Cerita Dongeng Sumatera Barat

Diposting pada

Cerita Pak Lebai Malang

Alkisah hiduplah seorang lelaki bernama Pak Lebai ,Dia hidup di tepi sungai, di sebuah desa di Sumatra Barat. Pada suatu hari, dia mendapat undangan pesta dari 2 orang kaya yang diadakan pada hari dan waktu yang bersamaan.

√ Cerita Dongeng Sumatera Barat

Pak Lebai bingung harus mendatangi undangan yang mana, karena kedua undangan mempunyai keuntungan dan kerugian masing-masing. Dia berpikir, kalau dia pergi ke pesta di hulu sungai, tuan rumah akan memberinya hadiah 2 ekor kepala kerbau. Tetapi dia belum begitu kenal dengan tuan rumah tersebut dan masakan orang-orang hulu sungai tak seenak orang hilir sungai. Tapi, kalau pergi ke pesta di hilir sungai, dia akan mendapat hadiah seekor kepala kerbau yang dimasak dengan enak. Dia pun kenal betul dengan tuan rumah itu. Bedanya lagi, tuan rumah di hulu sungai akan memberi tamunya dengan tambahan kue kue yang sangat lezat. Akhirnya, dia mulai mengayuh perahunya, walaupun belum juga bisa memutuskan pesta mana yang akan dipilih.

Dikayuhnya sampan menuju ke hulu sungai. Baru sampai di tengah perjalanan, dia mengubah pikirannya. Dia berbalik mendayung perahunya ke arah hilir. Begitu hendak sampai di hilir sungai, diaia melihat beberapa tamu menuju hulu sungai. Tamu itu mengatakan bahwa kerbau yang disembelih di sana sangat kurus. Dia pun mengubah perahunya menuju ke hulu sungai. Sesampainya di tepi desa hulu sungai, para tamu telah beranjak pulang. Pesta disana telah selesai. Kemudian, dia cepat-cepat mengayuh perahunya menuju desa hilir sungai. Sayangnya, di sana juga pesta telah berakhir.

Kedua pesta sudah berakhir, Pak Lebai hanya tinggal menyesali kenapa dia tak menghadiri salah satunya, sampai kerbau yang diinginkannya pun hilang begitu saja. Padahal saat itu dia sangat lapar. Kemudian dia memutuskan untuk memancing ikan dan berburu. Kemudian dia membawa bekal nasi dan tidak lupa dia juga mengajak anjing kesayangannya. Sesampainya di sungai, dia mempersiapkan peralatan untuk memancing. Sesudah menemukan tempat yang nyaman untuk memancing, Pak Lebai melemparkan kailnya ke tengah-tengah sungai. Dengan sabar, dia menunggu kailnya dimakan ikan. Setelah menunggu agak lama, akhirnya kailnya dimakan ikan. Tetapi, kail itu menyangkut di dasar sungai. Pak Lebai pun lekas terjun untuk mengambil ikan itu.

Tapi sayang, ikan itu bisa meloloskan diri. Sementara dia terjun, anjingnya memakan nasi yang dibawanya. Akhirnya, dia menggigit jari dan tak ada lagi yang bisa dimakan untuk mengisi perutnya yang semakin keroncongan. Kemalangan sudah menimpanya sampai diketahui banyak orang. Sejak saat itu, Pak Lebai mendapat julukan dari orang-orang sekampung dengan nama Pak Lebai Malang Perahu.

Pelajaran yang bisa didapat dari Pak Lebai Malang ialah Hendaknya memutuskan segala sesuatu bukan atas dasar untung rugi, namun dengan keikhlasan dan keteguhan hati, sehingga terhindar dari nasib malang.


Asal Usul Danau Singkarak

Di sebuah desa yang terletak di Sumatra Barat, hiduplah Pak Buyung, istri, dan seorang anak yang bernama Indra. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil di pinggir laut.

