Cerita Rakyat Riau Beserta Sejarahnya

Diposting pada

Cerita Putri Tujuh : Asal Muasal Kota Dumai

Dahulu, di Dumai ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang ratu bernama Cik Sima. Kerajaan tersebut bernama Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Cik Sima mempunyai tujuh orang putri yang cantik-cantik. Di antara ketujuh putrinya, putri bungsulah yang paling cantik. la bernama Mayang Sari.

Suatu hari, ketujuh putri ini sedang mandi di Lubuk Sarong Umai. Mereka tidak menyadari bahwa ada orang yang sedang memerhatikan mereka. Pangeran Empang Kuala yang secara tidak sengaja sedang melewati daerah itu terkagum-kagum dengan kecantikan ketujuh putri itu. Namun, matanya terpaku pada Putri Mayang Sari.

“Hmm, cantik sekali gadis itu. Gadis cantik di Lubuk Umai. Dumai… Dumai,” bisiknya pada diri sendiri.

Sekembalinya ke kerajaan, Pangeran Empang Kuala memerintahkan utusannya untuk pergi ke Kerajaan Seri Bunga Tanjung untuk meminang Putri Mayang Sari. Secara adat, Cik Sima menolak dengan halus pinangan kepada putri bungsunya, karena seharusnya putri tertualah yang harusnya menerima pinangan lebih dahulu.

Pangeran Empang Kuala murka mendengar pinangannya ditolak. Lulu, ia mengerahkan pasukannya untuk menyerbu Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Mendapat serangan tersebut, Cik Sima segera mengamankan ketujuh puterinya ke dalam hutan. Mereka disembunyikan di sebuah lubang yang ditutupi atap terbuat dari tanah dan dihalangi oleh pepohonan. Cik Sima juga membekali ketujuh puterinya bekal makanan selama tiga bulan. Setelah itu, Cik Sima kembali ke medan perang.

Pertempuan berlangsung selama berbulan-bulan. Telah lewat tiga bulan pertempuran tidak juga selesai dan pasukan Cik Sima semakin terdesak. Korban sudah banyak sekali berjatuhan dan kerajaan pun porak poranda. Akhirnya, Cik Sima meminta bantuan jin yang sedang bertapa di Bukit Hulu Sungai Umai.

Ketika Pangeran Empang Kuala dan pasukannya sedang beristirahat di bagian hilir Sungai Umai pada malam hari, tiba tiba saja ribuan buah bakau berjatuhan menimpa pasukan Pangeran Empang Kuala yang sedang beristirahat. Sebentar saja pasukan tersebut dapat dilumpuhkan. Pangeran Empang Kuala pun terluka.

Dalam kondisi yang lemah itu, datanglah utusan Ratu Cik Sima.

“Hamba datang sebagai utusan Ratu Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Ratu meminta Tuan untuk menghentikan peperangan ini. Peperangan ini tidak ada kebaikannya bagi kedua belch pihak. Hanya akan menimbulkan kesengsaraan,” kata utusan Ratu Cik Sima

Pangeran Empang Kuala menyadari bahwa pihaknyalah yang memulai semua kerusakan ini. Akhirnya, ia memerintahkan pasukannya untuk mundur.

Sepeninggal pasukan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima bergegas menuju tempat persembuyian ketujuh putrinya. Namun, ia sangat terpukul, karena dilihatnya ketujuh puterinya telah meninggal dunia, karena kelaparan. Peperangan berlangsung Iebih lama dari perkiraan mereka, sehingga bekal makanan yang ditinggalkan tidak cukup.

Ratu Cik Sima tak kuasa menahan sesal dan kesedihan atas kehilangan putri-putrinya. la jatuh sakit dan meninggal dunia.

Konon, kata Dumai diambil dari kata-kata Pangeran Empang Kuala ketika sedang melihat Putri Mayang Sari di sungai. Kini, di Kota Dumai terdapat situs bersejarah, yaitu sebuah persanggrahan Putri Tujuh yang letaknya di daerah wilayah kilang Minyak PT Pertamina Dumai.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Riau Putri Tujuh : Asal Usul Dumai adalah permusuhan akan menimbulkan kerugian dan penyesalan.


Rakyat Daerah Riau : Asal Mula Pulau Senua

Di kepulauan Natuna, ada sepasang suami istri, yaitu Baitusen dan Mai Lamah. Suatu hari, mereka merantau ke Pulau Bunguran agar bisa hidup lebih baik.

Di Pulau Bunguran, mereka hidup bahagia. Para tetangga pun menyukai mereka. Mak Semah, seorang bidan kampung pun selalu bersedia menolong mereka jika salah satu di antara mereka ada yang sakit.

Suatu hari, Baitusen menemukan sarang teripang, binatang laut yang mahal harganya jika dikeringkan dan dijual. Baitusen dan istrinya pun menjadi saudagar teripang yang kaya raya.

Kehidupan yang mewah mengubah sifat Mai Lamah. la menjadi sombong dan pelit. Perempuan itu pun tidak mau lagi bergaul dengan para tetangganya yang miskin.

Suatu hari, Mak Semah datang untuk meminjam beras. Mai Lamah membentaknya dan mengungkit tentang utang-utang perempuan itu. Mak Semah sangat sedih mendengar ucapan Mai Lamah. Sejak itu, para tetangga menjauhi Mai Lamah.

Suatu waktu, tibalah saatnya Mai Lamah melahirkan. Mereka sudah memesan bidan dari pulau seberang, tetapi ia tak kunjung datang. Akhirnya, Baitusen mencoba meminta bantuan kepada Mak Semah dan tetangga lainnya. Namun, tak seorang pun mau menolong karena mereka pernah disakiti oleh Mai Lamah.

Baitusen membawa istrinya ke pulau seberang untuk menemui bidan. Mereka menggunakan perahu. Mai Lamah meminta suaminya untuk membawa semua peti perhiasan dalam perahu mereka.

Baitusen menuruti kemauan istrinya. Mereka membawa peti perhiasan, lalu menjalankan perahu itu. Ternyata, semakin ke tengah, gelombang laut semakin besar. Air masuk ke dalam perahu. Semakin lama muatan perahu semakin berat. Perahu tenggelam bersama seluruh perhiasan yang mereka bawa.

Baitusen dan istrinya berusaha menyelamatkan diri. Mai Lamah berpegangan pada ikat pinggang suaminya. Mereka berusaha berenang ke tepian di tengah gelombang laut yang ganas. Tubuh Mai Lamah timbul dan tenggelam. Badannya berat, karena sedang mengandung dan ditambah banyaknya perhiasan yang ia pakai. Akhirnya, mereka sampai ke Pulau Bunguran Timur.

Saat Mai Lamah yang sombong dan kikir menginjakkan kaki di pulau itu, tiba-tiba guntur menggelegar. Tampaknya, tanah Bunguran tidak mau menerima kedatangan perempuan itu. Tiba-tiba, tubuh Mai Lamah yang dalam keadaan mengandung berubah menjadi sebongkah batu besar.

