Asal Usul Desa Trunyan

Diposting pada

Sejarah Tradisi Desa Trunyan

Bali, atau yang dikenal dengan sebutan Pulau seribu Pura, banyak memiliki daya tarik yang unik bagi para wisatawan. Keanekaragaman budayanya mampu menjadi magnet tersendiri untuk membuat para wisatawan terkagum – kagum. Salah satu contoh yang mampu menjadi daya tarik adalah adalah desa Trunyan. Trunyan merupakan sebuah desa kecil yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desanya yang terpencil dan terletak di tepi danau batur, mengingatkan pada kondisi masayarakat Bali pada zaman Kuno yang masih berpegang teguh akan tradisi nenek moyang.

Menurut sejarah, Desa Trunyan merupakan salah satu dari tiga suku asli di Bali dan bukan gelombang pengungsian dari Majapahit.  Dua suku asli lainnya berada di Karangasem bernama Suku Telengan dan Suku Yeh Ketipat di Buleleng.  Saat ini, bukti sejarah peninggalan suku asli Bali itu,  masih ada diantaranya adanya pura kuno yang bernama “Pura Pancering Jagat.

Seperti tercata dalam prasasti Trunyan disebutkan pada tahun saka 813 ( 891 Masehi) raja Singhamandawa memberikan izin kepada penduduk untuk mendirikan pura Turun Hyang atau Pura Pancering Jagat sebagai tempat pemujaan Betara Da Tonta (Hyang Pancering Jagat). Pura yan dilengkapi meru tumpang pitu (tujuh) ini dipercaya sebagai pura pertama di Bali.

Desa Trunyan yang terpencil ini merupakan salah satu desa Bali Aga atau Bali kuno. Masyarakat Trunyan menyebut diri mereka sebagai Bali Turunan Ratu Sakti pancering Jagat, yaitu orang yang pertama kali turun dari langit dan menempati Pulau Bali. Sedangkan mereka menyebut penduduk Bali lainnya sebagai Bali Suku yaitu adalah keturunan dari penduduk kerajaan majapahit pada zaman dahulu yang tinggal dan menetap di bali.

Meski masyarakat Trunyan menganut agama Hindhu, namun mereka memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat Hindhu Bali umumnya. Salah satu tradisi yang menarik perhatian budayawan dan wisatawan adalah ritus kematian. Meskipun sama-sama menganut Hindu, warga Trunyan tidak melakukan upacara pembakaran jenazah (Ngaben). Jenasah kerabat yang meninggal hanya dibaringkan di bawah pohon Taru Menyan tanpa menguburnya. Jenasah hanya ditutup kain putih dan dilindungi dengan pagar dari belahan bambu.


Lokasi Desa Trunyan

Desa Trunyan berada dikecamatan Kintamani, berdekatan dengan travel destination lainnya seperti Gunung Batur dan Pura Kintamani. Jadi jika teman traveler datang berkunjung ke Desa Terunyan bisa satu paket dengan mengunjungi travel destination lainnya.


Adat Istiadat Penduduk Desa Terunyan

Seperti yang saya tuliskan diatas bahwa Desa Terunyan memiliki keunikan tersendiri yang menjadikannya sebagai salah satu travel destination yang paling diminati oleh para traveler.

Salah satu ciri khas yang dapat anda lihat dari Desa Trunyan adalah tradisi pemakaman tanpa penguburan ataupun pembakaran mayat seperti umumnya di Bali, namun di Desa Trunyan penduduk yang sudah meninggal akan diletakkan disalah satu kompleks pemakaman dan mayat – mayat tersebut akan diletakkan diatas tanah yang dipagari bambu anyam.

Untuk dapat sampai kelokasi pemakaman ini teman traveler harus menyewa perahu dari Desa Terunyan atau menggunakan kapal dari Batur. Waktu itu saya lebih memilih untuk bermotor sampai kedesa paling ujung karena pemandangan sepanjang Danau Batur sangat indah, jadi sayang jika harus dilewatkan.