Sehari-hari, Pak Buyung dan istrinya mengumpulkan hasil-hasil hutan dan menangkap ikan di laut untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Setiap pagi, mereka mencari manau, rotan, dan damar, kemudian menjualnya di pasar.

Jika musim ikan tiba, mereka pergi ke laut untuk menangkap ikan dengan menggunakan jala, pancing, atau bubu.

Cerita Rakyat Dari Sumatera Barat Danau Singkarak

Ketika sudah berusia 10 tahun, Indra mulai diajak membantu orangtuanya ke hutan dan laut. la anak yang rajin clan tidak pernah mengeluh. Ayah dan ibunya sangat bangga kepadanya. Hanya satu hal yang membuat mereka resah, yaitu nafsu makan Indra yang sangat besar. Sekali makan, ia biasa menghabiskan setengah bakul nasi dan beberapa piring lauk.

Suatu saat, tibalah musim paceklik. Hasil hutan dan hasil laut semakin sulit didapat. Keluarga ini menyantap ubi dan talas sebagai pengganti nasi. Ternyata, musim paceklik kali ini berlangsung lama, sehingga mereka semakin sutit mendapatkan bahan makanan. Mereka harus menahan lapar setiap harinya. Lama-kelamaan, keadaan ini membuat mereka menjadi Iebih peduli pada diri sendiri daripada kepada anaknya.

Suatu hari, Indra mengeluh perutnya sangat lapar. Sudah berhari-hari mereka hanya makan ubi bakar. la menangis dan mengadu kepada ayahnya.

“Ayah, aku lapar sekali. Bisakah ayah beri aku makanan?” rengeknya.

“Anak malas! Jika kamu lapar, pergi sana mencari manakan sendiri di hutan atau di laut!” ujar ayahnya.

Sang ibu mencoba membela Indra, karena Indra masih kecil. Namun, ayahnya tetap bersikeras agar Indra mencari makan sendiri. Berkat bujukan ibunya, Indra pun berangkat mencari makan menuju hutan di Bukit Junjung Sirih.

Sebelum berangkat, Indra terlebih dulu memberi makan ayam piaraannya yang bernama Taduang. Ayam tersebut sangat setia kepada Indra. Setiap kali Indra datang atau pulang ke rumah, ia selalu berkokok menyambutnya.

Dari pagi sampai siang hari, Indra pergi mencari makanan ke hutan dan ke laut. Namun sampai siang hari, tak sedikit pun didapatinya makanan untuk mengisi perutnya yang lapar. Maka, ia pun kembali pulang.

Keesokan harinya, sang ayah kembali menyuruhnya pergi mencari makanan. Sementara ayah dan ibunya hanya tidur-tidur di rumah. Mereka seperti sudah pasrah terhadap keadaan. Sampai sebulan keadaan ini berlangsung dan Indra merasa tubuhnya sangat lelah.

Baca Juga :  Apa itu Integrasi Sosial

Suatu hari, ketika Indra sedang mencari makan ke laut, ibunya berhasil mendapatkan pensi sejenis kerang yang ukurannya kecil, hasil tangkapannya bersama beberapa tetangga.

“Apa itu, Bu?” tanya suaminya.

Ibu Indra yang sedang mencuci bahan makanan mengatakan bahwa pensi sangat enak jika digulai. la lalu memasak gulai pensi, aromanya membuat perut sang ayah semakin lapar.

“Wah, sedap sekali aromanya, Bu. Apakah ini cukup untuk kita bertiga? Ibu kan tahu Indra makannya banyak sekali. Rasanya tidak cukup,” kata sang ayah.

“Lalu bagaimana, Pak?”

“Begini saja, kita makan saja berdua selagi Indra pergi ke laut. Jika ia kembali, kita sembunyikan lauk ini. Si Taduang pasti akan berkokok jika Indra datang.”

Akhirnya, Pak Buyung dan istrinya menyantap gulai pensi tersebut dengan sangat lahap. Namun belum selesai mereka makan, si Taduang berkokok. Suami istri ini segera merapikan makanan dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Ketika Indra masuk ke dalam rumah, ia melihat kedua orangtuanya sedang duduk-duduk bersantai.

