mengalir untuk “membongsorkan“ tubuhnya. Pada perairan yang tidak mengalir dengan kandungan oksigen rendahpun sudah memenuhi syarat untuk membesarkan ikan ini.
Ikan patin berbadan panjang untuk ukuran ikan tawar lokal, warna putih seperti perak, punggung berwarna kebiru‐biruan. Kepala ikan patin relatif kecil, mulut terletak di ujung kepala agak di sebelah bawah (merupakan ciri khas golongan catfish). Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba.
Legenda Ikan Patin
Pada zaman dahulu, di Tanah Melayu hidup seorang nelayan tua bernama Awang Gading. Dia tinggal sendirian di tepi sebuah sungai yang luas dan jernih. Walaupun hidup seorang diri, Awang Gading selalu berbahagia. Dia mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Tuhan. Hari-harinya dihabiskan untuk bekerja mencari ikan dan mencari kayu di hutan.
Suatu hari, Awang Gading mengail di sungai. Sambil berdendang riang, dia menunggui kailnya. Burung-burung turut berkicau menambah kegembiraan Awang Gading. Sudah berkali-kali umpannya dimakan ikan, namun saat kailnya ditarik, ikannya terlepas lagi.
“Air pasang telan ke insang, air surut telan ke perut, renggutlah …! Biar putus jangan rabut,” terdengar dendang Awang Gading sambil melempar pancingnya kembali.
Perlahan hari beranjak petang, namun tak seekor ikan pun diperolehnya. “Alangkah tidak beruntungnya diriku hari ini,” keluh Awang Gading. Ia bergegas membereskan peralatan pancingnya dan berniat pulang. Tiba-tiba terdengar tangisan bayi. Dengan penasaran, Awang Gading mencari asal suara tersebut. Tak lama kemudian, Awang Gading melihat bayi perempuan tergolek di atas batu. Rupanya dia baru saja dilahirkan oleh ibunya.
“Anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai,” gumam Awang Gading kemudian membawa pulang bayi perempuan tersebut. Malam itu juga Awang Gading menghadap tetua kampungnya untuk memperlihatkan bayi yang ditemukannya.
“Berbahagialah Awang, karena kamu dipercaya raja penghuni sungai untuk memelihara anaknya. Rawatlah dia dengan baik,” pesan Tetua Kampung.
Keesokan harinya, Awang Gading mengadakan tasyakuran atas hadirnya bayi di tengah kehidupannya. Awang mengundang seluruh tetangganya. Awang Gading memberi nama bayi tersebut Dayang Kumunah.
“Dayang sayang, anakku seorang …. Cepatlah besar menjadi gadis dambaan,” dendang Awang Gading saat menimang-nimang Dayang Kumunah.
Sejak kehadiran Dayang, Awang bertambah rajin bekerja. Awang memberikan kasih sayang dan perhatian yang melimpah untuk Dayang. Berbagai pengetahuan yang dimiliki ditularkannya kepada Dayang. Tak lupa pelajaran budi pekerti juga diberikannya. Kadang diajaknya Dayang mencari kayu atau mengail untuk mengenal alam secara lebih dekat.
Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi. Dia juga rajin membantu bapaknya. Sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.
Suatu hari, seorang pemuda kaya bernama Awangku Usop singgah di rumah Awang Gading. Dia terpesona saat melihat kecantikan Dayang Kumunah. Tak lama kemudian Awangku Usop melamar Dayang pada Awang Gading. Lamaran Awangku Usop diterima, tetapi Dayang Kumunah mengajukan syarat.
“Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya akan menjadi seorang istri yang baik, tetapi jangan minta saya untuk tertawa,” pinta Dayang Kumunah.
Awangku Usop menyetujui syarat tersebut.
Pernikahan mereka diadakan dengan pesta yang sangat meriah. Semua tetangga dan kerabat kedua mempelai diundang. Aneka hidangan tersedia dengan melimpah. Seluruh undangan gembira menyaksikan pasangan pengantin itu. Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda yang sangat tampan. Sungguh pasangan yang serasi.
Awangku Usop dan Dayang Kumunah hidup berbahagia. Namun, kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah pernikahan, Awang Gading meninggal dunia. Hingga berbulan-bulan Dayang Kumunah bersedih meskipun Awang Usop selalu berusaha membahagiakan hati istrinya tersebut. Untunglah, kesedihan Dayang Kumunah segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang. Meskipun kini telah memiliki lima orang anak, Awangku Usop merasa kebahagiaannya belum lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa.
Suatu hari, anak bungsu mereka mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Kumunah. Awangku Usop meminta Dayang Kumunah untuk tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. Akhirnya, Dayang pun tertawa. Saat tertawa itu, tampaklah insang ikan di mulut Dayang Kumunah yang menandakan ia keturunan ikan. Setelah itu, Dayang segera berlari ke sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya. Perlahan-lahan tubuh Dayang berubah menjadi ikan. Awangku Usop dan anak-anaknya ditinggalkannya. Awangku Usop telah mengingkari janjinya dengan meminta Dayang Kumunah tertawa.
Awangku Usop segera menyadari kekhilafannya dan meminta maaf. Dia meminta Dayang Kumunah kembali ke rumah mereka. Namun, semua sudah terlambat. Dayang telah terjun ke sungai. Dia telah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki yang bersilang. Orang-orang menyebutnya ikan patin.
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih. Mereka berjanji tidak akan makan ikan patin karena dianggap sebagai keluarga
Asal Usul Ikan Patin
Alkisah zaman dahulu kala di Tanah Melayu hiduplah seorang nelayan tua yang bernama Awang Gading. Dia tinggal seorang diri di tepi sungai. Pekerjaannya sehari – hari ialah menangkap ikan dan terkadang dia pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar.
