Sejarah Putri Cempaka
Alkisah pada zaman dahulu, di daerah Bengkulu Tinggi, ada sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sungai Serut. Ratu Agung, seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit, adalah pendiri serta raja pertama Kerajaan Sungai Serut. Konon, Dia adalah penjelmaan dewa dari Gunung Bungkuk yang bertugas mengatur kehidupan di bumi.
Ratu Agung memerintah Kerajaan Sungai Serut sangat arif dan bijaksana. Dia sangat disegani oleh rakyatnya, walaupun rakyat yang dipimpinnya adalah bangsa Rejang Sawah yang mempunyai perawakan tinggi besar.
Ratu Agung memiliki 6 orang putra dan seorang putri. Ke-6 putra Ratu Agung merupakan Kelamba Api atau Raden Cili, Manuk Mincur, Lemang Batu, Tajuk Rompong, Rindang Papan, Anak Dalam, dan yang paling bungsu ialajh seorang putri bernama Putri Gading Cempaka.
Menurut cerita, kerajaan Sungai Serut menjadi terkenal sampai ke berbagai negeri bukan karena kepemimpinan Ratu Agung, namun juga oleh kecantikan Putri Gading Cempaka. Walau usia Putri Gading Cempaka baru beranjak remaja, tapi kecantikan wajahnya telah terlihat nampak mempesona bagai bidadari. Sudah banyak pangeran datang untuk meminangnya, tapi Ratu Agung menolak semuanya karena sang Putri masih belum cukup umur.
Waktu cepat berlalu Putri Gading Cempaka tumbuh menjadi gadis dewasa. Sama juga Ratu Agung yang sekarang menua usianya. Suatu ketika, Ratu Agung mengalami sakit keras. Dia mendapat firasat bahwa usianya sudah tak lama lagi. Maka, sang Raja juga mengumpulkan ke-7 putra-putrinya untuk menyampaikan wasiat pada mereka.
Wahai, anak-anakku Sepertinya Hidup Ayahanda takkan lama lagi hidup di dunia. Oleh karenanya, Ayahanda menitipkan 2 wasiat pada kalian, kata kata Agung kepada putra-putrinya.
Mendengar perkataan ayahandanya itu , wajah putra-putrinya menjadi sedih, terutama si Putri Gading Cempaka. Dia tak bisa menahan perasaan sedihnya mendengar perkataan sang Ayah. Perlahan-lahan air matanya menetes membasahi pipinya.
Ayah jangan berkata seperti tu. Kami tidak mau kehilangan Ayah. Putri Gading Cempaka menangis terisak-isak dengan merangkul ayahandanya.
Putriku tersayang, ajal kita semua ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa Kita tidak akan bosa menahan kalau ajal sudah tiba. kata Raja Ratu Agung berusaha menenangkan hati putrinya.
Ayahanda mereka lalu menyampaikan wasiatnya, Demi menjunjung tinggi rasa keadilan, kedamaian, serta ketenteraman di negeri ini, Ayah menyerahkan tahta Kerajaan Sungai Serut pada putraku Anak Dalam. Ayah berharap kalian semua tetap bersatu baik dalam suka ataupun duka. Dan seandainya suatu saat nanti Kerajaan Sungai Serut ditimpa musibah besar, Ayah minta kalian pergilah ke Gunung Bungkuk. Nanti di Gunung Bungkuk akan datang seorang raja yang berjodoh dengan anak gadisku tercinta, Putri Gading Cempaka.“
Penyerahan tahta Kerajaan Sungai Serut pada Anak Dalam bisa diterima oleh putra-putrinya dengan baik. Ke-5 saudara tuanya sama sekali tidak mempunyai rasa iri hati. Malah, mereka sangat mendukung dipilihnya Anak Dalam sebagai pewaris tahta.
Beberapa hari kemudian, Raja Ratu Agung menghembuskan nafas terakhirnya Semua negeri pun berduka-cita. Hati Putri Gading Cempaka hancur berkeping-keping tak rela melepas kepergian ayahandanya. Tapi, sang Putri hanya bisa pasrah dan berdoa supaya ayahandanya mendapat ketenangan di alam kubur.
Anak Dalam lalu dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Seperti ayahnya, Raja Anak Dalam merupakan seorang pemimpin adil bijaksana. Dia dan ke-6 saudaranya selalu hidup rukun damai. Dalam waktu singkat, kemasyhurannya juga tersebar ke berbagai negeri. Selain itu, kecantikan Putri Gading Campaka semakin membuat Kerajaan Sungai Serut semakin dikenal. Sudah banyak bangsawan ataupun pangeran datang meminangnya, tapi belum satu pun pinangan yang diterima.