Keunikan Desa Trunyan

Keunikan tradisi pemakaman mayat di Desa Trunyan sampai sekarang ini masih mejadi tradisi yang dilakukan secara turun temurun oleh warga setempat. Prosesi orang meninggal di Bali, biasanya dikubur ataupun dibakar. Tapi kalau di desa Trunyan tidak seperti itu, tubuh orang yang sudah meninggal melalui sebuah prosesi dan akhirnya dibungkus dengan kain kapan, dan selanjutnya ditaruh di atas tanah di bawah taru menyan, dikelilingi anyaman dari pohon bambu atau yang disebut ancak saji.

Unik bukan…yang cukup aneh juga mayat tidak mengeluarkan bau sedikitpun. jadi kalu kebetulan anda wisata ke Bali dan mengunjungi tempat ini tidak perlu takut dengan bau yang menyengat, karena mungkin bau tersebut sudah diserap oleh Taru/ pohon Menyan yang tumbuh besar di areal pemakaman. Desa Trunyan memang merupakan desa Tua di Bali, yang masih memegang teguh warisan dan tradisi leluhur.

Baca Juga :  Fenomena Geografi


Tata Cara Penguburan Mayat Desa Trunyan

Penguburan mayat di Trunyan tidak dilakukan sebagaimana layaknya masyarakat di daerah lain menguburkan mayat. Ada yang dikubur, tapi ada juga yang tidak dikubur, melainkan hanya diletakkan di bawah pohon besar. Pohon tersebut adalah pohon Taru Menyan. Mayat-mayat disana cuma dibungkus kain kafan selajutnya ditaruh di atas tanah dengan dikelilingi oleh “ancak saji” atau anyaman dari bambu yang dibentuk sedemikian rupa, kemudian dipancangkan di sekeliling mayat. Tetapi ada syarat-syarat tertentu tentang pemakaman di desa trunyan. Ada dua cara pemakaman di desa trunyan, yaitu:

  1. Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.
  2. Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.

Tata cara penguburan mayat di desa Trunyan yang disebut dengan istilah mepasah adalah sebagai berikut, jenazah dibaringkan di atas lubang yang tak terlalu dalam (kira-kira 10 – 20 cm). Tujuannya supaya tidak bergeser-geser, karena bidang tanah ditempat itu tidaklah dapat disebut datar. Bagian atas dibiarkan terbuka. Jumlah liang lahat di area kuburan utama ada sekitar 7 ancak saji atau liang yang digunakan secara bergantian untuk tiap jenasah. Jika semua liang terisi, sementara ada warga yang harus dimakamkan, maka salah satu rangka jenasah dalam liang harus diangkat dan diletakkan di sekitar liang. Tidaklah mengherankan jika di area Sema banyak berserakan tengkorak dan tulang-tulang.

Selain itu juga terdapat anggapan, bahwa  wanita dari Trunyan dilarang pergi ke pemakaman ketika mayat akan dikuburkan di sana. Ini mengikuti keyakinan berakar bahwa jika seorang wanita datang ke pemakaman sementara mayat sedang dikuburkan di sana, maka akan ada bencana di desa, misalnya tanah longsor atau letusan gunung berapi. Kejadian-kejadian tersebut sudah sering dalam sejarah desa, tapi apakah wanita ada hubungannya dengan itu adalah masalah pendapat antara orang-orang desa Trunyan.

Meskipun jenazah orang Trunyan tidak dikubur dan dibiarkan terbuka, konon tidak menyebarkan bau busuk. Padahal secara alamiah, tetap terjadi penguraian atas mayat-mayat tersebut. Hal inilah yang menjadi daya tarik para wisatawan untuk mengunjungi lokasi wisata ini. Konon sebabnya, di areal pemakaman Desa Trunyan terdapat sebuah pohon besar, yang dikenal bernama Taru Menyan , yang diperkirakan berusia ribuan tahun.

Pohon Taru Menyan ini berbau harum, sehingga masyarakat trunyan pun percaya, bahwa bau mayat itu dinetralisir oleh pohon Taru Menyan tersebut. Taru berarti pohon, sedangkan Menyan berarti harum. Pohon Taru Menyan, hanya tumbuh di daerah ini. Jadilah Tarumenyan yang kemudian lebih dikenal sebagai “Trunyan” yang diyakini sebagai asal usul nama desa ini.


