Definisi Sabai Nan Aluih
Kisah kaba yang terjadi di Padang Tarok, di hilir Batang Agam. Di sebuah rumah gadang dihuni suami isteri Rajo Babanding dengan isterinya Sadun Saribai. Mereka dikunia dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki bernama Mangkutak, sedang kakaknya bernama Sabai Nan Aluih.Kisah gadis yang tidak mendapat kasih sayang ayahnya. Kasihnya tercurah kepada anak laki-laki bernama si Mangkutak.
Si Mangkutak kerjanya hanya bermain layang-layang. Semua permintaannya diluluskan ayahnya. Kasih saying tercurah kepada si Mangkutak. Lahirlah ungkapan, dagingnya untuk si Mangkutak, tulangnya untuk si Sabai. Namun kecantikan Sabai Nan Aluih terkenal jauh dari kampungnya. Sabai rajin membantu I bunya. Kecantikan Sabai sampai ke telinga Rajo Nan Panjang di kampung Situjuh Banda Dalam. Dia adalah teman baik Rajo Babanding.
Rajo Nan Panjang mengirim utusan melamar Sabai kepada rajo Babanding. Rajo Babanding merasa terhina. Baiklah permintaan ini kita selesaikan di padang Panahuan, misalnya..
Rajo Babanding mati terbunuh secara curang dalam bertarung dengan kawan karibnya yang menolak pinangannya kepada si Sabai. Ia ditembak oleh pengawal Rajo Nan Panjang dari belakang. Sabai menuntut balas kematian ayahnya, karena Mangkutak tak mau diajaknya. Laki-laki itu mati pula di tangan si Sabai dan jenazahnya dibawa pulang oleh isterinya.
Kisah Kaba Sabai Nan Aluih
Alkisah, di Padang Tarok, Sumatra Barat, hiduplah sepasang suami istri, Rajo Babanding dan Sadun Saribai. Mereka tinggal bersama kedua orang anaknya di sebuah rumah bergojong (berujung) empat yang terletak di sekitar hilir Sungai Batang Agam. Anaknya yang sulung adalah seorang gadis cantik bernama Sabai nan Aluih, sedangkan anak bungsunya seorang pemuda tampan bernama Mangkutak Alam. Meskipun dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang sama, kedua kakak beradik tersebut memiliki sifat yang berbeda.
Mangkutak adalah seorang pemalas. Kerjanya setiap hari hanya bermain layang-layang, sehingga kulitnya menjadi hitam karena terbakar sinar matahari. Sedangkan Sabai nan Aluih adalah gadis cantik yang rajin membantu pekerjaan ibunya dan senantiasa mengisi waktu luangnya dengan menenun dan merenda. Sesuai dengan namanya Sabai nan Aluih (Sabai yang halus atau lembut), ia berbudi pekerti luhur, santun dalam berbicara, dan hormat kepada yang tua. Tak heran jika semua orang menyukainya.
Perangai dan kecantikan Sabai nan Alui terkenal hingga ke kampung lain. Pada suatu hari, berita tentang kencantikannya sampai ke telinga seorang teman baik ayah Sabai yang bernama Rajo nan Panjang. Ia adalah saudagar kaya yang sudah lama merantau ke Kampung Situjuh. Ia sangat disegani oleh masyarakat Kampung Situjuh, karena mempunyai tiga orang pengawal yang hebat, yaitu Rajo nan Konkong, Lompong Bertuah, dan Palimo Banda Dalam. Namun, Rajo nan Panjang termasuk saudagar kaya yang sangat keras dan suka memeras warga di sekitarnya dengan cara meminjamkan uangnya dengan bunga yang tinggi.
Ketika mengetahui sahabatnya mempunyai anak gadis yang cantik jelita, Rajo nan Panjang mengirim utusannya untuk meminang Sabai nan Aluih. Ia sangat yakin bahwa ayah Sabai pasti akan menerima pinangannya.
“Wahai, Pengawal! Aku mengutus kalian pergi menemui Rajo Babanding untuk menyampaikan pinanganku kepada anak gadisnya. Aku yakin Rajo Babanding sahabatku itu pasti senang mendapatkan menantu kaya seperti aku!” seru Rajo nan Panjang kepada para pengawalnya dengan penuh percaya diri.