Suatu hari, datanglah seorang putra mahkota dari Kerajaan Aceh bernama Pangeran Raja Muda Aceh mau meminang Putri Gading Cempaka. Sang Pangeran datang bersama pasukannya memakai kapal layar. Sesampai di pelabuhan Bangkahulu, sang Pangeran mengutus beberapa penasehatnya ke istana Kerajaan Sungai Serut untuk menyampaikan pinangannya pada Raja Anak Dalam.
Mohon ampun, Baginda Raja Anak Dalam Kami merupakan utusan Pangeran Raja Muda Aceh dari Kerajaan Aceh. Saat ini beliau sedang menunggu di atas kapal yang sedang bersandar di dermaga, kata salah seorang utusan seraya memberi hormat.
Apa yang dapat saya bantu untuk Pangeran kalian? kata Raja Anak Dalam.
Sebenarnya maksud kedatangan kami ke sini ialah untuk menyampaikan pinangan Pangeran Raja Muda Aceh pada Putri Gading Cempaka. kata sang utusan.
Raja Anak dalam tidak ingin mengambil keputusan sendiri. Dia mengajak saudara-saudaranya untuk membicarakan masalah itu. Sementara itu, para utusan diminta untuk menunggu sebentar. Tak berapa lama kemudian, mereka pun kembali menemui para utusan Pangeran Raja Muda untuk menyampaikan hasil mufakat yang sudah mereka putuskan.
Maafkan kami, wahai utusan Pangeran Raja Muda Aceh Kami memutuskan untuk tak menerima pinangan Pangeran Raja Muda Aceh. ucap Raja Anak Dalam.
Jawaban Raja Anak Dalam membuat para para utusan Pangeran Aceh kaget. Dengan perasaan kecewa, mereka langsung kembali ke dermaga untuk melapor kepada Raja Muda Aceh. Betapa marahnya Pangeran dari Tanah Rencong itu ketika mendengar laporan itu.
Sangat keterlaluan! Mereka berani menolak pinanganku?! ucap Raja Muda Aceh geram.
Merasa dikecewakan, Pangeran Muda Aceh menjadi murka. Dia langsung menantang Raja Anak Dalam untuk berperang. Perang besar antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Sungai Serut akhirnya tak dapat terhindarkan. Perang akhirnya berlangsung sampai berhari-hari dengan memakan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak. Perang terus berkecamuk Mayat-mayat yang sudah berhari-hari bergelimpangan tak terurus kemudian membusuk.
Raja Anak Dalam dan seluruh pasukannya merasa sudah tak tahan lagi dengan peperangan itu. Mereka juga sudah tak sanggup menahan bau busuk mayat para prajurit yang gugur. Saat itulah, sang Raja ingat pada wasiat ayahandanya.
Wahai saudara-saudaraku! Sesuai dengan pesan ayahanda bahwa kalau Kerajaan Sungai Serut sudah tidak aman, kita dianjurkan untuk menyingkir ke Gunung Bungkuk, ucap Raja Anak Dalam.
Akhirnya, Raja Anak Dalam dan ke-6 saudaranya langsung pergi menuju Gunung Bungkuk. Sedangkan , Pangeran Raja Muda Aceh dan pasukannya yang masih hidup kembali ke Tanah Rencong tanpa membawa hasil.
Sepeninggal Raja Anak Dalam Ke Gunung Bungkuk, Kerajaan Sungai Serut jadi kacau. Mendengar kabar kekosongan kekuasaan di Kerajaan Sungai Serut, datanglah 5 bangsawan Lebong Balik Bukit untuk menjadi raja di sana. Tapi, setelah berhasil menguasai negeri itu, mereka malah saling bertikai karena memperebutkan wilayah kekuasaan. Menurut cerita, pertikaian ke-4 bangsawan itu didamaikan oleh Maharaja Sakti, seorang pengelana dari Kerajaan Pagaruyung. Dia adalah seorang utusan Kerajaan Pagaruyung, kerajaan di Minangkabau yang diperintah oleh Seri Maharaja Diraja.
Akhirnya, ke-4 bangsawan itu langsung menghadap Sultan Pagaruyung untuk memohon supaya Maharaja Sakti yang adil dan bijaksana itu diangkat menjadi raja di Kerajaan Sungai Serut. Permohonan mereka dikambulkan. Upacara penobatan Maharaja Sakti pun dilakukan di balairung Kerajaan Pagaruyung. Sejak saat itu Kerajaan Sungai Serut berganti nama jadi Kerajaan Bangkahulu.