Lama kelamaan, batu tersebut berubah menjadi sebuah pulau. Masyarakat sekitar menamai pulau tersebut dengan Pulau Senua. Menurut bahasa masyarakat setempat “senua” adalah berbadan dua atau mengandung. Emas dan perak yang melilit tubuh Mai Lamah berubah menjadi burung walet. Pulau ini terletak di ujung Tanjung Senubing, Bunguran Timur. Sampai kini, Pulau Bunguran terkenal dengan sarang burung waletnya.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Daerah Riau : Asal Mula Pulau Senua adalah Sifat kikir dan tamak akan mebawa celaka pada diri kita sendiri. Karena itu, kita harus saling tolong-menolong antar sesama.


Cerita Si Lancang Kuning

Konon, pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita miskin dengan anak laki-lakinya yang bernama si Lancang. Mereka berdua tinggal di sebuah gubuk reot di sebuah negeri bernama Kampar. Ayah si Lancang sudah lama meninggal dunia. Emak Lancang bekerja menggarap ladang orang lain, sedangkan si Lancang menggembalakan ternak tetangganya.

lancang kuning

Pada suatu hari, si Lancang betul-betul mengalami puncak kejenuhan. Ia sudah bosan hidup miskin. Ia ingin bekerja dan mengumpulkan uang agar kelak menjadi orang kaya. Akhirnya ia pun meminta izin emaknya untuk pergi merantau ke negeri orang. “Emak, Lancang sudah tidak tahan lagi hidup miskin. Lancang ingin pergi merantau, Mak!” mohon si Lancang kepada emaknya. Walaupun berat hati, akhirnya emaknya mengizinkan si Lancang pergi. “Baiklah, Lancang. Kau boleh merantau, tetapi jangan lupakan emakmu. Jika nanti kau sudah menjadi kaya, segeralah pulang,” jawab Emak Lancang mengizinkan.

Mendengar jawaban dari emaknya, si Lancang meloncat-loncat kegirangan. Ia sudah membayangkan dirinya akan menjadi orang kaya raya di kampungnya. Ia tidak akan lagi bekerja sebagai pengembala ternak yang membosankan itu. Emak Lancang hanya terpaku melihat si Lancang meloncat-loncat. Ia ia tampaknya sedih sekali akan ditinggal oleh anak satu-satunya. Melihat ibunya sedih, si Lancang pun berhenti meloncat-lonta, lalu mendekati emaknya dan memeluknya. “Janganlah bersedih, Mak. Lancang tidak akan melupakan emak di sini. Jika nanti sudah kaya, Lancang pasti pulang Mak,” kata si Lancang menghibur emaknya. Emaknya pun menjadi terharu mendengar ucapan dan janji si Lancang, dan hatinya pun jadi tenang. Lalu si Emak berkata, “Baiklah Nak! Besok pagi-pagi sekali kamu boleh berangkat. Nanti malam Mak akan membuatkan lumping dodak untuk kamu makan di dalam perjalanan nanti.”

Keesokan harinya, si Lancang pergi meninggalkan kampung halamannya. Emaknya membekalinya beberapa bungkus lumping dodak makanan kesukaan si Lancang.
Bertahun-tahun sudah si Lancang di rantauan. Akhirnya ia pun menjadi seorang pedagang kaya. Ia memiliki berpuluh-puluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istri-istrinya pun cantik-cantik dan semua berasal dari keluarga kaya pula. Sementara itu, nun jauh di kampung halamannya, emak si Lancang hidup miskin seorang diri.

Suatu hari si Lancang berkata kepada istri-istrinya berlayar bahwa dia akan mengajak mereka berlayar ke Andalas. Istri-istrinya pun sangat senang. “Kakanda, bolehkah kami membawa perbekalan yang banyak?” tanya salah seorang istri Lancang. “Iya…Kakanda, kami hendak berpesta pora di atas kapal,” tambah istri Lancang yang lainnya. Si Lancang pun mengambulkan permintaan istri-istrinya tersebut. “Wahai istri-istriku! Bawalah perbekalan sesuka kalian,” jawab si Lancang. Mendengar jawaban dari si Lancang, mereka pun membawa segala macam perbekalan, mulai dari makanan hingga alat musik untuk berpesta di atas kapal. Mereka juga membawa kain sutra dan aneka perhiasan emas dan perak untuk digelar di atas kapal agar kesan kemewahan dan kekayaan si Lancang semakin tampak.

Sejak berangkat dari pelabuhan, seluruh penumpang kapal si Lancang berpesta pora. Mereka bermain musik, bernyanyi, dan menari di sepanjang pelayaran. Hingga akhirnya kapal si Lancang yang megah merapat di Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang. “Hai …! Kita sudah sampai …!” teriak seorang anak buah kapal.

Penduduk di sekitar Sungai Kampar berdatangan melihat kapal megah si Lancang. Rupanya sebagian dari mereka masih mengenal wajah si Lancang. “Wah, si Lancang rupanya! Dia sudah jadi orang kaya,” kata guru mengaji si Lancang. “Megah sekali kapalnya. Syukurlah kalau dia masih ingat kampung halamannya ini,” kata teman si Lancang sewaktu kecil. Dia lalu memberitahukan kedatangan si Lancang kepada emak si Lancang yang sedang terbaring sakit di gubuknya.

Betapa senangnya hati emak si Lancang saat mendengar kabar anaknya datang. “Oh, akhirnya pulang juga si Lancang,” seru emaknya dengan gembira. Dengan perasaan terharu, dia bergegas bangkit dari tidurnya, tak peduli meski sedang sakit. Dengan pakaian yang sudah compang-camping, dia berjalan tertatih-tatih untuk menyambut anak satu-satunya di pelabuhan.

Sesampainya di pelabuhan, emak si Lancang hampir tidak percaya melihat kemegahan kapal si Lancang anaknya. Dia tidak sabar lagi ingin berjumpa dengan anak satu-satunya itu. Dengan memberanikan diri, dia mencoba naik ke geladak kapal mewahnya si Lancang. Saat hendak melangkah naik ke geladak kapal, tiba-tiba anak buah si Lancang menghalanginya. “Hai perempuan jelek! Jangan naik ke kapal ini. Pergi dari sini!” usir seorang anak buah kapal si Lancang. “Tapi …, aku adalah emak si Lancang,” jelas perempuan tua itu.

Mendengar kegaduhan di atas geladak, tiba-tiba si Lancang yang diiringi oleh istri-istrinya tiba-tiba muncul dan berkata, “Bohong! Dia bukan emakku. Usir dia dari kapalku,” teriak si Lancang yang berdiri di samping istri-istrinya. Rupanya ia malu jika istri-istrinya mengetahui bahwa wanita tua dan miskin itu adalah emaknya.