Mendapat perintah tersebut, para pengawal itu pun berangkat ke Padang Tarok. Sesampainya di Padang Tarok, mereka pun menyampaikan pinangan tuannya kepada ayah Sabai nan Aluih.
“Kami adalah utusan Rajo nan Panjang dari Kampung Situjuh. Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan pinangan tuan kami kepada Sabai nan Aluih,” kata seorang utusan.
“Begini, Tuan-tuan! Saya tidak bermaksud mengecewakan hati sahabatku itu. Tolong sampaikan permintaan maaf saya kepadanya bahwa saya malu bermenantukan orang kaya yang seumur dengan saya!” pesan Rajo Babanding.
Setelah mendapat jawaban penolakan dari Rajo Babanding, para utusan itu pun segera kembali ke Kampung Situjuh untuk menyampaikan berita tersebut kepada tuan mereka. Mendengar penolakan tersebut, Rajo nan Panjang merasa sangat terhina.
“Ah, sombong sekali Pak Tua itu! Masa tidak mau bermenantukan orang kaya,” ketus Rajo nan Panjang.
“Maaf, Tuan! Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya seorang pengawalnya.
“Apakah kita harus memaksanya, Tuan?” tambah seorang pengawal lainnya.
“Jangan dulu, Pengawal! Aku akan datang sendiri ke sana untuk melamar Sabai nan Aluih. Aku yakin Rajo Babanding tidak akan menolak lagi pinanganku. Pak Tua itu pasti tahu bahwa aku ini orang besar yang mempunyai anak buah yang hebat seperti kalian,” kata Raja nan Panjang.
Akhirnya, berangkatlah Rajo nan Panjang bersama ketiga orang pengawalnya. Rajo Babanding pun menerima mereka dengan baik. Namun, hatinya berkata bahwa sahabatnya itu telah melanggar sopan santun karena meminang anak gadisnya secara langsung kepadanya. Menurut adat di negeri itu, pinangan tidak boleh disampaikan langsung kepada ayah si Gadis, melainkan kepada mamak atau adik kandung ibu gadis itu.
Sebenarnya, Rajo Babanding ingin langsung menolak pinangan tersebut. Namun, ia khawatir jika pinangan itu langsung ditolak, Rajo nan Panjang akan marah dan mengamuk. Rajo Babanding akan sangat malu jika pertengkaran terjadi di rumahnya. Untuk itu, ia pun mengajak Rajo nan Panjang untuk berunding di luar rumah.
“Sahabatku! Sebaiknya kita berunding di luar rumah saja,” ajak Rajo Babanding.
Rajo nan Panjang pun mengetahui bahwa pinangannya ditolak secara halus oleh ayah Sabai nan Aluih. Ia sadar bahwa dirinya ditantang untuk berkelahi.
“Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan sahabatku. Tapi, di mana kita akan berunding?” tanya Rajo nan Panjang menerima tantangan Rajo Babanding.
“Kita berunding di Padang Panahunan,” jawab Rajo Babanding.
“Kapan?” tanya Rajo nan Panjang.
“Bagaimana kalau hari Minggu?” jawab Rajo Babanding.
“Baik, aku setuju!” kata Rajo nan Panjang seraya berpamitan.
Legenda Sabai Nan Aluih
Di hilir sungai Batang Agam di daerah Padang Tarok yang airnya jernih, berdiri sebuah rumah bergojong (berujung) empat. Rumah tersebut dihuni oleh sepasang suami istri bernama Rajo Babanding dan Sadun Saribai. Mereka mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan, Mangkutak Alam dan Sabai nan Aluih.
Mangkutak Alam berwajah tampan, selalu dimanjakan oleh ayahnya ke mana pun pergi ia selalu diajaknya dan merupakan anak kebanggaan. Wataknya sedikit penakut. Sedangkan kakaknya Sabai nan Aluih berwajah cantik, lembut, rajin dan sering membantu ibunya. Waktu luang dimanfaatkan untuk membuat renda dan menenun. Kecantikan Sabai nan Aluih ini bahkan didengar sampai ke kampung-kampung lain di daerah Padang Tarok.
