Cerita Van Deventer

Diposting pada

Pengertian Van Deventer

Conrad Theodore van Deventer Adalah seorang ahli hukum Belanda dan juga tokoh Politik Etis.

Dia pada usia muda bertolak ke Hindia Belanda. Dalam waktu sepuluh tahun, Deventer sudah menjadi kaya, karena perkebunan perkebunan swasta dan maskapai minyak BPM yang bermunculan ketika itu banyak membutuhkan jasa penasihat hukum.

Pada sebuah surat tertanggal 30 April 1886 yang diberikan untuk orang tuanya, Deventer mengemukakan perlunya suatu tindakan yang lebih manusiawi untuk pribumi karena mengkhawatirkan akan kebangkrutan yang dialami Spanyol karena salah pengelolaan tanah jajahan.

Kemudian pada 1899 Deventer menulis dalam majalah De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan). Pengertian Eereschuld secara substasial ialah Hutang yang demi kehormatan harus dibayar, meskipun tidak bisa dituntut di muka hakim. Tulisan tersebut berisi angka-angka konkret yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur serta aman (adanya kereta api, bendungan-bendungan, dst) merupakan hasil kolonialisasi yang datang dari daerah jajahan di Hindia Belanda (“Indonesia”), Sedangkan Hindia Belanda saat itu miskin dan terbelakang. Jadi sudah sepantasnya kalau kekayaan itu dikembalikan.

Saat Deventer menjadi anggota Parlemen Belanda, Dia menerima tugas dari menteri daerah jajahan Idenburg untuk menyusun sebuah laporan tentang keadaan ekonomi rakyat pribumi di Jawa dan Madura. Dalam waktu satu tahun, Deventer berhasil menyelesaikan tugasnya Dengan terbuka Deventer mengungkapkan keadaan yang menyedihkan, lalu dengan tegas mempersalahkan kebijakan pemerintah. Tulisan tersebut sangat terkenal, dan tentu saja mengundang banyak reaksi pro-kontra. Sebuah tulisan lain yang tidak kalah terkenalnya ialah yang dimuat oleh De Gids juga (1908) merupakan sebuah uraian mengenai Hari Depan Insulinde, yang menjabarkan prinsip-prinsip etis untuk beleid pemerintah pada tanah jajahannya.

Saat pada tahuan 1911 surat-surat Kartini diterbitkan, Van Deventer terkesan sekali, sampai tergerak untuk menulis sebuah resensi yang panjang-lebar, sekadar untuk menyebarluaskan cita-cita Kartini, yang cocok dengan cita-cita Deventer sendiri : mengangkat bangsa pribumi secara rohani serta ekonomis memperjuangkan emansipasi mereka.

Secara pribadi, Van Deventer pernah bertemu dengan Kartini, waktu puteri Bupati Jepara tersebut berumur 12 tahun, namun komunikasi tidak berlanjut. Waktu Kartini mulai menulis surat-suratnya pada teman-teman puteri di Negeri Belanda, keluarga Van Deventer telah meninggalkan Indonesia. Baru lewat surat-surat terbitan Abendanon, keluarga Deventer menaruh minat pada cita-cita Kartini.

Sejak itulah, Nyonya Van Deventer terkenal. Tahun 1913 dia mendirikan Yayasan Kartini bertujuan untuk membuka sekolah-sekolah untuk puteri-puteri pribumi sesudah van Deventer meninggal (1915), Nyonya Deventer sendirilah yang mengurus semuanya dengan tak kenal lelah. Ribuan murid puteri juga memasuki “Sekolah Kartini” yang bernaung dibawah Yayasan Kartini.

Waktu Belanda dikuasai Jerman (1940), Nyonya Deventer meninggal dalam usia 85 tahun. DIa mewariskan sejumlah besar dana yang harus dimanfaatkan untuk memajukan bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan. Selanjutnya dana itu dikelola oleh Van Deventer-Maas Stichting.