Sesudah dinobatkan menjadi Raja Bangkahulu, Baginda Maharaja Sakti berangkat menuju ke Bangkahulu, bersama dengan ratusan pengawal. Ke-5 bangsawan yang tadinya bertikai pun ikut mengiringi sang Raja. Sesampainya di sana, upacara penobatan sebagai raja di Kerajaan Bangkahulu uga sudah disiapkan. Tapi, saat upacara akan dimulai, tiba-tiba langit berubah menjadi gelap, kemudian turunlah hujan sangat deras diiringi angin kencang. Atas kesepakatan bersama, upacara penobatan akhirnya ditunda sampai cuaca kembali cerah. Tapi, sampai malam hari, hujan dan badai tak kunjung berhenti.
Pada Malam harinya, Baginda Maharaja Sakti bermimpi melihat seorang bidadari sedang menari-nari ketika sedang hujan badai. Ajaibnya, tidak sedikit pun tubuh si bidadari basah terkena air hujan. Sang Bidadari lalu pergi menuju ke Gunung Bungkuk. Keesokan harinya, Baginda Maharaja Sakti menceritakan tentang mimpinya pada ke-4 bangsawan. Para bangsawan lalu meminta seorang peramal untuk menafsirkan mimpi itu.
Ampun, Baginda. Ternyata, bidadari cantik yang ada di dalam mimpi Baginda ialah Putri Gading Cempaka, putri penguasa wilayah ini di masa lalu. Sekarang, dia tinggal di Gunung Bungkuk bersama ke-6 saudaranya. Kalau Baginda bisa membawa Sang Putri kembali kemari, maka Baginda akan membawa kerajaan ini kembali akan menjadi sebuah kerajaan yang kuat. Menurut ramalan hamba, Putri Gading Cempaka nant akan menurunkan raja-raja di negeri ini, kata si peramal.
Mendengar penjelasan si peramal, sang Baginda juga berniat meminang Putri Gading Cempaka. Dia kemudian mengutus ke-4 bangsawan dan beberapa pengawalnya untuk menjemput Putri Gading Cempaka di Gunung Bungkuk. Sesampainya di sana, mereka menghadap Raja Anak Dalam.
Ampun, Baginda! Kami merupakan utusan dari Tuanku Baginda Maharaja Sakti. Beliau ialah penguasa Kerajaan Bangkahulu yang dahulunya adalah Kerajaan Sungai Serut. Atas titah beliau, hamba diminta untuk menjemput Tuanku Putri Gading Cempaka dan tuan-tuan semua. Baginda Maharaja Sakti bermaksud mengangkat Tuanku Putri Gading Cempaka menjadi permaisuri di Negeri Bangkahulu, kata para utusan.
Raja Anak Dalam bersama saudara-saudaranya juga menerima pinangan Maharaja Sakti sesuai dengan wasiat ayah mereka. Akhirnya, pesta pernikahan Putri Gading Cempaka dengan Maharaja Sakti juga dilangsungkan di Bangkahulu. Pesta berlangsung meriah sebab bersamaan dengan upacara penobatan Maharaja Sakti menjadi raja di Negeri Bangkahulu.
Sesudah menikah, dibangunlah istana baru yang megah sebagaipusat pemerintahan. Oleh karena letak istana itu ada di Kuala Sungai Lemau,maka kerajaan tersebut berganti nama menjadi Kerajaan Sungai Lemau. BagindaMaharaja Sakti memimpin kerajaan Sungai Lemau dengan arif dan bijaksana. Dia danpermaisurinya, Putri Gading Cempaka, hidup bahagia.
Unsur Instrik Putri Gading Cempaka
-
Putri Gading Cempaka
Putri Gading Cempaka adalah putri bungsu Raja Ratu Agung yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Menurut cerita, Putri Cempaka adalah leluhur dari raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Sungai Lemau, Bengkulu Utara. Bagaimana kisah selengkapnya? Ikuti dalam cerita Putri Gading Cempaka berikut ini.
Dahulu, di daerah Bengkulu Tinggi yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Bengkulu, pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sungai Serut. Pendiri sekaligus raja pertama kerajaan ini bernama Ratu Agung, yaitu seorang pangeran yang berasal dari Kerajaan Majapahit di Jawa. Konon, ia merupakan penjelmaan dewa dari Gunung Bungkuk yang bertugas mengatur kehidupan di bumi. Ratu Agung memerintah negeri itu dengan arif dan bijaksana. Walaupun rakyat yang diperintahnya adalah bangsa Rejang Sawah yang memiliki perawakan tinggi, tegap, dan besar, ia tetap sebagai raja yang disegani oleh seluruh rakyatnya.