Suatu ketika Rajo nan Panjang seorang saudagar kaya yang baru kembali dari rantau, orang yang disegani di kampong Situjuh berkeinginan untuk menyunting Sabai nan Aluih. Maka dikirimlah anak buahnya sebagai utusan untuk melamar Sabai. Rajo Babanding orang tua Sabai menolak lamaran ini karena dia tahu, Rajo nan Panjang berusia sebaya dengannya, juga bersifat sombong, mata keranjang dan selalu membanggakan akan kekayaan dan harta bendanya.
“Katakan pada majikanmu, bahwa aku menolak lamarannya, pula Sabai belum mau berumah tangga!” Berkata Rajo Babanding kepada utusan Rajo nan Panjang.
Rajo nan Panjang yang berwatak keras merasa tersinggung atas penolakan ini. Beberapa hari kemudian ia sendiri yang datang ke rumah Rajo Babanding untuk melamar Sabai nan Aluih tetapi tetap ditolak dengan alasan Sabai nan Aluih belum mau berumah tangga. Mendengar langsung penolakan ini, Rajo nan Panjang pun menantang berkelahi kepada Rajo Babanding.
“Rajo Babanding, kau telah menolak lamaranku untuk menyunting putrimu Sabai. Itu arinya kau menghinaku dan sebagai orang yang disegani di kampong Situjuh, aku tak terima ini dan engkau akan menerima akibatnya” Ancam Rajo nan Panjang sambil menunjukkan tangannya ke arah muka Rajo Babanding.
Mendengar ancaman ini Rajo Babanding sedikit pun tak merasa takut. Ia pun balik menantang Rajo nan Panjang,
“Kau kira aku takut dengan segala bentuk ancamanmu itu! Baik, sekarang mari kita bertanding!”
“Baik, kapan?” jawab Rajo nan Panjang.
“Bagaimana kalau hari minggu, di Padang Panahunan!”
Mendengar pertengkaran ini, Sabai nan Aluih yang berada di balik pintu, hatinya merasa gusar. Ia takut kalau mimpi yang dialaminya selama ini akan menjadi kenyataan. Ia bermimpi, lumbung padinya terbakar jadi arang, kerbau-kerbaunya yang berada di kandang dicuri orang, dan ayam aduannya disambar elang. Segera ia pun mengutarakan mimpinya itu kepada ayahnya.
“Anakku Sabai, mimpimu itu berarti baik. Lumbung terbakar berarti padi akan segera dipanen, kerbau dicuri orang berarti ternak kita akan bertambah, ayam disambar elang itu artinya Mangkutak Alam akan dilamar orang” Demikian jawab Rajo Babanding sambil mengelus rambut putrinya itu dengan maksud untuk menenangkan pikiran gusar Sabai nan Aluih.
Pada hari yang telah disepakati, pergilah Rajo Babanding ke Padang Panahunan, sebuah tempat sunyi biasa dipakai sebagai tempat adu kesaktian. Rajo Babanding mengajak seorang pembantu setianya bernama Palimo Parang Tagok. Ini dilalukannya bukan untuk membantunya bertanding, tetapi untuk berjaga-jaga apabila Rajo nan Panjang berbuat curang.
Di Padang Panahunan, Rajo nan Panjang sudah berada di sana terlebih dahulu bersama para pengawalnya. Rajo nan Kongkong, Lompong Bertuah, dan Panglimo Banda Dalam.
“Hai pengawalku, kuperingatkan kepadamu. Jangan sekali-kali memandang remeh Rajo Babanding. Meskipun ia Nampak lembut, ia cukup mahir dalam bermain silat dan hatinya tegar sekeras batu karang, berhati-hatilah!” Tukas Rajo nan Panjang kepada ketiga pengawalnya.
Setelah kedua belah pihak saling berdekatan, pertarungan pun tak terelakkan lagi, merekapun saling menyerang. Palimo Banda Dalam tersungkur terkena tendangan Palimo Parang Tagok. Lampong bertuah menyerang untuk membela temannya dengan menikam Palimo Parang Tagok dari belakang. Melihat ini Rajo Babanding menjadi marah. Jika semula dia hanya bertahan, kini dia mulai menyerang.