Baca Juga :  Pasar Persaingan Tidak Sempurna

“Oh, Lancang …, Anakku! Emak sangat merindukanmu, Nak …,” rintih emak si Lancang. Mendengar rintihan wanita tua renta itu, dengan congkaknya si Lancang menepis, lalu berkata, “manalah mungkin aku mempunyai emak tua dan miskin seperti kamu.” Kemudian si Lancang berteriak, “Kelasi! Usir perempuan gila itu dari kapalku!” Anak buah si Lancang mengusir emak si Lancang dengan kasar. Dia didorong hingga terjerembab. Kasihan sekali Emak Lancang. Sudah tua, sakit-sakitan pula. Sungguh malang nasibnya. Hatinya hancur lebur diusir oleh anak kandungnya sendiri. Dengan hati sedih, wanita tua itu pulang ke gubuknya. Di sepanjang jalan dia menangis. Dia tidak menyangka anaknya akan tega berbuat seperti itu kepadanya.

Sesampainya di rumah, wanita malang itu mengambil lesung dan nyiru pusaka. Dia memutar-mutar lesung itu dan mengipasinya dengan nyiru sambil berdoa, “Ya, Tuhanku. Si Lancang telah kulahirkan dan kubesarkan dengan air susuku. Namun setelah kaya, dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhan, tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!”

Dalam sekejap, tiba-tiba angin topan berhembus dengan dahsyat. Petir menggelegar menyambar kapal si Lancang. Gelombang Sungai Kampar menghantam kapal si Lancang hingga hancur berkeping-keping. Semua orang di atas kapal itu berteriak kebingungan, sementara penduduk berlarian menjauhi sungai.


Cerita Batu Batangkup

Cerita rakyat melayu ini sejak aku kecil dah pernah kudengar. Dahulu setahuku judulnya  “Batu Belah Batu Betangkup” yang berarti batu yang bisa terbuka dan tertutup (terbelah  dan kemudian bersatu kembali) seperti kerang. Pada buku Cerita Rakyat Melayu keluaran  Adicita diberi judul Batu Batangkup dengan pencerita Farouq Alwi serta disunting oleh  Mahyudin Al Mudra dan Daryatun. Buku ini terbitan Oktober 2006 merupakan kerjasama
antara Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu dengan Adicita Karya Nusa.  Berikut saduran/gubahan dari buku tersebut :  Zaman dahulu di dusun Indragiri Hilir, tinggal seorang janda bernama Mak Minah di  gubuknya yang reyot bersama satu orang anak perempuannya bernama Diang dan dua  orang anak laki-lakinya bernama Utuh dan Ucin. Mak Minah rajin bekerja dan setiap hari  menyiapkan kebutuhan ketiga anaknya. Mak Minah juga mencari kayu bakar untuk dijual  ke pasar sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka.

Ketiga anaknya sangat nakal dan pemalas yang senang bermain-main saja, tak mau  membantu emaknya. Sering mereka membantah nasihat emaknya sehingga Mak Minah  sering bersedih. Mak Minah telah tua dan sakit-sakitan. Merka bermain kadang sampai  larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya.  “Yaaa Tuhan, tolonglah hamba. Sadarkanlah anak-anak hamba yang tidak pernah mau  menghormati emaknya,” Mak Minah berdoa diantara tangisnya.

Esok harinya, Mak Minah menyiapkan makanan yang banyak untuk anak-anaknya.  Setelah itu, Mak Minah pergi ke tepi sungai dan mendekati sebuah batu yang bisa  berbicara. Batu itu juga dapat membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang  menyebutnya Batu Batangkup.

“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak  saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah. Batu Batangkup  kemudian menelan tubuh Mak Minah dan yang tersisa adalah seujung dari rambut Mak  Minah yang panjang.

Menjelang sore, ketiga anaknya Cuma heran sebentar karena tidak menjumpai emaknya  sejak pagi. Tetap karena makanan cukup banyak, mereka pun makan lalu bermain-main  kembali. Mereka tidak peduli lagi. Setelah hari kedua dan makanan pun habis, mereka  mulai kebingungan dan lapar. Sampai malam hari pun mereka tak bisa menemukan  emaknya. Keesokan harinya ketika mereka mencari di sekitar sungai, bertemulah mereka
dengan Batu Batangkup dan melihat ujung rambut emaknya.

“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami  dari perutmu…,” ratap mereka. “Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian  lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup.  Mereka terus meratap dan menangis. “Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan  menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu
Batangkup.

Maka mereka kemudian rajing membantu emak, menyayanngi serta patuh dan  menghormati emak. Tetapi hal tersebut tidaklah lama. Mereka kembali ke tabiat asal  mereka yang malas dan suka bermain-main serta tidak mau membantu, menyayangi dan  menghormati emak.

Mak Minah pun sedih dan kembali ke Batu Batangkup. Mak Minah pun ditelan kembali  oleh Batu Batangkup. Ketiga anak Mak Minah seperti biasa bermain dari pagi sampai  sore. Menjelang sore mereka baru sadar bahwa emak tak nampak seharian. Besoknya  mereka mendatangi Batu Batangkup. Mereka meratap menangis seperti kejadian sebelumnya. Tetapi kali ini Batu Batangkup marah. “Kalian memang anak nakal.  Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya,” kata Batu Batangkup sambil menelan  mereka. Batu Batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah  muncul kembali.


Legenda Putri Mambang Linau

Alkisah, di tanah Bengkalis hiduplah seorang pemuda bernama Bujang Enok. Ia hidup sebatang kara, orang tuanya sudah tiada, saudaranya juga pergi entah kemana. Meskipun, kehidupannya menyedihkan namun ia adalah pemuda yang baik dan pemurah hati. Pekerjaan sehari-harinya mencari kayu api di dalam hutan, pekerjaan ini untuk memenuhi kebutuhan sehari – harinya.

Suatu pagi, ketika Bujang Enok sedang berjalan di tengah hutan, tiba-tiba ia dihadang seekor ular berbisa. Karena ular tersebut hendak mematuk Bujang Enok, maka terpaksa, Bujang Enok melecutnya dengan tongkat rotan. Seketika itu juga ular tersebut langsung menggeliat dan mati. “Syukurlah, ular tersebut telah tiada, kita tidak akan diganggu ular itu lagi ”, suara beberapa perempuan terdengar di dekat situ. Semakin lama, suara-suara tersebut semakin jelas terdengar oleh Bujang Enok, namun ia tidak menghiraukan suara tersebut, dan ia terus melanjutkan pekerjaannya mengumpulkan kayu api.

Pada saat tengah hari, seperti biasanya Bujang Enok pulang ke pondoknya. Ketika dia masuk ke dapur pondoknya, Bujang Enok merasa heran, karena di dapurnya telah tersedia makanan yang kelihatannya sangat lezat. Karena lapar ia pun langsung melahap semua hidangan yang tersaji itu. Sambil menikmati kelezatan makanan itu, Bujang Enok menjadi penasaran karena ia tidak mempunyai saudara dan orang tua maupun tetangga yang rela menyiapkan makanan untuk dia.