Ratu Agung mempunyai enam orang putra dan seorang putri. Keenam putra tersebut adalah Kelamba Api atau Raden Cili, Manuk Mincur, Lemang Batu, Tajuk Rompong, Rindang Papan, Anak Dalam, dan yang paling bungsu adalah seorang putri bernama Putri Gading Cempaka. Menurut cerita, kerajaan ini menjadi terkenal hingga ke berbagai negeri bukan saja karena kepemimpinan Ratu Agung, tetapi juga oleh kecantikan Putri Gading Cempaka. Meskipun usianya baru beranjak remaja, keelokan paras sang Putri sudah terlihat sangat jelas, anggun dan mempesona bagai bidadari. Sudah banyak pangeran yang datang meminangnya, namun semuanya ditolak oleh Ratu Agung karena sang Putri masih belum cukup umur.
Seiring berjalannya waktu, Putri Gading Cempaka pun tumbuh menjadi gadis dewasa. Demikian pula Ratu Agung yang kian menua usianya. Suatu hari, penguasa Kerajaan Sungai Serut itu sakit keras. Ia mendapat firasat bahwa ajalnya tidak lama lagi tiba. Maka, sang Raja pun mengumpulkan ketujuh putra-putrinya untuk menyampaikan wasiat kepada mereka.
“Wahai, anak-anakku. Ayahanda takkan lama lagi hidup di dunia ini. Maka sebelum itu, Ayahanda akan menitipkan dua wasiat kepada kalian,” kata sang Ayah dengan suara lirih.
Mendengar perkataan itu, wajah ketujuh anak raja itu mendadak lesu, terutama Putri Gading Cempaka. Ia tak bisa menahan perasaan sedihnya mendengar ucapan sang Ayah. Perlahan-lahan air matanya pun berderai membasahi pipinya yang kemerah-merahan.
“Ayah jangan berkata begitu. Kami tidak ingin kehilangan Ayah,” isak Putri Gading Cempaka seraya merangkul ayahandanya.
“Sudahlah, Putriku. Semua ini sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ajal kita semua ada di tangan-Nya. Kita tidak kuasa menahan jika ajal itu datang,” ujar Raja Ratu Agung menengkan hati putrinya. Raja yang arif dan bijaksana itu kemudian menyampaikan wasiatnya.
“Demi menjunjung tinggi rasa keadilan, kedamaian, dan ketenteraman di negeri ini, Aku mewasiatkan tahta Kerajaan Sungai Serut ini kepada putraku Anak Dalam. Aku berharap agar kalian semua tetap bersatu baik dalam suka maupun duka,“ ujar Ratu Agung kepada putra-putrinya seraya melanjutkan wasiatnya yang kedua, “Sekiranya negeri Sungai Serut ditimpa musibah besar dan tidak bisa lagi dipertahankan, menyingkirlah kalian ke Gunung Bungkuk. Kelak di sana akan datang seorang raja yang berjodoh dengan anak gadisku tercinta, Putri Gading Cempaka.”
Wasiat tentang tahta Kerajaan Sungai Serut itu pun diterima oleh Anak Dalam tanpa ada ada rasa iri hati dari kelima saudara tuanya. Bahkan, mereka sangat mendukung dipilihnya Anak Dalam sebagai pewaris tahta. Selang beberapa hari kemudian, Raja Ratu Agung pun menghembuskan nafas terakhirnya. Seluruh negeri pun berduka-cita. Putri Gading Cempaka seolah tidak rela melepas kepergian ayahanda yang amat dicintainya itu. Namun, sang Putri pun hanya bisa pasrah dan berdoa agar ayahandanya mendapat ketenangan di alam kubur.
Anak Dalam kemudian dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Namun, nama kerajaan itu kini bernama Kerajaan Bangkahulu. Seperti ayahnya, Raja Anak Dalam adalah pemimpin yang arif sehingga ia dan keenam saudaranya senantiasa hidup rukun dan damai. Dalam waktu singkat, kemasyhurannya pun tersebar ke berbagai negeri. Selain itu, kecantikan Putri Gading Campaka semakin membuat negeri kian dikenal. Sudah banyak bangsawan maupun pangeran yang datang meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang diterima.
Suatu hari, datanglah seorang putra mahkota dari Kerajaan Aceh bernama Pangeran Raja Muda Aceh hendak meminang sang Putri. Pangeran itu datang bersama segenap hulubalangnya dengan menggunakan kapal layar. Setiba di pelabuhan Bangkahulu, sang Pangeran mengutus beberapa penasehatnya ke istana untuk menyampaikan pinangannya kepada Raja Anak Dalam.
“Ampun, Baginda. Hamba adalah utusan Pangeran Raja Muda Aceh dari Kerajaan Aceh. Saat ini beliau menunggu di atas kapal yang sedang bersandar di dermaga,” kata salah seorang utusan seraya memberi hormat.
“Apa yang bisa saya bantu untuk Pangeran kalian?” tanya Raja Anak Dalam.
“Sebenarnya kedatangan hamba ke mari untuk menyampaikan pinangan tuan kami kepada Putri Gading Cempaka,” jawab utusan itu.