“Maaf Ayah, aku tidak mendapatkan ikan sama sekali,” kata Indra.

“Jika kau tidak mendapatkan ikan, apa yang bisa kau makan?” kata Pak Buyung.

“Aku Ielah sekali, Ayah. Bolehkan aku makan?”

“Baiklah kau boleh makan, tetapi kau harus mencuci ijuk ini terlebih dahulu hingga menjadi putih,” ibunya sambil menyodorkan seikat ijuk yang baru saja dibawa Pak Buyung dari hutan.

lndra pergi ke sungai untuk mencuci ijuk. Sekian lama ia mencuci, tetapi warna ijuk itu tidak bisa berubah. Kasihan Indra, ia tidak tahu bahwa ijuk tersebut memang berwarna hitam dan tidak akan bisa dijadikan putih meskipun dicuci. la tidak tahu bahwa ayah dun ibunya sedang meneruskan menyantap makanan dengan lahapnya di rumah.

Merasa tubuhnya sudah sangat lelah, Indra lalu kembali ke rumah. Sampai di rumah, ia pelan-pelan masuk ke dapur. Dengan sangat terkejut, ia melihat ayah dan ibunya sedang tertidur kekenyangan di dapur dengan sisa-sisa piring makan berserakan di sekitarnya. Tidak ada lagi makan yang tersisa.

Indra sangat sedih dengan apa yang dilihatnya. la tidak menyangka orangtuanya telah membohonginya. Dengan air mata menetes di pipinya, la berjalan keluar dan menangkap ayam kesayanganya si Taduang. Mereka lalu duduk di sebuah batu di samping gubuk tempat tinggal Indra.

“Ayah dan ibu sudah membohongiku, Taduang. Aku sangat sedih. Lebih baik aku pergi, karena ternyata mereka tidak menyayangiku,”” isak Indra. Taduang berkokok sebagai tanda bahwa ia mengerti perasaan tuannya.

Ayam itu lalu mengepakkan sayapnya seolah-olah memberi tanda kepada Indra.

Indra berpegangan pada kaki Taduang. Lalu, ayam itu terbang perlahan dengan Indra yang bergantung pada kakinya. Ternyata, batu tempat mereka duduk itu terbawa di kaki Indra. Semakin ke atas batu tersebut semakin membesar dan menjadi berat. Taduang tidak lagi kuat terbang membawa Indra dan batu besar itu, Akhirnya, Indra menendang batu tersebut hingga jatuh ke bumi dan menghantam sebuah bukit yang letaknya di dekat lautan. Hempasan batu tersebut membuat lubang yang memanjang, Dengan cepat air langsung mengaliri lubang tersebut sehingga membentuk aliran sungai.

Menurut cerita, aliran tersebut adalah asal-usul terbentuknya Sungai Ombilin yang mengalir sampai Riau. Kemudian, air laut menjadi menyusut membentuk sebuah danau yang kemudian dinamakan Danau Singkarak.

Sementara itu, Indra dan ayam kesayangannya tidak diketahui keberadaannya.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Dari Sumatera Barat : Danau Singkarak adalah sifat suka mementingkan diri sendiri akan merugikan diri sendiri dan juga melukai hati orang lain


Kaba Sabai Nan Aluih

Alkisah, di Padang Tarok, Sumatra Barat, hiduplah sepasang suami istri, Rajo Babanding dan Sadun Saribai. Mereka tinggal bersama kedua orang anaknya di sebuah rumah bergojong (berujung) empat yang terletak di sekitar hilir Sungai Batang Agam. Anaknya yang sulung adalah seorang gadis cantik bernama Sabai nan Aluih, sedangkan anak bungsunya seorang pemuda tampan bernama Mangkutak Alam. Meskipun dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang sama, kedua kakak beradik tersebut memiliki sifat yang berbeda.