Keesokan harinya, Bujang Enok melaksanakan niatnya untuk mencari tahu orang yang telah berani masuk ke dalam pondoknya. Hari itu ia memutuskan tidak pergi ke hutan. Dari pagi hingga siang ditunggunya orang yang masuk ke pondoknya. Bujang Enok menunggu di antara semak-semak yang berada tak jauh dari pondoknya. Menjelang tengah hari, tiba-tiba dari arah lubuk, datang tujuh gadis jelita. Mereka datang beriring-iringan dan menjunjung hidangan, lalu masuk ke dalam pondok Bujang Enok. Ketujuh gadis itu mengenakan selendang berwarna pelangi. Namun dari ketujuh gadis itu, gadis yang berselendang warna jinggalah yang paling cantik. Bujang Enok mengawasi gadis itu.

Tak lama kemudian, ketujuh gadis itu keluar dari pondok Bujang Enok, dan berjalan ke arah lubuk hulu sungai. Mereka akan mandi, dan Masing-masing gadis itu menyangkutkan selendangnya pada sebuah ranting kayu. Dengan langkah hati-hati, Bujang Enok membuntuti ketujuh gadis jelita itu. Bujang Enok bersembunyi di balik semak-semak. Bujang Enok mendekati pakaian mereka dan mengambil selendang berwarna jingga. Karena mereka mandi sambil bersendau gurau, sehingga tak menyadari kehadiran Bujang Enok yang tak jauh dari tempat mereka mandi.
Selesai mandi, ketujuh gadis itu naik ke tepi lubuk lalu berganti pakaian. Masing-masing mengambil dan mengenakan selendangnya yang tergantung di ranting.

Namun, salah satu dari di antara ketujuh gadis itu yaitu yang mengenakan selendang berwarna jingga, ia tidak menemukan selendangnya. Setelah beberapa lama mereka mencari, mereka tetap tidak menemukan selendang terebut. Menjelang sore, keenam gadis yang telah mengenakan selendang, tiba-tiba menari dan kemudian melayang-layang terbang ke angkasa meninggalkan gadis yang kehilangan selendang itu seorang diri di tepian lubuk. Sementara itu, Bujang Enok tercengang-cengang menyaksikan peristiwa itu dari balik semak-semak.
Setelah melihat hal itu, Bujang Enok keluar dari persembunyiannya dan menghampiri gadis yang sedang mencari-cari selendangnya.

“ Apa sedang engkau cari, wahai gadis cantik? ” tanya Bujang Enok.
“ Hamba sedang mencari selendang. Apakah Tuan mengetahui selendang berwarna jingga di dekat sini ?? ” pinta Gadis itu.
“ Saya bersedia mengembalikan selendang jingga milik Tuan Putri, tetapi dengan syarat, Tuan Putri bersedia menikah dengan saya,” kata Bujang Enok.
“ Asalkan Tuan mengembalikan selendang saya. Saya berjanji bersedia menikah dengan Tuan, tetapi apabila saya terpaksa harus menari, berarti kita akan bercerai kasih,” kata gadis jelita itu.
“Baiklah, saya akan mengingat janji itu. Nama saya Bujang Enok,” jelas Bujang Enok memperkenalkan dirinya.

“Nama saya Mambang Linau,” kata gadis jelita itu membalasnya.
Sejak saat itu, mereka menjalin cinta kasih dalam sebuah bahtera rumah tangga. Bujang Enok dan Mambang Linau hidup bahagia, rukun dan berkecukupan.

Sejak menikah dengan Mambang Linau, Bujang Enok semakin terkenal di kampungnya, ia dikenal pemuda yang pemurah dan baik hati. Lama kelamaan kebaikan hati Bujang Enok terdengar hingga ke kerajaan. sehingga Raja menganggat Bujang Enok menjadi Batin atau kepala kampung di desa Petalangan. dengan sifat pemurahnya. Kepemurahan hati Bujang Enok itu terdengar oleh Raja yang berkuasa di negeri itu. Semenjak menjadi batin, Bujang Enok menjadi dekat dengan Sang Raja dan menjadi salah seorang kepercayaan Raja.

Suatu hari, sang Raja mengadakan pesta di istana. Raja mengundang orang – orang pembesar istana dan orang kepercayaan Raja. Mereka semua datang bersama istrinya. Ketika itu Raja mempersilahkan para istri calon undangan untuk mempersembahkan tarian. Ketika Putri Mambang Linau melihat tarian itu harinya mulai berdebar-debar. Hatinya pun semakin berdebar kencang ketika tiba giliran Putri Mambang Linau.
Bujang Enok yang duduk di sampingnya menoleh ke arah istrinya, “Wahai adinda Mambang Linau, kakanda menjunjung tinggi titah raja,” bisik Bujang Enok. Mambang Linau mengerti maksud bisikan suaminya, lalu menjawab

“Demi menjunjung titah raja dan rasa syukur atas tuah negeri, saya bersedia menari,” jawab Mambang Linau sambil mengenakan selendang berwarna jingga dan naik ke atas panggung.
Ia pun mulai menari layaknya seekor burung elang. Ia melambaikan selendangnya seraya mengepak-ngepakkannya. para tamu undangan terpesona oleh tarian Putri Mambang Linau, tanpa di sadari perlahan-lahan kakinya tidak berpijak di bumi. Seketika itu ia pun terbang melayang, dan terbang ke angkasa menuju kayangan. Semua tamu undangan yang hadir terperangah menyaksikan peristiwa tersebut.

Sejak itu, Putri Mambang Linau tidak pernah kembali lagi. Sejak itu pula, Batin Bujang Enok bercerai kasihdan hidup seorang diri. Betapa besar pengorbanan Bujang Enok, ia rela mengalami ini semua demi menjunjung tinggi titah sang Raja.

Melihat pengorbanan Bujang Enok, sang Raja pun menlantik menjadi Penghulu yang berkuasa di istana. Hingga ada sebuah pantun yang berbunyi:
Ambillah seulas si buah limau
Coba cicipi di ujung-ujung sekali
Sudahlah pergi si Mambang Linau
Hamba sendiri menjunjung duli

Baca Juga :  Asal Usul Desa Trunyan

Setelah peristiwa itu, setiap tahun diadakan acara tari persembahan. Tarian ini mengisahkan Putri Mambang Linau sejak pertemuan sampai perpisahannya dengan Bujang Enok. gerakan tarian ini menyerupai burung elang, maka tarian itu dinamakan tarian elang-elang. Masyarakat Riau lebih menyebutnya tari olang-olang. Tarian olang-olang ini dimainkan dengan iringan gendang (gubano) rebab, calempong dan gong. Tarian ini dapat dijumpai di kecamatan Siak dan Merbau, kabupaten Bengkalis, Riau, Indonesia.