Raja Anak dalam tidak mau mengambil keputusan sendiri. Ia mengajak semua saudaranya untuk membicarakan masalah tersebut. Sementara itu, para utusan diminta untuk menunggu sejenak. Tak berapa lama kemudian, mereka pun kembali menemui para utusan untuk menyampaikan hasil mufakat yang telah mereka putuskan.
“Maafkan kami, wahai utusan. Pinangan Tuan kalian belum dapat kami kabulkan,” kata Raja Anak Dalam.
Serentak para utusan itu terkejut. Dengan perasaan kecewa, mereka segera kembali ke dermaga untuk melapor kepada Raja Muda Aceh. Betapa murkanya Pangeran dari Tanah Rencong itu saat mendengar laporan tersebut.
“Apa?! Mereka menolak pinanganku?!” kata Raja Muda Aceh geram.
Merasa dikecewakan, Raja Muda Aceh menjadi marah dan menantang Raja Anak Dalam untuk berperang. Perang besar tak terhindarkan dan berlangsung hingga berhari-hari dengan banyak korban jiwa yang berjatuhan. Perang terus berkecamuk. Mayat-mayat yang sudah berhari-hari bergelimpangan tanpa terurus mulai membusuk. Raja Anak Dalam dan seluruh pasukannya tidak tahan lagi menahan bau busuk tersebut. Saat itulah, sang Raja teringat pada wasiat ayahandanya.
“Wahai saudara-saudaraku! Sesuai dengan pesan ayahanda bahwa jika negeri ini sudah tidak aman lagi, kita disarankan untuk menyingkir ke Gunung Bungkuk,” kata Raja Anak Dalam.
Akhirnya, Raja Anak Dalam serta keenam saudaranya segera menarik diri menuju Gunung Bungkuk. Sementara itu, Pangeran Raja Muda Aceh bersama pasukannya yang masih hidup kembali ke Tanah Rencong tanpa membawa hasil.
Sepeninggal para pemimpinnya, Kerajaan Bangkahulu menjadi kacau. Mendengar kabar tersebut, datanglah empat pasirah (bangsawan) Lebong Balik Bukit untuk menjadi raja di sana. Namun, setelah berhasil menguasai negeri tersebut, mereka malah saling bertikai karena memperebutkan wilayah kekuasaan.
Menurut cerita, pertikaian keempat pasirah tersebut didamaikan oleh Maharaja Sakti. Ia adalah utusan Kerajaan Pagaruyung, kerajaan di Minangkabau yang diperintah oleh Seri Maharaja Diraja, untuk berkelana. Akhirnya, keempat pasirah tersebut segera menghadap Sultan Pagaruyung untuk memohon agar Maharaja Sakti yang adil dan bijaksana itu diangkat menjadi raja di Bangkahulu. Permohonan mereka dikambulkan. Upacara penobatan Maharaja Sakti pun dilaksanakan di balairung Kerajaan Pagaruyung.
Setelah itu, Baginda Maharaja Sakti berangkat menuju ke Bangkahulu dengan diiringi oleh ratusan pengawal dan juga oleh keempat pasirah. Setiba di sana, upacara penobatan sebagai raja di negeri itu pun telah disiapkan. Namun, ketika upacara itu akan dimulai, tiba-tiba langit menjadi gelap, lalu turunlah hujan yang sangat deras disertai angin kencang. Atas kesepakatan bersama, upacara itu akhirnya ditunda sambil menunggu cuaca kembali cerah. Namun, hingga malam hari, hujan dan badai tak kunjung berhenti.
Malam itu, Baginda Maharaja Sakti bermimpi melihat seorang bidadari sedang menari-nari di tengah hujan badai. Ajaibnya, tak sedikit pun tubuh bidadari itu basah terkena air hujan. Bidadari itu kemudian menuju ke Gunung Bungkuk. Keesokan harinya, Baginda Maharaja Sakti menceritakan perihal mimpinya kepada keempat pasirah yang kemudian meminta seorang peramal untuk menafsirkan mimpi tersebut.
“Ampun, Baginda. Ternyata, bidadari cantik yang ada di dalam mimpi Baginda adalah Putri Gading Cempaka, putri penguasa wilayah ini di masa lalu. Kini, ia tinggal di Gunung Bungkuk bersama keenam saudaranya. Jika Baginda bisa membawanya ke sini, Baginda akan mendirikan negeri ini tegak kembali dengan selamat. Menurut ramalan hamba, Putri Gading Cempaka kelak akan menurunkan raja-raja di negeri ini,” ungkap peramal itu.