Baca Juga :  Tenaga Endogen


Peran Van Deventer Dalam Politik Etis

Semenjak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem Tanam Paksa di Indonesia, banyak menimbulkan penderitaan bagi rakyat pribumi seperti kemiskinan, kelaparan sampai kematian. Selain itu banyak juga penduduk yang meninggalkan tanah kelahirannya karena untuk menghindari diri dari sistem Tanam Paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Berbagai penderitaan pada saat itu banyak dialami oleh masyarakat Indonesia, contohnya kejadian-kejadian diberbagai wilayah di Indonesia, seperti di Cirebon pada tahun 1843 banyak penduduk yang meninggalkan daerahnya dengan tujuan untuk menghindari dari kekejaman belanda. Di daerah lain juga sudah mengalami beberapa kejadian kelaparan yang sangat memprihatinkan, contohnya di daerah Demak dan Grobogan yang mengakibatkan kematian secara besar-besaran.

Sedangkan itu pada umumnya rakyat di negeri Belanda banyak yang tak tahu atas kekejaman di daerah tanah jajahannya yang diakibatkan oleh Tanam Paksa, sebaliknya Tanam Paksa sudah meningkatkan kemakmuran rakyat di negeri Belanda, karena banyak mendapat keuntungan yang sangat melimpah dari penyelenggaraan politik Tanam Paksa, sedangkan akibat dari pelaksanaan politik itu masyarakat pribumi (Masyarakat Indonesia) menjadi semakin menderita.

Keadaan seperti ini mulai berubah sesudah tahun 1850, dimana rakyat Belanda memperoleh berita tentang kejadian yang sebenarnya di Indonesia yang ditimbulkan oleh Tanam Paksa. Kesewenang-wenangan dari para pegawai pemerintah kolonial Belanda, kejadian di daerah Cirebon, Demak, dan Grobogan, lambat laun hingga beritanya di negeri Belanda, sampai antara tahun 1850-1860 timbul terjadi perdebatan diantara para tokoh di negeri Belanda yang peduli pada nasib bangsa Indonesia akibat dari kebijakan Tanam Paksa.

Sekitar pertengahan abad ke-19 mulai ada gerakan humanis di Belanda yang dipelopori antara lain oleh Conrad Theodore van Deventer (1857-1915). Gerakan tersebut muncul setelah ada berita-berita mengenai perilaku kolonial di Hindia Belanda, tegasnya praktek penindasan. Gerakan tersebut menilai bahwa Belanda sudah berhutang budi banyak pada Hindia Belanda. Belanda sudah mengambil banyak dari negeri jajahan, praktis tanpa memberi apa-apa. Gerakan tersebut menuntut perubahan bentuk hubungan yang menguntungkan sefihak itu menjadi hubungan yang saling menguntungkan (symbiosis mutualism).

Ada juga yang tergolong kepada kelompok kaum humaniterlainnya diantaranya seperti : Walter Baron Van Hoevel, Fransen Van De Futte,juga seorang Perdana Menteri Torbeck tampil ke depan untuk membela kepentinganbangsa Indonesia. Pada saat itu tokoh yang dianggap paling berhasil merubahopini rakyat Belanda dengan sebuah karya tulisannya ialah “Douwes Dekker”dengan nama samarannya “Multatuli”. Yang berhasil menciptakan sebuah karya bukuyang berjudul Max Havelaar.


Dampak Van Deventer

Van Deventer sebagai pemimpin liberal mempunyai peran karena karanganya yang berjudul “Eere Schuld” yang artinya hutang kehormatan (1999), oleh karena itu dikecamnya politik keuangan Belanda yang tidak memisahkan keurangan negeri induk dari negeri jajahan. Pokok usul Van Deventer yaitu pemerintah Belanda hatus memperlihtkan budi mereka dengan mengusahakan perbaikan-perbaikan dalam bdang Irigas,Edukasi, dan Transmigrasi yang dsebut trilogy Van Deventer.

Politik Etis beranggapan bahwa idonesia tidak lagi dianggap sebagai daerah yang menguntungkan melaikan dianggap sebgai daerah yang perlu dikembangkan. Namun dalam praktikya bahwa politk etis pu hanya sebagi simbol agar pemeritah Belanda mendapat tenaga yang murah dari Indonesia.