Cerita Hang Tuah

Alkisah,Padazaman dahulu kala, Ada seorang kesatria bernama Hang Tuah. Saat masihanak-anak, Dia dan ke­­dua orangtuanya Hang Mah­mud dan Dang Merdu menetap diPu­lau Bintan. Pulau ini terdapat di perairan Riau. Rajanya ialah Sang Maniaka putraSang Sapurba raja besar yang bermahligai di Bukit Siguntang. Hang Mahmudberfirasat bahwa kelak anaknya akan menjadi seorang tokoh yang terkenal. Ketikaberumur 10 tahun, Hang Tuah pergi berlayar ke Laut Cina Sela­tan dengan 4sahabatnya, yaitu Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Le­kir, dan Hang Lekiu. Dalamper­jalanan, me­reka selalu diganggu oleh ge­rom­­bol­­­­an lanun. Dengan rasa ke­­­be­ranian­nya HangTuah dan para sa­ha­­bat­nya bisa me­ngalahkan ge­­­rom­­­bolan itu. Ka­­baritu terdengar sam­pai ke te­linga Bendahara Pa­duka Raja Bintan yang sangatkagum pada ke­beranian mereka.

Suatu ketika Hang Tuah dan ke-4 sahabatnya berhasil mengalahkan 4 pe­­ngamuk yang menyerang Tuan Ben­da­­­­hara. Tuan Bendahara lalu meng­­ang­kat mereka sebagai anak angkatnya. Tuan Ben­­­dahara lalu melaporkan tentang ke­­­­he­­­­­­bat­­­­­an mereka pada Baginda Raja Syah Alam. Baginda Raja pun ikut merasa ka­gum dan pula mengangkat mereka se­­­ba­gai anak angkatnya. Beberapa tahun berlalu, Ba­ginda Ra­ja berencana mencari tempat baru seba­gai pusat kerajaan. Dia dan pung­gawa ke­rajaan termasuk Hang Tuah dan para sa­­habat­nya, melan­cong ke seki­tar Selat Me­­­laka dan Selat Singapura. Rom­­bong­an akhir­­­nya sampai di Pu­lau Ledang Di sana rom­­bong­­an me­­lihat seekor pelanduk (kancil) pu­tih yang ternyata susah untuk ditangkap.

Menurut petuah orang tua-tua, kalau me­­­­nemui pelanduk putih di hutan maka tem­pat tersebut bagus dibuat negeri. Akhirnya di sana dibangun sebuah negeri dan dinama­kan Melaka se­suai nama pohon Melaka yang ada di tempat itu. Sesudah lama memerintah Ba­gin­da Raja berniat meminang seorang putri cantik bernama Tun Teja putri tung­gal Bendahara Seri Benua di Kerajaan Indrapura. Tapi sayangnya putri tersebut me­­no­lak pinangan Bagin­da Raja Akhir­nya Baginda Raja melamar Raden Galuh Mas Ayu putri tunggal Seri Betara Maja­pahit raja besar di tanah Jawa.

Sehari menjelang pernikahan di ista­na Majapahit terjadi di suatu kegaduhan. Ta­ming Sari prajurit Majapahit yang su­dah tua tapi masih tangguh tiba-tiba meng­­­­­­amuk. Mengetahui keadaan tersebut, Hang Tuah lalu menghadang Taming Sari. Hang Tuah memiliki siasat cerdik de­ngan cara menukarkan kerisnya dengan keris Taming Sari. Setelah keris ber­tukar, Hang Tuah lalu berkali-kali me­­nye­rang Taming Sari. Taming Sari baru ka­lah sesudah keris sakti yang dipegang Hang Tuah ter­tikam ke tubuhnya. Hang Tuah lalu diberi gelar Laksamana serta dihadiahi keris Taming Sari.

Baginda Raja bersama istri dan rom­­­­­­bong­annya lalu kembali ke Melaka. Selama bertahun-tahun negeri ini aman dan juga tenteram. Hang Tuah menjadi laksa­mana yang sangat setia kepada raja Melaka dan sangat disayang serta dipercaya raja. Hal tersebut menimbulkan rasa iri dan dengki prajurit dan pegawai istana. Suatu ketika tersebar fitnah yang menyebutkan bahwa Hang Tuah sudah berbuat tidak sopan de­­ngan seorang dayang istana. Pe­­nyebar fitnah itu ialah Patih Kerma Wijaya yang merasa iri pada Hang Tuah. Bagin­da Raja marah mendengar kabar tersebut. Dia me­me­­­rintahkan Bendahara Paduka Raja supaya mengusir Hang Tuah. Tuan Benda­ha­ra sebenarnya tidak mau melaksana­­­kan pe­­rintah Baginda Raja karena dia menge­ta­hui Hang Tuah tak bersalah. Tuan Ben­da­hara menyarankan supaya Hang Tuah cepat-cepat meninggalkan Melaka dan pergi ke Indrapura.

Di Indrapura, Hang Tuah kenal dengan se­­­orang wanita tua bernama Dang Ratna, inang Tun Teja. Dang Ratna lalu menjadi ibu angkatnya. Hang Tuah me­­minta Dang Ratna untuk menyampai­­kan pesan kepada Tun Teja supaya mau me­­nya­yangi dirinya. Berkat upaya Dang Ratna, Tun Teja pun mau menyayangi Hang Tuah. Hu­­­­­­­­­bung­­an keduanya lalu menjadi sangat akrab. Suatu ketika, Indrapura kedatangan pe­rahu Melaka yang dipimpin oleh Tun Ratna Diraja dan juga Tun Bija Sura. Mereka me­­minta Hang Tuah supaya mau kembali ke Melaka. Tun Teja dan Dang Ratna pun ikut bersama rombongan.

Setibanya di Melaka, Hang Tuah ke­mu­­­dian bertemu dengan Baginda Raja. Hang Tuah bilang, Mohon maaf, Tuanku, se­lama ini hamba tinggal di Indrapura. Ham­ba kembali untuk selalu mengabdi se­­­tia ke­pada Baginda. Tun Ratna Diraja me­la­por­­­­kan pada Baginda Raja bahwa Hang Tuah da­tang bersama Tun Teja, putri yang dulu diidam-idamkan oleh Baginda Raja. Sing­­kat ceri­ta, Tun Teja akhirnya ber­­­­sedia men­­jadi istri ke­dua Baginda Raja walaupun se­benarnya dia menya­yangi Hang Tuah. Hang Tuah lalu menjabat lagi se­­bagai Laksamana Mela­ka, yang sangat setia serta disayang raja.

Hang Tuah kembali terkena fitnah se­te­­lah bertahun-tahun tinggal di Melaka. Mende­­­­ngar fitnah itu, kali ini Baginda Ra­­ja sa­­ngat marah serta memerintahkan Tuan Ben­­dahara supaya membunuh Hang Tuah. Tuan Ben­­dahara tidak tega mem­bu­­­­­nuh Hang Tuah dan memintanya supaya me­­­ng­­­ungsi ke Hulu Melaka. Hang Tuah me­nitipkan keris Ta­ming Sari ke Tuan Ben­­da­­­­­hara agar supaya pada Baginda Raja. Hang Jebat lalu menggantikan Hang Tuah seba­gai Laksamana Melaka. Oleh Baginda Raja keris Taming Sari diserahkan pada Hang Jebat.