Mendengar keterangan tersebut, sang Baginda pun berhasrat meminang sang Putri. Ia lalu mengutus keempat pasirah dan beberapa pengawalnya untuk menjemput Putri Gading Cempaka di Gunung Bungkuk. Setiba di sana, mereka menghadap Raja Anak Dalam dan semua saudaranya.
“Ampun, Baginda! Kami adalah utusan dari Tuanku Baginda Maharaja Sakti. Atas titah beliau, hamba diminta untuk menjemput Tuanku Putri Gading Cempaka beserta tuan-tuan sekalian. Baginda Maharaja Sakti bermaksud mengangkat Tuanku Putri Gading Cempaka menjadi permaisuri di Negeri Bangkahulu,” ungkap para utusan itu.
Raja Anak Dalam bersama saudara-saudaranya pun menerima pinangan Maharaja Sakti sesuai dengan wasiat ayah mereka. Akhirnya, pesta pernikahan Putri Gading Cempaka dengan Maharaja Sakti pun dilangsungkan di Bangkahulu. Pesta berlangsung meriah karena bersamaan dengan upacara penobatan Maharaja Sakti menjadi raja di Negeri Bangkahulu.
Setelah menikah, dibangunlah istana baru yang megah sebagai pusat pemerintahan. Oleh karena letak istana itu berada di Kuala Sungai Lemau, maka kerajaan itu pun berganti nama menjadi Kerajaan Sungai Lemau. Baginda Maharaja Sakti memimpin kerajaan itu dengan arif dan bijaksana. Ia dan permaisurinya pun hidup bahagia. Begitulah kisah Putri Gading Cempaka yang telah menurunkan raja-raja Kerajaan Sungai Lemau.
Demikian ceria Putri Gading Cempaka dari Bengkulu. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah anak yang taat kepada nasehat orangtua seperti Putri Gading Cempaka dan saudara-saudaranya pada akhirnya mendapat kebahagiaan.
Legenda Putri Cempaka
ALKISAH pada zaman dahulu, di daerah Bengkulu Tinggi, pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sungai Serut. Ratu Agung, seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit, merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Sungai Serut. Konon, ia merupakan penjelmaan dewa dari Gunung Bungkuk yang bertugas mengatur kehidupan di bumi.
Ratu Agung memerintah Kerajaan Sungai Serut dengan arif bijaksana. Ia sangat disegani oleh rakyatnya, meskipun rakyat yang dipimpinnya adalah bangsa Rejang Sawah yang memiliki perawakan tinggi besar.
Ratu Agung mempunyai enam orang putra dan seorang putri. Keenam putra Ratu Agung adalah Kelamba Api atau Raden Cili, Manuk Mincur, Lemang Batu, Tajuk Rompong, Rindang Papan, Anak Dalam, dan yang paling bungsu adalah seorang putri bernama Putri Gading Cempaka.
Menurut cerita, kerajaan Sungai Serut menjadi terkenal hingga ke berbagai negeri bukan saja karena kepemimpinan Ratu Agung, tetapi juga oleh kecantikan Putri Gading Cempaka. Meski usia Putri Gading Cempaka baru beranjak remaja, namun kecantikan wajahnya sudah terlihat nampak mempesona bagai bidadari. Sudah banyak pangeran datang untuk meminangnya, namun Ratu Agung menolak semuanya karena sang Putri masih belum cukup umur.
Seiring berjalannya waktu, Putri Gading Cempaka tumbuh menjadi gadis dewasa. Demikian pula Ratu Agung yang kian menua usianya. Suatu hari, Ratu Agung mengalami sakit keras. Ia mendapat firasat bahwa usianya sudah tidak akan lama lagi. Maka, sang Raja pun mengumpulkan ketujuh putra-putrinya untuk menyampaikan wasiat kepada mereka.
“Wahai, anak-anakku. Sepertinya Ayahanda takkan lama lagi hidup di dunia. Oleh karenanya, Ayahanda menitipkan dua wasiat kepada kalian,” kata Ratu Agung kepada putra-putrinya.
Mendengar perkataan ayahandanya, wajah putra-putrinya menjadi sedih, terutama Putri Gading Cempaka. Ia tak bisa menahan perasaan sedihnya mendengar ucapan sang Ayah. Perlahan-lahan air matanya pun menetes membasahi pipinya.
Simak juga: Legenda Ular Kepala Tujuh dalam Cerita Rakyat Bengkulu
“Ayah jangan berkata begitu. Kami tidak ingin kehilangan Ayah.” Putri Gading Cempaka menangis terisak-isak seraya merangkul ayahandanya.
“Putriku tersayang, ajal kita semua ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita tidak akan mampu menahan jika ajal telah tiba.” ujar Raja Ratu Agung berusaha menenangkan hati putrinya.