Mangkutak adalah seorang pemalas. Kerjanya setiap hari hanya bermain layang-layang, sehingga kulitnya menjadi hitam karena terbakar sinar matahari. Sedangkan Sabai nan Aluih adalah gadis cantik yang rajin membantu pekerjaan ibunya dan senantiasa mengisi waktu luangnya dengan menenun dan merenda. Sesuai dengan namanya Sabai nan Aluih (Sabai yang halus atau lembut), ia berbudi pekerti luhur, santun dalam berbicara, dan hormat kepada yang tua. Tak heran jika semua orang menyukainya.

Perangai dan kecantikan Sabai nan Alui terkenal hingga ke kampung lain. Pada suatu hari, berita tentang kencantikannya sampai ke telinga seorang teman baik ayah Sabai yang bernama Rajo nan Panjang. Ia adalah saudagar kaya yang sudah lama merantau ke Kampung Situjuh. Ia sangat disegani oleh masyarakat Kampung Situjuh, karena mempunyai tiga orang pengawal yang hebat, yaitu Rajo nan Konkong, Lompong Bertuah, dan Palimo Banda Dalam. Namun, Rajo nan Panjang termasuk saudagar kaya yang sangat keras dan suka memeras warga di sekitarnya dengan cara meminjamkan uangnya dengan bunga yang tinggi.

Ketika mengetahui sahabatnya mempunyai anak gadis yang cantik jelita, Rajo nan Panjang mengirim utusannya untuk meminang Sabai nan Aluih. Ia sangat yakin bahwa ayah Sabai pasti akan menerima pinangannya.

“Wahai, Pengawal! Aku mengutus kalian pergi menemui Rajo Babanding untuk menyampaikan pinanganku kepada anak gadisnya. Aku yakin Rajo Babanding sahabatku itu pasti senang mendapatkan menantu kaya seperti aku!” seru Rajo nan Panjang kepada para pengawalnya dengan penuh percaya diri.

Baca Juga :  Cerita Timun Mas

Mendapat perintah tersebut, para pengawal itu pun berangkat ke Padang Tarok. Sesampainya di Padang Tarok, mereka pun menyampaikan pinangan tuannya kepada ayah Sabai nan Aluih.

“Kami adalah utusan Rajo nan Panjang dari Kampung Situjuh. Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan pinangan tuan kami kepada Sabai nan Aluih,” kata seorang utusan.

“Begini, Tuan-tuan! Saya tidak bermaksud mengecewakan hati sahabatku itu. Tolong sampaikan permintaan maaf saya kepadanya bahwa saya malu bermenantukan orang kaya yang seumur dengan saya!” pesan Rajo Babanding.

Setelah mendapat jawaban penolakan dari Rajo Babanding, para utusan itu pun segera kembali ke Kampung Situjuh untuk menyampaikan berita tersebut kepada tuan mereka. Mendengar penolakan tersebut, Rajo nan Panjang merasa sangat terhina.

“Ah, sombong sekali Pak Tua itu! Masa tidak mau bermenantukan orang kaya,” ketus Rajo nan Panjang.

“Maaf, Tuan! Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya seorang pengawalnya.

“Apakah kita harus memaksanya, Tuan?” tambah seorang pengawal lainnya.

“Jangan dulu, Pengawal! Aku akan datang sendiri ke sana untuk melamar Sabai nan Aluih. Aku yakin Rajo Babanding tidak akan menolak lagi pinanganku. Pak Tua itu pasti tahu bahwa aku ini orang besar yang mempunyai anak buah yang hebat seperti kalian,” kata Raja nan Panjang.

Akhirnya, berangkatlah Rajo nan Panjang bersama ketiga orang pengawalnya. Rajo Babanding pun menerima mereka dengan baik. Namun, hatinya berkata bahwa sahabatnya itu telah melanggar sopan santun karena meminang anak gadisnya secara langsung kepadanya. Menurut adat di negeri itu, pinangan tidak boleh disampaikan langsung kepada ayah si Gadis, melainkan kepada mamak atau adik kandung ibu gadis itu.