Sepeninggal Hang Tuah, Hang Jebat lupa diri serta menjadi mabuk kekuasaan. Dia ber­tindak seenaknya dan juga se­­ring bertindak tidak sopan pada para pem­besar kerajaan dan dayang-dayang. Banyak orang sudah menasihati­nya. Tapi, Hang Jebat tetap keras kepala, tidak mau berubah. Baginda Raja men­jadi kesal melihat kelakuan Hang Jebat. Tak seorang pun prajurit yang bisa mengalahkan Hang Jebat. Baginda kemudian ter­ingat kepada Hang Tuah. Tuan Ben­­da­hara memberitahu pada Baginda Raja, Maaf Baginda se­­­be­­na­r­nya Hang Tuah masih hidup. Dia me­­ngungsi ke Hulu Melaka.Atas perintah Ba­­gin­­­da Ra­ja, Hang Tuah mau kembali ke Melaka.

Hang Tuah menghadap Bagin­da Raja serta menyata­­­kan kesiapannya me­lawan Hang Jebat. Hang Tuah lalu diberi keris Purung Sari. Terjadi pertempuran yang sangat hebat antara 2 sahabat yang sangat setia dan yang mendurhaka. Suatu ketika Hang Tuah berhasil merebut keris Taming Sari dan dengan keris tersebut, Hang Tuah bisa me­nga­­lah­kan Hang Jebat. Dia mati di pangkuan Hang Tuah. Hang Tuah kembali diangkat sebagai Lak­sa­mana Melaka. Sete­lah itu Melaka kem­bali damai.

Laksamana Hang Tuah sering berkunjung ke luar negeri sampai ke negeri Judah dan Rum untuk memperluas pengaruh kera­jaan Me­laka di seluruh dunia. Suatu ketika Baginda Raja mengirim utus­an pedagang ke Kerajaan Bijaya Naga­ram di India, yang dipimpin oleh Hang Tuah. Setibanya sampai di India, rombongan me­­­­­­­lanjut­­­­kan pelayaran ke negeri Cina. Di pe­­labuh­­an Cina, rombongan Hang Tuah terjadi perselisihan de­ngan orang-orang Portugis, karena mereka sangat sombong, tak te­rima Hang Tuah melabuhkan kapalnya di sam­ping kapal Portugis.

Setelah mengha­­dap pada Raja Cina, rombongan Hang Tuah lalu me­lanjut­­kan perjalan­an­nya kemba­li ke Me­laka. Di tengah per­jalanan me­­­re­­ka di­se­rang oleh perahu orang Por­­­tu­­gis. Hang Tuah bbisa meng­­­atasi se­­rang­­­an me­re­­ka. Kap­ten serta se­o­rang pe­r­­wi­­ra Por­­­tu­gis melari­kan diri ke Ma­nila, Fili­­pi­­na. Rom­­bong­­an Hang Tuah akhir­­nya sampai di Melaka dengan selamat. Suatu ketika raja Melaka beserta ke­lu­arga­nya berwisata ke Singapura dikawal Lak­sa­mana Hang Tuah dan Bendahara Pa­­du­­ka Raja dengan berbagai perahu ke­­be­sar­­an. Saar sampai di Selat Si­ngapu­ra Raja Syah Alam melihat seekor ikan ber­si­sik emas ber­­­matakan mutu manikam di se­kitar pe­­­­ra­hu Syah Alam. Saat mene­ngok ke per­­­mukaan air, mahkota Raja jatuh ke dalam laut.

Hang Tuah langsung menyelam ke dasar laut sambil menghunus keris Taming Sari untuk mengambil mahkota itu. Dia ber­­hasil mengambil mahkota itu tetapi saat hampir tiba di perahu, seekor buaya putih besar menyambarnya sampai mah­ko­­ta beserta kerisnya jatuh lagi ke laut. Hang Tuah kembali menyelam ke dasar la­ut­­­an mengejar buaya itu. Tetapi ter­­­­­nyata mah­kota beserta kerisnya tetap tak bisa di­te­mu­kan. Sejak kehilangan mah­ko­ta dan keris­­ Taming Sari, Raja dan Hang Tuah men­jadi pe­murung serta sering sakit-sakitan. Sementara itu, Gubernur Portugis di Ma­nila amat marah mendengar laporan ke­­kalahan dari perwiranya yang berhasil me­­­lari­kan diri. Setelah beberapa bulan me­­l­aku­kan persiapan, angkatan perang Por­tugis berangkat ke Selat Melaka. Di tempat ini, mereka memulai serangan pada Me­­­laka yang menyebabkan ba­nyak prajurit Melaka kewalahan. Sementara Itu Hang Tuah sedang sakit keras.

Denganketeguhannya, Hang Tuah ma­­sih bisa menyerang musuh, baik de­ngan pedang ataupunmeriam. Tapi, se­­­buah peluru mesiu Portugis berhasil meng­­­­hantam HangTuah. Dia terlempar se­jauh 7 meter dan terjatuh ke laut. Hang Tuah berhasildiselamatkan lalu di­bawa de­ngan perahu Mendam Birahi kem­bali ke Melaka.Seluruh perahu pe­tinggi dan pasukan Mela­ka pun kembali ke keraja­an. Demikianjuga halnya pasukan Portugis kembali ke Manila karena banyak pe­mim­pinnya yangterluka. Peperangan ber­akhir tanpa ada yang menang ataupun yang kalah. Setelahsembuh, Hang Tuah tidak lagi men­­­­­jabat sebagai Laksamana Melaka kare­na telahsemakin tua. Dia menjalani hidup­nya dengan menyepi di puncak bukit Jugara diMelaka. Baginda Raja juga telah tidak lagi memimpin, Dia diganti­kan olehanaknya, Putri Gunung Ledang.


Cerita Putri Kaca Mayang

Kota Pekanbaru adalah salah satu Daerah Tingkat II sekaligus sebagai ibukota Provinsi Riau, Indonesia. Sebelum ditemukannya sumber minyak, Pekanbaru hanyalah sebuah kota pelabuhan kecil yang berada di tepi Sungai Siak. Namun, saat ini Pekanbaru telah menjadi kota yang ramai dengan aktifitas perdagangannya. Letaknya yang strategis (berada di simpul segi tiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapura), menjadikan Kota Pekanbaru sebagai tempat transit (persinggahan) para wisatawan asing, baik dari Singapura maupun Malaysia, yang hendak berkunjung ke Bukittinggi atau tempat-tempat lain di Sumatera.

Keberadaan Kota Pekanbaru yang ramai ini memiliki sejarah dan cerita tersendiri bagi masyarakat Riau. Terdapat dua versi mengenai asal-mula kota ini yaitu versi sejarah dan versi cerita rakyat. Menurut versi sejarah, pada masa silam kota ini hanya berupa dusun kecil yang dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan, yang dikepalai oleh seorang Batin (kepala dusun). Dalam perkembangannya, Dusun Senapelan berpindah ke tempat pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki, yang terletak di tepi Muara Sungai Siak.

Perkembangan Dusun Senapelan ini erat kaitannya dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada masa itu, raja Siak Sri Indrapura yang keempat, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766-1780 M.), menetap di Senapelan, yang kemudian membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan dengan Dusun Senapelan (di sekitar Mesjid Raya Pekanbaru sekarang).