Ayahanda mereka kemudian menyampaikan wasiatnya, “Demi menjunjung tinggi rasa keadilan, kedamaian, dan ketenteraman di negeri ini, Ayah menyerahkan tahta Kerajaan Sungai Serut kepada putraku Anak Dalam. Ayah berharap kalian semua tetap bersatu baik dalam suka maupun duka.
Dan seandainya suatu saat nanti Kerajaan Sungai Serut ditimpa musibah besar, Ayah minta kalian menyingkirlah ke Gunung Bungkuk. Kelak di Gunung Bungkuk akan datang seorang raja yang berjodoh dengan anak gadisku tercinta, Putri Gading Cempaka.“
Penyerahan tahta Kerajaan Sungai Serut kepada Anak Dalam dapat diterima oleh putra-putrinya dengan baik. Kelima saudara tuanya sama sekali tidak memiliki rasa iri hati. Bahkan, mereka sangat mendukung dipilihnya Anak Dalam sebagai pewaris tahta.
Beberapa hari kemudian, Raja Ratu Agung menghembuskan napas terakhirnya. Seluruh negeri pun berduka-cita. Hati Putri Gading Cempaka hancur berkeping-keping tidak rela melepas kepergian ayahandanya. Namun, sang Putri hanya bisa pasrah dan berdoa agar ayahandanya mendapat ketenangan di alam kubur.
Anak Dalam kemudian dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Seperti ayahnya, Raja Anak Dalam adalah seorang pemimpin adil bijaksana. Ia beserta keenam saudaranya senantiasa hidup rukun damai. Dalam waktu singkat, kemasyhurannya pun tersebar ke berbagai negeri. Selain itu, kecantikan Putri Gading Campaka semakin membuat Kerajaan Sungai Serut kian dikenal. Sudah banyak bangsawan maupun pangeran datang meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang diterima.
Suatu hari, datanglah seorang putra mahkota dari Kerajaan Aceh bernama Pangeran Raja Muda Aceh hendak meminang Putri Gading Cempaka. Sang Pangeran datang bersama pasukannya menggunakan kapal layar. Setiba di pelabuhan Bangkahulu, sang Pangeran mengutus beberapa penasehatnya ke istana Kerajaan Sungai Serut untuk menyampaikan pinangannya kepada Raja Anak Dalam.
“Mohon ampun, Baginda Raja Anak Dalam. Kami adalah utusan Pangeran Raja Muda Aceh dari Kerajaan Aceh. Saat ini beliau tengah menunggu di atas kapal yang sedang bersandar di dermaga,” kata salah seorang utusan seraya memberi hormat.
“Apa yang bisa saya bantu untuk Pangeran kalian?” tanya Raja Anak Dalam.
“Sebenarnya maksud kedatangan kami ke mari adalah untuk menyampaikan pinangan Pangeran Raja Muda Aceh kepada Putri Gading Cempaka.” jawab sang utusan.
Raja Anak dalam tidak mau mengambil keputusan sendiri. Ia mengajak saudara-saudaranya untuk membicarakan masalah tersebut. Sementara itu, para utusan diminta untuk menunggu sejenak. Tak berapa lama kemudian, mereka pun kembali menemui para utusan Pangeran Raja Muda untuk menyampaikan hasil mufakat yang telah mereka putuskan.
“Maafkan kami, wahai utusan Pangeran Raja Muda Aceh. Kami memutuskan untuk tidak menerima pinangan Pangeran Raja Muda Aceh.” kata Raja Anak Dalam.
Jawaban Raja Anak Dalam membuat para para utusan Pangeran Aceh terkejut. Dengan perasaan kecewa, mereka segera kembali ke dermaga untuk melapor kepada Raja Muda Aceh. Betapa murkanya Pangeran dari Tanah Rencong itu saat mendengar laporan tersebut.
“Sungguh keterlaluan! Mereka berani menolak pinanganku?!” kata Raja Muda Aceh geram.
Merasa dikecewakan, Pangeran Muda Aceh menjadi marah. Ia lantas menantang Raja Anak Dalam untuk berperang. Perang besar antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Sungai Serut akhirnya tak terhindarkan. Perang akhirnya berlangsung hingga berhari-hari dengan memakan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak. Perang terus berkecamuk. Mayat-mayat yang sudah berhari-hari bergelimpangan tanpa terurus mulai membusuk. Menurut cerita rakyat, perang ini menjadi asal usul nama Bengkulu.
Raja Anak Dalam beserta seluruh pasukannya merasa sudah tidak tahan lagi dengan peperangan tersebut. Mereka juga sudah tak sanggup menahan bau busuk mayat para prajurit yang telah gugur. Saat itulah, sang Raja teringat pada wasiat ayahandanya.