Rajo nan Panjang terluka lalu terjatuh dalam lukanya yang parah ia berkata kepada pengawalnya, “Nan Kongkong, Kenapa kau diam saja? Segera tembakkan senapanmu!” Mendengar perintah ini Nan Kongkong yang berada dibalik semak-semak segera mengarahkan senapannya kearah Rajo Babanding. Bunyi letusan senapanpun berdentam dari balik semak-semak, dor…dor..dor… ! Rajo Babanding pun terjatuh ke tanah berlumur darah.
Sementara di tempat lain seorang gembala ternak yang menyaksikan pertarungan tersebut dan melihat Rajo Babanding terluka parah tertembak senapan Nan Kongkong, segera menyampaikan kejadian ini kepada Sabai nan Aluih. Mendengar berita ini, Sabai sangat terkejut. Ternyata mimpinya menjadi kenyataan. Pada saat itu Mangkutak Alam adik Sabai datang. Kata Sabai, “Hai, Mangkutak. Mari kita ke Padang Panahunan, ayah kita terluka parah dan sudah meninggal karena tertembak senapan di dadanya.” berkata Sabai kepada adiknya Mangkutak Alam.
“Oh, kak. Aku tak mau ikut, aku sungguh takut mati. Bukankah aku akan segera menikah.?” Jawab Mangkutak tidak perduli sama sekali dengan keadaan ayahnya.
“Percuma kau menjadi laki-laki. Kau sungguh pengecut!” Bentak Sabai kepada adiknya sambil mengambil senapan di dalam kamar ayahnya. Kemudian iapun berlari ke Padang Panahunan untuk membalas kematian ayahnya yang terbunuh oleh Nan Kongkong pengawal Rajo nan Panjang. Mangkutak Alam hanya menatap saja, diam seribu bahasa memandang kepergian Sabai kakaknya.
Di tengah-tengah perjalanan di kaki bukit ilalang, Sabai berpapasan dengan Rajo nan Panjang dan pengawalnya.
“ha…ha…ha… Sabai! Kebetulan sekali. Aku ingin menjemputmu untuk aku lamar. Ternyata engkau dating sendiri!kata Rajo nan Panjang.
“Hai, tua bangka yang tak tahu malu. Kau telah membunuh ayahku dengan cara pengecut! Dasar bedebah!”
“Lancang sekali mulutmu, Sabai. Kau akan menyesal seperti ayahmu nanti! Mati tertembak senapan ini!†sambil menepuk-nepuk senapan di tangannya.
“Oh… jadi kau telah membunuh ayahku yang tidak bersenjata itu. Sungguh kau manusia bedebah. Padahal ayahku tidak bersenjata, kau sungguh licik! sambil mengarahkan senapannya ke wajah laki-laki itu. Dan bunyi senapan Sabaipun berdentam beberapa kali membuat tubuh laki-laki sombong, mata keranjang terjerambab ke tanah. Tewas seketika. Para pengawal Rajo nan Panjang setelah melihat majikannya tewas hanya terperangah. Beberapa saat kemudian Nan Kongkong mengajak temannya pergi sambil berucap, “Untuk apa membela orang yang sudah mati. Orang mati tentu tak bisa membayar kita.”
Hikayat Sabai Nan Aluih
-
Sabai Dipinang Rajo Nan Panjang
Kecantikan Sabai Nan Aluih terdengar oleh Rajo Nan Panjang. Ia berminat untuk meminang putri sulung sahabatnya itu. Rajo nan Panjang kemudian mengirim utusannya untuk meminang Sabai nan Aluih. Ia sangat yakin bahwa Rajo Babanding niscaya akan mendapatkan pinangannya.
Para utusan Rajo Nan Panjang kemudian berangkat ke Padang Tarok. Sesampainya di Padang Tarok, mereka pun memberikan pinangan majikannya kepada ayah Sabai nan Aluih, Rajo Babanding. Namun ayah Sabai menolak pinangan sahabatnya itu dengan alasan ia aib mempunyai mantu yg seumur dengannya walaupun ia orang kaya.
Sesudah menerima balasan penolakan dari Rajo Babanding, para utusan itu pun segera kembali ke Kampung Situjuh untuk memberikan gosip tersebut kepada Rajo Nan Panjang. Tentu saja Rajo nan Panjang merasa sangat terhina dengan penolakan tersebut.