Tiga Jenis Kuburan Di Desa Trunyan

Trunyan memiliki tiga jenis kuburan yang menurut tradisi desa trunyan ketiga jenis kuburan itu diklasifikasikan berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenazah dan cara penguburan. Ketiga jenis kuburan (Sema) ini adalah sema wayah, sema muda, dan sema bantas.

Kuburan utama adalah yang dianggap paling suci dan paling baik. Jenazah yang dikuburkan hanyalah jenasah yang jasadnya utuh, tidak cacat dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar atau bukan bunuh diri serta kecelakaan. Seseorang yang meninggal secara wajar, jenazahnya akan ditutup dengan kain putih, disiapkan upacara, dan diletakkan tanpa dikubur di bawah pohon Taru Menyan.

Nama tempat peletakkan jenazah ini adalah Sema Wayah. Cara pemakaman tanpa menguburnya dikenal dengan sebutan mepasah. Jadi, jenazah hanya diletakkan di atas tanah dan dibiarkan di udara terbuka. Kuburan yang kedua disebut kuburan muda (Sema Muda) yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat jenazah tersebut harus utuh dan tidak cacat.  Teknik pemakamannya bisa mepasah atau pun penguburan.

Baca Juga :  Komposisi Penduduk

Sedangkan kuburan yang ketiga disebut Sema Bantas. Kuburan ini khusus untuk jenazah yang cacat dan yang meninggal karena salah pati maupun meninggal karena tidak wajar misalnya dibunuh, bunuh diri, dan kecelakaan. Di Sema Bantas, penguburan dilakukan dengan penguburan atau dikebumikan. Untuk anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikenakan penguburan ini.

Dari ketiga jenis kuburan itu, yang paling menarik adalah kuburan utama atau sema wayah. Dua kuburan pertama, Sema Wayah dan Sema Muda, letaknya agak berjauhan dengan desa, sedangkan Sema Bantas terletak di dekat Desa Trunyan. Menurut cerita masyarakat, zaman dahulu kala mayat sengaja tidak ditanam untuk menghalangi bau pohon taru menyan yang konon menyebar sampai ke Jawa. Karena raja yang berkuasa di Trunyan pada waktu itu takut daerahnya diserang lantaran harumnya pohon taru menyan, maka beliau berinisiatif menetralisir bau kelewat harum itu dengan tidak mengubur mayat masyarakat yang meniggal. Akhirnya sampai sekarang tradisi itu masih dipegang teguh oleh masyarakat


Asal Usul Desa Trunyan

Alkisah Pada Zaman Dahulu, Raja Solo yang bertahta di Keraton Surakarta memilki 4 orang anak, 3 anak laki-laki dan 1 anak perempuan yang paling bungsu. Suatu hari, mendadak mereka mencium bau harum yang amat menyengat.

√ Asal Usul Desa Trunyan Secara Lengkap

Hai, bau harum apa itu? tanya Pangeran Sulung, Apakah kalian menciumnya juga?

Iya, Kanda  Bau harum itu amat menyengat jawab ke-3 adiknya serentak.

Ke-4 bersaudara itu pun bergegas mencari sumber bau harum yang menyengat tersebut.

Sepertinya bau harum tersebut berasal dari arah timur, Kanda ujar si Putri Bungsu.

Iya kamu benar Adikku Kakak sulungnya mengiyakan.

Ke-4 bersaudara itu sangat penasaran dan tertarik pada bau harum itu. Akhirnya, mereka pun setuju untuk mencari sumbernya. Setelah menyiapkan semua keperluan dan mendapat izin dari sang Ayah, mereka pun memulai perjalanan menuju ke arah timur. Semakin jauh mereka ke timur, bau harum tersebut semakin menyengat.