Tidak berapa lama menetap di sana, Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian membangun sebuah pekan (pasar) di Senapelan, tetapi pekan itu tidak berkembang. Usaha yang telah dirintisnya tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya, Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yaitu di sekitar pelabuhan sekarang. Selanjutnya, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 M., berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya menjadi Pekan Baharu. Sejak saat itu, setiap tanggal 23 Juni ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru.

Baca Juga :  Laut

Mulai saat itu pula, sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer dengan sebutan Pekan Baharu. Sejalan dengan perkembangannya, kini Pekan Baharu lebih populer disebut dengan sebutan Kota Pekanbaru, dan oleh pemerintah daerah ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Riau.

Sementara menurut versi cerita rakyat yang sampai saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Riau, kerajaan yang berdiri di tepi Sungai Siak itu bernama Gasib. Kerajaan ini diperintah oleh seorang raja yang bernama Gasib. Konon, Raja Gasib memiliki seorang putri yang cantik jelita, namanya Putri Kaca Mayang. Namun tak seorang raja atau bangsawan yang berani meminang sang Putri, karena mereka segan kepada Raja Gasib yang terkenal memiliki panglima gagah perkasa yang bernama Gimpam.

Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan diri meminang sang Putri, namun pinangannya ditolak oleh Raja Gasib. Karena kecewa dan merasa terhina, Raja Aceh berniat membalas dendam. Apa yang akan terjadi dengan Kerajaan Gasib? Bagaimana nasib sang Putri? Lalu, apa hubungannya cerita ini dengan asal mula Kota Pekanbaru? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Putri Kaca Mayang berikut ini.

* * *

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi Sungai Siak berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Gasib. Kerajaan ini sangat terkenal, karena mempunyai seorang panglima yang gagah perkasa dan disegani, Panglima Gimpam namanya. Selama ia menjadi penglima Kerajaan Gasib, tiada satu pun kerajaan lain yang dapat menaklukkannya.

Selain itu, Kerajaan Gasib juga mempunyai seorang putri yang kecantikannya sudah masyhur sampai ke berbagai negeri, Putri Kaca Mayang namanya. Meskipun demikian, tak seorang raja pun yang berani meminangnya. Mereka merasa segan meminang sang Putri, karena Raja Gasib terkenal mempunyai Panglima Gimpam yang gagah berani itu.

Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan dirinya meminang Putri Kaca Mayang. Ia pun mengutus dua orang panglimanya untuk menyampaikan maksud pinangannya kepada Raja Gasib. Sesampainya di hadapan Raja Gasib, kedua panglima itu kemudian menyampaikan maksud kedatangan mereka. “Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja Aceh. Maksud kedatangan kami adalah untuk menyampaikan pinangan raja kami,” lapor seorang utusan. “Benar, Baginda! Raja kami bermaksud meminang Putri Baginda yang bernama Putri Kaca Mayang,” tambah utusan yang satunya.

“Maaf, Utusan! Putriku belum bersedia untuk menikah. Sampaikan permohonan maaf kami kepada raja kalian,” jawab Raja Gasib dengan penuh wibawa. Mendengar jawaban itu, kedua utusan tersebut bergegas kembali ke Aceh dengan perasaan kesal dan kecewa.

Di hadapan Raja Aceh, kedua utusan itu melaporkan tentang penolakan Raja Gasib. Raja Aceh sangat kecewa dan merasa terhina mendengar laporan itu. Ia sangat marah dan berniat untuk menyerang Kerajaan Gasib.

Sementara itu, Raja Gasib telah mempersiapkan pasukan perang kerajaan untuk menghadapi serangan yang mungkin terjadi, karena ia sangat mengenal sifat Raja Aceh yang angkuh itu. Panglima Gimpam memimpin penjagaan di Kuala Gasib, yaitu daerah di sekitar Sungai Siak.

Rupanya segala persiapan Kerajaan Gasib diketahui oleh Kerajaan Aceh. Melalui seorang mata-matanya, Raja Aceh mengetahui Panglima Gimpam yang gagah perkasa itu berada di Kuala Gasib. Oleh sebab itu, Raja Aceh dan pasukannya mencari jalan lain untuk masuk ke negeri Gasib. Maka dibujuknya seorang penduduk Gasib menjadi penunjuk jalan.

“Hai, orang muda! Apakah kamu penduduk negeri ini?, tanya pengawal Raja Aceh kepada seorang penduduk Gasib. “Benar, Tuan!” jawab pemuda itu singkat. “Jika begitu, tunjukkan kepada kami jalan darat menuju negeri Gasib!” desak pengawal itu. Karena mengetahui pasukan yang dilengkapi dengan senjata itu akan menyerang negeri Gasib, pemuda itu menolak untuk menunjukkan mereka jalan menuju ke Gasib. Ia tidak ingin menghianati negerinya. “Maaf, Tuan! Sebenarnya saya tidak tahu seluk-beluk negeri ini,” jawab pemuda itu. Merasa dibohongi, pengawal Raja Aceh tiba-tiba menghajar pemuda itu hingga babak belur. Karena tidak tahan dengan siksaan yang diterimanya, pemuda itu terpaksa memberi petunjuk jalan darat menuju ke arah Gasib.

Berkat petunjuk pemuda itu, maka sampailah prajurit Aceh di negeri Gasib tanpa sepengetahuan Panglima Gimpam dan anak buahnya. Pada saat prajurit Aceh memasuki negeri Gasib, mereka mulai menyerang penduduk. Raja Gasib yang sedang bercengkerama dengan keluarga istana tidak mengetahui jika musuhnya telah memporak-porandakan kampung dan penduduknya. Ketika prajurit Aceh menyerbu halaman istana, barulah Raja Gasib sadar, namun perintah untuk melawan sudah terlambat.

Semua pengawal yang tidak sempat mengadakan perlawanan telah tewas di ujung rencong (senjata khas Aceh) prajurit Aceh. Dalam sekejap, istana berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Raja Gasib tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan para pengawalnya tewas satu-persatu dibantai oleh prajurit Aceh. Putri Kaca Mayang yang cantik jelita itu pun berhasil mereka bawa lari.

Panglima Gimpam yang mendapat laporan bahwa istana telah dikuasai prajurit Aceh, ia bersama pasukannya segera kembali ke istana. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Panglima Gimpam sangat marah dan bersumpah untuk membalas kekalahan Kerajaan Gasib dan berjanji akan membawa kembali Putri Kaca Mayang ke istana.

Pada saat itu pula Panglima Gimpam berangkat ke Aceh untuk menunaikan sumpahnya. Dengan kesaktiannya, tak berapa lama sampailah Panglima Gimpam di Aceh. Prajurit Aceh telah mempersiapkan diri menyambut kedatangannya. Mereka telah menyiapkan dua ekor gajah yang besar untuk menghadang Panglima Gimpam di gerbang istana. Ketika Panglima Gimpam tiba di gerbang istana, ia melompat ke punggung gajah besar itu. Dengan kesaktian dan keberaniannya, dibawanya kedua gajah yang telah dijinakkan itu ke istana untuk diserahkan kepada Raja Aceh.