Baca Juga :  WhatsApp Aero MOD APK Versi 2022

Sejak permulaan abad XVII sampai abad XX kerap terjadi peperangan dan pemberontakan yang tidak brhasil karena rakyat Indonesia hanya menggunaka senjata yang dimana mash sagat jauh tertingga dbandingkan senjata Belada dan aksi aksi ini belum dapat digolongkan mejadi gerakan modern. Karena setiap aksi aksi yang tersusun secara modern memerlukan kesanggupan dan kecakapan didalamnya,

dan tentu juga pendidikan dan penajara sagat berpegaruh oleh bangsa Indoesia agar memiliki kecakapa dalam gerakan modern bagsa Indonesia. Selain faktor dari dalam ,ada juga faktor dari luar yang mendorong timbulnya pergerakan yaitu dari luar Negeri yaitu : Kemenangan Jepang atas Russia  dan Gerakan Turki Muda. Sedangkan faktor dalam Negeri yaitu : Aksi dari kaum peranakan (Indonesia-Belanda), Penderitaan-penderitaan rakyat yang tidak dapat ditahan lagi.


Sejarah Berdirinya Organisasi Boedi Oetomo

Periode akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan periode awal pertumbuhan modernisasi masyarakat bumi putera. Modernisasi dalam hal ini diartikan sebagai hasrat untuk mencapai  kemajuan dengan menuntut pelajaran  dan pendiidkan, terutama pendidikan model Barat. Dalam tubuh masyarakat bumi putera mulai saat itu telah tumbuh kesadaran diri akan ketertinggalan kebudayaan jika dibandingkan dengan bangsa Belanda yang ketika itu sebgai  penjajah. Buktinya adalah bahwa semakin banyak anak yang mengunjungi sekolah untuk menuntut ilmu pengetahuan dan tekni, makin banyak penduduk pribumi yang mencari kesempatan untuk mendapatkan pendidikan modern.

Hal itu semakin meningkat setelah digelindingkannya politik etis di Hindia Belanda yang salah satu programnya adalah pengembngan pendidikan bagi kalangan bumi putera. Gejala itu menjadi tanda bahwa masyarakat berkembang kea rah kesadaran nasional. Faham-faham baru mulai berlaku, timbul keberanian meninggalkan tradisi kuno, dan adanya dorongan yang semakin kuat memperoleh kemajuan.

Boedi oetomo sebagai suatu organisasi pergerakan nasional pertama didirikan atas dasar tuntutan kemajuan itu. Tuntutan kemajuan yang direfleksi dalam bentuk suatu organisasi itu sebenarnya sebagai suatu jawaban terhadap Penetrasi barat dengan imperialism dan kapitalismenya. Aspirasi nasional itu tidak hanya timbul sebagai reaksi terhadap isolasi ekonomis dan sosio kultural yang dicuptakan oleh politik colonial Barat, tetapi juga karena dorongan kuat untuk menjunjung tinggi derajat bangsa.

Pada tahun 1906 dan 1907 Wahidin Sudirihusodo mengdakan suatu perjalanan keliling ke seluruh Jawa dalam rangka menganjurkan suatu perjlanan pengajaran sebagai salah satu langkah untuk memajukan kehidupan rakyat. Anjurannya itu dapat terealisasi tidak hanya bergantung kepada pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga dapat terealisasi  jika bangsa Indonesia juga mau berusaha sendiri dengan cara membentuk studiefonds atau dana pelajar yang hasilnya akan digunakan untuk membantu para pelajar yang pandai  tetapi kurang mampu untuk dalam hal biaya.

Dalam perjalanan kelilingnya itu akhirnya pda akhir tahun 1907 sampai di Jakarta dan bertemu dengan para pelajar stovia (Sekolah Dasar Pribumi). Di situlah Wahidin bertemu dengan  pemuda Sutomo dan berbincang-bincang tentang nasib rakyat yang masih kurang mendapat perhatian di bidang pendidikan. sejak itu rupanya tumbuh pemikiran dalam diri Sutomo untuk melanjutkan cita-cita Wahidin Sudirihusodo, dan tidak hanya terbatas pada studiefonds saja tetapi lebih luas dari itu.