Setelah berbulan-bulan berjalan dengan menyusuri hutan lebat, menyeberangi sungai, serta Selat Bali, akhirnya mereka sampai di Pulau Bali. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan sampai ke perbatasan Pulau Bali di sebelah timur, yakni perbatasan antara Desa Ciluk Karangasem dan Tepi yang ada di dekat Buleleng. Setiba di kaki Gunung Batur sebelah selatan, si Putri Bungsu tiba-tiba berhenti.

Ada, adinda? Mengapa berhenti? tanya Pangeran Sulung.

Adinda tertarik pada tempat ini  Kanda Bila diperkenankan, izinkanlah Adinda tinggal di tempat ini pinta si Putri Bungsu.

Permintaan Putri Bungsu pun disetejui oleh ke-3 kakaknya. Sejak itulah, Putri Bungsu dari Kerajaan Surakarta itu menetap di tempat tersebut. Tetapi, dia kemudian pindah ke lereng Gunung Batur sebelah timur, tempat Pura Batur berdiri. Kemudianya, sang Putri diberi gelar Ratu Ayu Mas Maketeg.

Sementara itu ke-3 kakak Putri Bungsu kembali melanjutkan perjalanan. Saat tiba di sebuah dataran bernama Kedisan yang ada di sebelah barat daya Danau Batur, mereka mendengar suara burung yang sangat merdu. Saking senangnya Pangeran ke-3 berteriak kegirangan. Tetapi, Pangeran Sulung tidak senang mendengar kelakuan adiknya itu.

Hai, Adikku! Bila kamu senang dengan tempat ini, maka tinggallah kamu di sini seru Pangeran Sulung.

Tak Kanda Adik ingin ikut kalian tolak sang Adik.

Akan tetapi, Pangeran Sulung telah terlanjur murka. Maka, dia pun menendang adiknya sampai terjatuh dalam keadaan posisi duduk bersila dan berubah menjadi patung. Sampai saat ini, patung batu Bathara (Dewa) itu itu masih bisa kita temukan di Kedisan dengan posisi duduk bersila. Patung Bathara yang adalah penjelmaan Pangeran Ketiga Raja Solo itu diberi gelar Ratu Sakti Sang Hyang Jero dan sekarang sedang bersemayam (melinggih) di Meru Tumpang Pitu atau bangunan suci dalam pura yang beratap 7 tingkat di Pura Dalam Pingit, di Desa Kedisan.

Tinggal 2 orang pangeran yang tersisa dalam perjalanan itu, yakni Pangeran Sulung dan Pangeran Kedua. Kemudian Mereka melanjutkan perjalanan dengan menyusuri tepi Danau Batur sebelah timur. Saat sampai di sebuah dataran, mereka bertemu 2 gadis cantik. Oleh karena tertarik pada gadis-gadis itu, Pangeran ke-2 pun menyapa mereka  tetapi Pangeran Sulung tidak menyukai tindakan adiknya itu.

Baca Juga :  Cara Menulis Dengan Cepat dan Efektif

Hai, Adikku! Bila kamu senang pada gadis itu, tinggallah kamu di sini! seru Pangeran Sulung.

Tak, Kanda Dinda mau bersama Kanda  jawab Pangeran Ke-2.

Sekal lagi, Pangeran Sulung telah terlanjur naik pitam kepada adiknya. Pangeran Sulung kemudian menyepak adiknya samapi jatuh dalam keadaan tertelungkup. Konon, Pangeran Kedua itu kemudian menjadi kepala desa serta desa tersebut dinamakan Desa Abang Dukuh. Disebut Abang karena tempat itu adalah bagian dari Desa Abang, dan dinamakan dukuh karena berasal dari kata telungkup yang dalam bahasa setempat disebut dengan nama dukuh.

Pangeran Sulung melanjutkan perjalanan seorang diri untuk mencari sumber bau harum tersebut. Dia kembali menyusuri pinggir Danau Batur yang curam di sebelah timur. Ketika sampai di sebuah dataran, dia mendapati seorang dewi yang cantik jelita lagi duduk sendirian di bawah pohon Taru Menyan. Pangeran Sulung rupanya amat terpesona pada kecantikan sang Dewi dan berniat untuk meminangnya. Ketika dia menghampiri dewi itu, bau harum yang berasal dari pohon Taru Menyan tersebut semakin menusuk hidungnya.