Hikayat Puti Gading Cempaka
Legenda Putri Gading Cempaka dalam Cerita Rakyat Bengkulu
ALKISAH pada zaman dahulu, di daerah Bengkulu Tinggi, pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sungai Serut. Ratu Agung, seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit, merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Sungai Serut. Konon, ia merupakan penjelmaan dewa dari Gunung Bungkuk yang bertugas mengatur kehidupan di bumi.
Ratu Agung memerintah Kerajaan Sungai Serut dengan arif bijaksana. Ia sangat disegani oleh rakyatnya, meskipun rakyat yang dipimpinnya adalah bangsa Rejang Sawah yang memiliki perawakan tinggi besar.
Ratu Agung mempunyai enam orang putra dan seorang putri. Keenam putra Ratu Agung adalah Kelamba Api atau Raden Cili, Manuk Mincur, Lemang Batu, Tajuk Rompong, Rindang Papan, Anak Dalam, dan yang paling bungsu adalah seorang putri bernama Putri Gading Cempaka.
Menurut cerita, kerajaan Sungai Serut menjadi terkenal hingga ke berbagai negeri bukan saja karena kepemimpinan Ratu Agung, tetapi juga oleh kecantikan Putri Gading Cempaka. Meski usia Putri Gading Cempaka baru beranjak remaja, namun kecantikan wajahnya sudah terlihat nampak mempesona bagai bidadari. Sudah banyak pangeran datang untuk meminangnya, namun Ratu Agung menolak semuanya karena sang Putri masih belum cukup umur.
Seiring berjalannya waktu, Putri Gading Cempaka tumbuh menjadi gadis dewasa. Demikian pula Ratu Agung yang kian menua usianya. Suatu hari, Ratu Agung mengalami sakit keras. Ia mendapat firasat bahwa usianya sudah tidak akan lama lagi. Maka, sang Raja pun mengumpulkan ketujuh putra-putrinya untuk menyampaikan wasiat kepada mereka.
“Wahai, anak-anakku. Sepertinya Ayahanda takkan lama lagi hidup di dunia. Oleh karenanya, Ayahanda menitipkan dua wasiat kepada kalian,” kata Ratu Agung kepada putra-putrinya.
Mendengar perkataan ayahandanya, wajah putra-putrinya menjadi sedih, terutama Putri Gading Cempaka. Ia tak bisa menahan perasaan sedihnya mendengar ucapan sang Ayah. Perlahan-lahan air matanya pun menetes membasahi pipinya.
“Ayah jangan berkata begitu. Kami tidak ingin kehilangan Ayah.” Putri Gading Cempaka menangis terisak-isak seraya merangkul ayahandanya.
“Putriku tersayang, ajal kita semua ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita tidak akan mampu menahan jika ajal telah tiba.” ujar Raja Ratu Agung berusaha menenangkan hati putrinya.
Ayahanda mereka kemudian menyampaikan wasiatnya, “Demi menjunjung tinggi rasa keadilan, kedamaian, dan ketenteraman di negeri ini, Ayah menyerahkan tahta Kerajaan Sungai Serut kepada putraku Anak Dalam. Ayah berharap kalian semua tetap bersatu baik dalam suka maupun duka. Dan seandainya suatu saat nanti Kerajaan Sungai Serut ditimpa musibah besar, Ayah minta kalian menyingkirlah ke Gunung Bungkuk.
Kelak di Gunung Bungkuk akan datang seorang raja yang berjodoh dengan anak gadisku tercinta, Putri Gading Cempaka.“
Penyerahan tahta Kerajaan Sungai Serut kepada Anak Dalam dapat diterima oleh putra-putrinya dengan baik. Kelima saudara tuanya sama sekali tidak memiliki rasa iri hati. Bahkan, mereka sangat mendukung dipilihnya Anak Dalam sebagai pewaris tahta.
Beberapa hari kemudian, Raja Ratu Agung menghembuskan napas terakhirnya. Seluruh negeri pun berduka-cita. Hati Putri Gading Cempaka hancur berkeping-keping tidak rela melepas kepergian ayahandanya. Namun, sang Putri hanya bisa pasrah dan berdoa agar ayahandanya mendapat ketenangan di alam kubur.
Anak Dalam kemudian dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Seperti ayahnya, Raja Anak Dalam adalah seorang pemimpin adil bijaksana. Ia beserta keenam saudaranya senantiasa hidup rukun damai. Dalam waktu singkat, kemasyhurannya pun tersebar ke berbagai negeri. Selain itu, kecantikan Putri Gading Campaka semakin membuat Kerajaan Sungai Serut kian dikenal. Sudah banyak bangsawan maupun pangeran datang meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang diterima.
demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Cerita Putri Gading Cempaka : Sejarah, Unsur Instrik, Legenda, Hikayat, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.