Air pasang telan ke insang.
Air surut telan ke perut.
Renggutlah.
Biar putus jangan rabut.
Itu adalah kata kata yang dia sering ucapkan ketika sedang memancing ikan.
Suatu hari di waktu dia sedang memancing dan tidak menemukan seekor ikan pun sama sekali. Di waktu perjalanan pulang dia mendengarkan seorang bayi yang sedang menangis. Karena rasa penasaran dia mencari dari mana suara itu berasal,Tak lama mencari, dia pun menemukan bayi perempuan yang mungil tergeletar di atas batu. Kelihatannya bayi itu baru dilahirkan oleh ibunya. karena rasa iba, dibawanya bayi tersebut pulang ke rumahnya.
Ketika sampai di rumahnya Awang Gading memberi nama bayi itu Dayang Kumunah. Dengan bahagia Awang Gading menimang-nimang sang bayi yang sedang mendendang. Dia berjanji akan bekerja lebih giat lagi dan mendidik anak tersebut dengan baik. Awang Gading juga membekali Dayang Kumunah berbagai ilmu pengetuhan serta pelajaran budi pekerti. Setiap hari dia juga mengajak Dayang pergi Memancing atau mencari kayu di hutan untuk mengenal kehidupan alam lebih luas.
Waktu terus berjalan Dayang Kumunah pun tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik serta berbudi pekerti luhur. Dia juga sangat rajin membantu ayahnya. Tetapi sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.
Suatu hari seorang pemuda kaya dan tampan yang tidak sengaja lewat di depan rumah Dayang. Pemuda itu bernama Awangku Usop. Saat melihat Dayang Kumunah, Awangku Usop langsung jatuh hati kepadanya dan berniat untuk segera melamarnya. Beberapa hari kemudian, Awangku Usop melamart Dayang Kumunah pada Awang Gading. Setelah Dayang Kumunah berfikir beberapa lama, dia menerima pinangan Awangku Usop dengan syarat jangan pernah meminta saya untuk tertawa. Awangku Usop menyetujuhi syarat yang di ajukan Dayang Kumunah tersebut.
Pernikahan pun dilangsungkan, namun terjadi sebuah kejadian yang tak bahagia setelah pernikahan tersebut Awang Gading meninggal dunia karena sakit. Peristiwa itu membuat hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih, sampai berbulan – bulan,Untungnya kesedihan itu segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah 5 orang.
Tetapu, Awang Usop merasa tak bahagia karena belum melihat Dayang Kumunah tertawa. Sejak pertemuan pertama kali sampai sekarang, istri Awang Usop belum pernah tertawa sama sekali. Namun di suatu sore, Dayang Kumunah bersama – sama keluarganya sedang berada di depan rumah. Mereka bercanda ria dan Semua anggota keluarga tertawa bahagia kecuali si Dayang Kumunah. Pada saat itu Awang Usop mendesak Dayang Kumunah untuk ikut tertawa. Akhirnya dia pun tertawa setelah sekian lama tertawa. Pada Saat itulah muncul insang ikan di mulutnya dan Dayang Kumunah bergegas berlari ke arah sungai Dan berubah menjadi ikan.
Awang Usop menyesal karena sudah mendesak istrinya untuk tertawa. Namun, semua sudah terlambat. Ikan dengan bentuk badan cantik serta kulit mengilat tanpa sisik inilah yang orang-orang sebut sebagai ikan patin. Sebelum masuk ke sungai Dayang Kumunah berpesan pada suaminya Kanda peliharalah anak-anak kita dengan baik.
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih melihat Dayang Kumunah yang sangat mereka cintai itu sudah menjadi ikan. Mereka juga berjanji tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya semua orang Melayu tidak makan ikan patin.
Kisah Panglima Burung
Nama Panglima Burung oleh kebanyakan Suku Dayak di Pedalaman Kalimantan dipercaya sebagai sosok yang sangat agung, pemimpin spiritual, sakti, ksatria, dan berwibawa.
Sosok tersebut konon menghuni gunung di pedalaman Kalimantan. Panglima Burung atau sering disebut Pangkalima juga dipercayai mempunyai kekuatan gaib dan menjadi pengayom seluruh warga Dayak.
Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok panglima perang tertinggi masyarakat Dayak ini.
Konon Panglima Burung telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan.
Hingga cerita yang menyebutkan dia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Pulau Kalimantan.
Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, dia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Dia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam.
Ada juga versi yang menceritakan bahwa Panglima Burung adalah gelar yang diberikan kepada seorang Panglima di tanah Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Kehidupan sehari-hari panglima ini seperti orang biasa (cuma tidak menikah) dan sosoknya akan hadir jika terjadi kekacauan dan kerusakan di tanah Dayak.
Panglima Burung, namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit beberapa tahun lalu.
Konon ketika kerusuhan terjadi Panglima Burunglah yang dipercayai membantu menyatukan Suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Bahkan Suku Dayak yang berada di Malaysia pun rela turun untuk bersatu melawan ketidakadilan yang terjadi kala itu.
Cerita mandau terbang saat kerusuhan Sampit juga dipercayai warga Dayak adalah bantuan dari Panglima Burung untuk membantu Suku Dayak dalam memenangkan peperangan.
Mandau terbang tersebut dapat dengan tepat mencari dan menebas kepala musuh-musuh Suku Dayak walaupun di tempat yang tersembunyi sekalipun.
Namun meskipun kejam dan beringas, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini.
Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah agama manapun dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya.
Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, seperti di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak.
Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.
Panglima Burung adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Sang Pangkalima adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.
demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Asal Usul Ikan Patin : Pengertian, Sejarah, Legendan dan Kisah Panglima Burung, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.