Rajo Nan Panjang alhasil memutuskan akan tiba pribadi menemui Rajo Babanding untuk meminang Sabai. Berangkatlah Rajo nan Panjang bersama ketiga orang pengawalnya. Sesudah mendengar pribadi impian sahabatnya untuk meminang Sabai, Rajo Babanding memperlihatkan untuk berunding di luar rumah, yaitu di sebuah lokasi berjulukan Padang Panahunan pada hari minggu. Padang Panahunan yaitu kawasan yg sepi dan semenjak dulu dipakai untuk berkelahi.
Perkelahian Rajo Babanding dengan Rajo Nan Panjang
Rajo Babanding merasa bahwa sahabatnya itu sudah melanggar sopan santun sebab berani meminang anak gadisnya setips langsung. Menurut susila di negeri itu, pinangan dihentikan disampaikan pribadi kepada ayah si Gadis, melainkan kepada mamak atau adik kandung ibu si gadis.
Rajo nan Panjang pun mengetahui bahwa pinangannya ditolak setips halus oleh ayah Sabai nan Aluih. Ia sadar bahwa dirinya ditantang untuk berkelahi. Ia mendapatkan seruan sahabatnya itu dan segera pergi meninggalkan rumah Rajo Babanding dengan marah.
Sabai Nan Aluih merasa cemas mendengar percakapan ayahandanya dengan Rajo Nan Panjang. Sabai sadar bahwa ayahnya menantang Rajo Nan Panjang berkelahi. Sabai sangat mengkhawatirkan kesecukup lamatan ayahandanya. Tapi Rajo Babanding menenangkan hati anaknya bahwa ia akan baik-baik saja.
Tibalah hari yg sudah ditentukan. Berangkatlah Rajo Babanding ke Padang Panahunan dengan membawa seorang pembantunya yg berjulukan Palimo Parang Tagok. Rajo nan Panjang bersama seorang pengawal setianya Palimo Banda Dalam sudah menunggu. Rupanya Rajo nan Panjang sengaja tiba lebih awal untuk mengatur siasat liciknya. Ia sudah memerintahkan dua orang pengawal lainnya yakni Rajo nan Kongkong dan Lompong Bertuah untuk bersembunyi di balik semak-semak. Salah seorang di antaranya membawa senapan. Senapan itu akan dipakai jikalau diperlukan.
Tidak cukup usang kemudian mereka kemudian bertarung hebat. Rajo Babanding dan Rajo Nan Panjang bertarung habis-habis,an dengan dibantu oleh pengawal masing-masing. Perkelahian itu rupanya berlangsung cukup lama, alhasil para pengawal tumbang lebih dulu. Raja Babanding dan Raja Nan Panjang masih terus berkelahi hingga alhasil Raja Babanding terkena peluru oleh salah satu pengawal dari Rajo Nan Panjang yg muncul setips tiba-tiba dari semak-semak. Rajo Nan Panjang berlsaya curang. Rajo Babanding pun tergeletak dan tak bergerak.
-
Sabai Nan Aluih
Seorang gembala setips tak sengaja melihat insiden ini. Si gembala ini kemudian bergegas pergi ke rumah Raja Babanding untuk memberitahukan insiden tersebut kepada keluarga Raja Babanding. Mendengar kabar kondisi ayahandanya dari si gembala, Sabai pribadi lemas. Sabai mengajak adiknya Mangkutak Alam untuk melihat kondisi ayahandanya namun adiknya menolak dengan alasan tidak ingin mencari mati.
Sabai pun berlari ke Padang Panahunan dengan membawa senapan. Di tengah jalan, Sabai bertemu dengan Rajo Nan Panjang dan pengawalnya. Sabai bertanya wacana kecurangan Raja Nan Panjang, tetapi Raja Nan Panjang hanya tertawa seolah-olah mengejek kematian Raja Babanding. Mendidih darah Sabai melihat pembunuh ayahnya tertawa mengejek. Sabai pun tidak bis,a menahan amarahnya. Saat itu juga Sabai pribadi menarik pelatuk senapan yg ia bawa dari rumah. Terdengarlah bunyi dentuman yg sangat keras. Peluru mengenai dada Raja Nan Panjang dan ia pribadi terjatuh dari kuda. Rajo Nan Panjang tewas seketika.
Demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Cerita Rakyat Sabai Nan Aluih : Definisi, Kisah Kaba, Legenda, Hikayat, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.