Oh rupanya pohon inilah sumber bau harum itu kata Pangeran Sulung.

Pangeran Sulung pun semakin mantap untuk melamar dewi itu Lamaran tersebut dia sampaikan kepada kakak sang Dewi.

Baiklah Engkau boleh menjadi suami adikku tapi dengan 1 syarat kata kakak sang Dewi.

Apakah syarat itu? tanya Pangeran Sulung ingin tahu.

Kamu harus menjadi pancer jagat (pasak dunia) atau pemimpin desa kata kakak si Dewi.

Baiklah syarat itu saya terima kata Pangeran pertama.

Akhirnya, pesta perkawinan Pangeran Sulung dan sang Dewi dilangsungkan dengan mewah. Setelah itu, Pangeran Sulung menjadi pemimpin desa yang dikenal dengan nama Desa Trunyan. Nama desa tersebut diambil dari nama pohon Taru Menyan. Taru artinya pohon dan menyan artinya harum.

Kemudian setelah menjadi suami sang Dewi Pangeran Sulung mendapatkan gelar Ratu Sakti Pancering Jagat, sedangkan istrinya bergelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar. Ratu Sakti Pancering Jagat kemudian menjadi dewa tertinggi orang Trunyan, sedangkan istrinya menjadi Dewi Danau Batur yang samapai sekarang dipercaya sebagai penguasa danau tersebut.

Sejak itulah, Ratu Sakti Pancering Jagat dibantu sang istri memimpin Desa Trunyan dengan arif serta bijaksana. Lama-kelamaan, desa tersebut pun berkembang menjadi kerajaan kecil. Sebagai raja yang arif dan bijaksana, Ratu Sakti Pancering Jagat menginginkan negeri serta seluruh rakyatnya hidup aman dan tenteram dan terhindar dari ancaman luar. Oleh karena itulah, dia pun memerintahkan seluruh rakyat untuk menghilangkan bau semerbak tersebut.

Wahai, seluruh rakyatku! Aku perintahkan kalian supaya jenazah-jenazah orang Trunyan tidak lagi dikuburkan, Namun biarkan saja membusuk di bawah pohon Taru Menyan sampai bau harum itu tidak akan lagi mengundang kedatangan orang luar ke negeri ini! titah Ratu Sakti Pencering Jagat.

Sejak saat itulah setiap ada penduduk Trunyan yang meninggal, jenazah mereka hanya dibiarkan membusuk di atas tanah. Karena bau busuk itulah, Desa Trunyan tak lagi mengeluarkan bau harum. Demikian juga sebaliknya, jenazah-jenazah penduduk Trunyan itu juga tak mengeluarkan bau busuk. Bau harum serta bau busuk tersebut telah saling menetralisir.


Wisata Trunyan

Jika anda melakukan perjalan tour ataupun wisata keliling Bali, kalau dari Denpasar berjarak sekitar 65 km atau sekitar 2 jam perjalanan dengan kendaraan.. Sebelum sampai di Desa Trunyan, anda akan ketemu beberapa tempat-tempat menarik yang mungkin bisa anda kunjungi, seperti Ubud, Goa gajah, tampaksiring dan penelokan Kintamani. tempat menyaksikan keindahan panorama Danau Batur. Dari penelokan anda turun menuju tepi danau batur tepatnya di Desa Kedisan, di sini dibangun dermaga yang diperuntukkan untuk perahu penyeberangan menuju Desa Trunyan. Anda bisa menyewa boat, satu buah boat muat sekitar 7 penumpang, berwisata mengelilingi danau Batur yang indah, kemudian melanjutkan penyebrangan mengunjungi Desa Trunyan.


demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Asal Usul Desa Trunyan : Sejarah Tradisi, Lokasi, Adat Istiadat Penduduk, Keunikan, Jenis, Tata Cara Penguburan Mayat, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.

Posting pada SD