Raja Aceh sangat terkejut dan takjub melihat keberanian dan kesaktian Panglima Gimpam menjinakkan gajah yang telah dipersiapkan untuk membunuhnya. Akhirnya Raja Aceh mengakui kesaktian Panglima Gimpam dan diserahkannya Putri Kaca Mayang untuk dibawa kembali ke istana Gasib.

Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa Putri Kaca Mayang yang sedang sakit itu ke Gasib. Dalam perjalanan pulang, penyakit sang Putri semakin parah. Angin yang begitu kencang membuat sang Putri susah untuk bernapas. Sesampainya di Sungai Kuantan, Putri Kaca Mayang meminta kepada Panglima Gimpam untuk berhenti sejenak. “Panglima! Aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini.

Tolong sampaikan salam dan permohonan maafku kepada keluargaku di istina Gasib,” ucap sang Putri dengan suara serak. Belum sempat Panglima Gimpam berkata apa-apa, sang Putri pun menghembuskan nafas terakhirnya. Panglima Gimpam merasa bersalah sekali, karena ia tidak berhasil membawa sang Putri ke istana dalam keadaan hidup. Dengan diliputi rasa duka yang mendalam, Panglima Gimpam melanjutkan perjalanannya dengan membawa jenazah Putri Kaca Mayang ke hadapan Raja Gasib.

Sesampainya di istana Gasib, kedatangan Panglima Gimpam yang membawa jenazah sang Putri itu disambut oleh keluarga istana dengan perasaan sedih. Seluruh istana dan penduduk negeri Gasib ikut berkabung. Tanpa menunggu lama-lama, jenazah Putri Kaca Mayang segera dimakamkan di Gasib. Sejak kehilangan putrinya, Raja Gasib sangat sedih dan kesepian. Semakin hari kesedihan Raja Gasib semakin dalam. Untuk menghilangkan bayangan putri yang amat dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan untuk meninggalkan istana dan menyepi ke Gunung Ledang, Malaka.

Untuk sementara waktu, pemerintahan kerajaan Gasib dipegang oleh Panglima Gimpam. Namun, tak berapa lama, Panglima Gimpam pun berniat untuk meninggalkan kerajaan itu. Sifatnya yang setia, membuat Panglima Gimpam tidak ingin menikmati kesenangan di atas kesedihan dan penderitaan orang lain. Ia pun tidak mau mengambil milik orang lain walaupun kesempatan itu ada di depannya.

Akhirnya, atas kehendaknya sendiri, Panglima Gimpam berangkat meninggalkan Gasib dan membuka sebuah perkampungan baru, yang dinamakan Pekanbaru. Hingga kini, nama itu dipakai untuk menyebut nama ibukota Provinsi Riau yaitu Kota Pekanbaru. Sementara, makam Panglima Gimpam masih dapat kita saksikan di Hulu Sail, sekitar 20 km dari kota Pekanbaru.

* * *

Cerita rakyat di atas tidak hanya mengandung nilai-nilai sejarah, tetapi juga mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai moral tersebut adalah sifat setia dan tidak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kedua sifat tersebut tercermin pada sifat Panglima Gimpam. Kesetiaan Panglima Gimpam ditunjukkan pada sifatnya yang tidak mau bersenang-senang di atas penderitaan rajanya, Raja Gasib. Ia tidak mau menikmati segala kesenangan dan kemewahan yang ada dalam istana, sementara rajanya hidup menderita dan dirundung perasaan sedih, karena ditinggal mati oleh putri tercintanya. Di samping itu, Panglima Gimpam juga merasa bahwa ia tidak berhak untuk menikmati segala kemewahan itu, karena bukan hak miliknya.

Dalam kehidupan orang Melayu, hak dan milik, baik dimiliki pribadi, masyarakat, atau penguasa sangatlah dijunjung tinggi. Orang tua-tua Melayu mengatakan, “yang hak berpunya, yang milik bertuan.” Dalam ungkapan adat juga disebutkan, “hak orang kita pandang, milik orang kita kenang, pusaka orang kita sandang,” yang maksudnya adalah hak dan milik orang wajib dipandang, dikenang, dipelihara, dihormati, dan dijunjung tinggi. Merampas dan menguasai hak milik orang secara tidak halal atau tidak sah, oleh orang tua-tua Melayu dianggap sebagai perbuatan terkutuk dan diyakini akan dilaknat oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan ungkapan adat Melayu yang mengatakan:

apa tanda orang terkutuk,
mengambil milik orang lain ia kemaruk

apa tanda orang celaka,
mengambil hak orang lain semena-mena

Orang tua-tua Melayu juga senantiasa mengingatkan kepada anak kemenakan ataupun anggota masyarakatnya, agar tidak menuruti hawa nafsu, menjauhkan sifat loba dan tamak terhadap harta. Kalaupun memiliki harta benda, hendaknya dipelihara dengan baik dan benar supaya dapat memberikan manfaat bagi kehidupan di dunia dan di akhirat. Tennas Effendy dalam bukunya “Tunjuk Ajar Melayu” banyak menyebutkan tentang kemuliaan memelihara dan memanfaatkan hak milik, baik dalam bentuk ungkapan, syair, maupun pantun. Dalam bentuk ungkapan di antarnya:

apa tanda Melayu jati,
hak miliknya ia cermati
hak milik orang lain ia hormati

apa tanda Melayu jati,
memanfaatkan hak milik berhati-hati

apa tanda Melayu bertuah,
hak milik orang ia pelihara
hak milik diri ia jaga
hak milik bersama ia bela

Dalam untaian syair dikatakan:

wahai ananda buda berpesan,
harta orang engkau haramkan
milik orang engkau peliharakan
hak orang engkau muliakan

Dalam untaian pantun juga dikatakan:

buah barangan masak setangkai
patah tangkai jatuh ke tanah
harta orang jangan kau pakai
salah memakai masuk pelimbah

(SM/sas/27/9-07)

Sumber :

* Diringkas dari Puteri Kaca Mayang: Asal-Mula Kota Pekanbaru.
* Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu.
* Indonesian Community. Sejarah Berdirinya Kota Pekanbaru.
* Anonim. Profil Kabupaten/Kota: Kota Pekanbaru Riau.

 

Demikianlah artikel dari dunipendidikan.co.id mengenai Cerita Rakyat Riau : Si Lancang Kuning, Putri Tujuh, Asal Kota Dumai, Pulau Senua, Batu Bantakup, Legenda Puti Mambang Linau, Hang Tuah, Putri Kaca Mayang, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.

 

Sponsor :

  1. https://officialjimbreuer.com/
  2. https://memphisthemusical.com/
  3. https://votizen.com/
  4. https://timeisillmatic.com/
  5. https://boutiquevestibule.com/
  6. https://thinknext.net/
  7. https://ariatemplates.com/
  8. https://worldbeforeher.com/
  9. https://bootb.com/
  10. https://excite.co.id/
  11. https://www.mobifrance.com/
Posting pada SD