Baca Juga :  Deuteromycota

Gagasannya itu kemudian dilontarkan kepada teman-temannya dan memperoleh sambutan yang ppositif, khususnya Gunawan Mangunkusumo. Sebagai realisasi dari gagasan yang telah mendapat dukungan dari teman-temannya para pelajar stovia itu, pada tanggal 20 Mei 1908 oleh mereka dibentuklah organisasi yang kemudian diberi nama Boedi Oetomo, dan sebagai ketuanya terpilih pemuda Sutomo.

Dr. Wahidin Sudirohusodo (1857-1917) adalah pembangkitbsemangat organisasi yang pertama itu. Sebagai seorang lulusan sekolah ‘Dokter Jawa’ di Weltvreden (yang sesudah tahun 1900 dinamakan STOVIA), dia bekerja sebagai dokter pemerintah di Yogyakarta sampai tahun 1899. Pada tahun 1901 dia menjadi redaktur majalah Retnadhoemilah (Ratna yang berkilauan) yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu untuk kalangan pembaca priyayi dan mencerminkan perhatian priyayi  terhadap masalah-masalah status mereka.

Pada tahun 1907 Wahidin berkunjung ke STOVIA dan di sana, di salah satu lembaga terpenting yang menghasilkan priyayi rendah Jawa, dia melihat adanya tanggapan yang bersemangat dari murid-murid sekolah tersebut. Diambil keputusan untuk membentuk suatu organisasi pelajar guna memajukan kepentingan-kepentingan priyayi rendah, dan pada bulan Mei 1908 diselenggarakan suatu pertemuan yang menghasilkan Budi Utomo.

Nama Jawa ini (yang seharusnya dieja budi utama) diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh organisasi tersebut sebagai het schooner striven (ihtiar yang indah), tetapi menurut konotasi-konotasi bahasa Jawa yang beraneka ragam  nama itu juga mengandung arti cendekiawan, watak atau kebudayaan yang mulia.

Pada pertemuan pertama itu para mahasiswa dari STOVIA, OSVIA, sekolah-sekolah guru, serta sekolah-sekolah pertanian  dan kedokteran hewan terwakili. Cabang-cabangnya didirikan pada lembaga-lembaga tersebut dan pada tahun 1908 Budi Utomo sudah mempunyai anggota 650 orang. Mereka yang bukan mahasiswa ikut menggabungkan diri, sehingga pengaruh mahasiswa mulai berkurang dan organisasi tersebut tumbuh  menjadi priyayi rendah Jawa pada umumnya.

Menururt Tirtoprojo, istilah Boedi Oetomo berasal dari kata “Boedi” yang berarti perangai atau tabiat dan “Oetomo” yang berarti baik atau luhur. Dengan demikian Boedi Oetomo yang dimaksud oleh pendirinya adala perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan keluhuran budi, kebaikan perangai, atau tabiat. Nama itu muncul dalam sebuah anekdot dalam pembicaraan antara Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan para pelajar Stovia, termasuk Sutomo.

Setelah Dr. Wahidin menceritakan cita-citanya dan akan melanjutan perjalanannya ke lain-lain daerah di luar Jakarta (dalam rangka menghimpun studiefonds ), ada cerita bahwa pada waktu itu Sutomo melahrkan kata-kata dalam bahasa jawa: “puniko pedaleman ingkang sae, membuktikan budi ingkang utami”, artinya: yang tuan maksudkan itu suatu pekerjaan yang baik dan membuktiakn suatu budi, suatu tabiat yang utama. Perkataan itu didengar oleh kawan Sutomo, Dr. soeradji sehingga ketika mereka  mendirikan perkumpulan ini diusulkannya agar  diberi nama Boedi Oetomo, yang sebenarnya berasal dari ucapan Sutomo ketika berdialog dengan Dr. Wahidin pada waktu sebelumnya.


demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Cerita Van Deventer : Pengertian, Peran Dalam Politik, Dampak, dan Sejarah Berdirinya Organisasi Boedi Oetomo, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.

Posting pada SD