Sebenarnya, Rajo Babanding ingin langsung menolak pinangan tersebut. Namun, ia  khawatir jika pinangan itu langsung ditolak, Rajo nan Panjang akan marah dan mengamuk. Rajo Babanding akan sangat malu jika pertengkaran terjadi di rumahnya. Untuk itu, ia pun mengajak Rajo nan Panjang untuk berunding di luar rumah.

“Sahabatku! Sebaiknya kita berunding di luar rumah saja,” ajak Rajo Babanding.

Rajo nan Panjang pun mengetahui bahwa pinangannya ditolak secara halus oleh ayah Sabai nan Aluih. Ia sadar bahwa dirinya ditantang untuk berkelahi.

“Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan sahabatku. Tapi, di mana kita akan berunding?” tanya Rajo nan Panjang menerima tantangan Rajo Babanding.

“Kita berunding di Padang Panahunan,” jawab Rajo Babanding.

“Kapan?” tanya Rajo nan Panjang.

“Bagaimana kalau hari Minggu?” jawab Rajo Babanding.

“Baik, aku setuju!” kata Rajo nan Panjang seraya berpamitan.

Setelah Rajo nan Panjang bersama para pengawalnya pergi meninggalkan rumah Rajo Babanding, tiba-tiba Sabai nan Aluih keluar dari kamarnya, lalu segera menghampiri ayah dan ibunya yang masih duduk di ruang tamu.

“Maaf, Ayah! Sabai telah mendengar semua pembicaraan Ayah dengan Rajo nan Panjang. Jika Ayah berunding dengan sahabat Ayah itu di tempat sepi, Sabai yakin pasti akan terjadi perkelahian. Bukankah begitu, Ayah?” tanya Sabai nan Aluih.

“Benar, Anakku! Tapi, kamu jangan khawatir, Ayah pasti bisa jaga diri,” jawab Ayah Sabai.

Sejak itu, Hati Sabai nan Aluih selalu bimbang memikirkan keselamatan Ayahnya. Pada malam harinya, Sabai bermimpi buruk, lumbung padi menjadi arang, kerbau sekandang dicuri orang, dan ayam ternak disambar elang. Bagi Sabai, mimpinya itu merupakan pertanda bahwa Ayahnya akan celaka. Keesokan harinya, ia pun menceritakan mimpinya itu kepada ayahnya untuk mencegah ayahnya berunding dengan Rajo nan Panjang di Padang Panahunan.

“Ayah! Semalam Sabai mimpi buruk. Sebaiknya Ayah mengurungkan niat untuk bertemu dengan Rajo nan Panjang itu. Sabai khawatir terjadi sesuatu pada diri Ayah,” kata Sabai nan Aluih cemas.

“Anakku, Sabai! Mimpimu pertanda baik. Lumbung padi terbakar berarti padi akan dipanen. Kerbau hilang berarti ternak kita akan bertambah. Ayam disambar elang berarti adikmu Mangkutak akan dilamar orang,” bujuk Rajo Babanding menenangkan hati Sabai.

“Oh, Ayah! Kalau benar demikian, hati Sabai menjadi tenang. Akan tetapi, jika malapetaka yang menimpa, ke mana lagi kami akan bergantung,” kata Sabai dengan sedih.

“Tenanglah, Anakku! Ayah lakukan semua ini demi untuk mempertahankan harkat dan martabat keluarga kita. Ayah tidak ingin kehormatan keluaga kita dicoreng oleh Raja nan Panjang yang angkuh dan sombong itu,” kata Raja Babanding.

Pada hari yang telah ditentukan pun tiba. Berangkatlah Rajo Babanding ke Padang Panahunan. Padang Panahunan adalah tempat yang sepi dan sejak dulu digunakan untuk berkelahi. Rajo Babanding membawa seorang pembantunya yang bernama Palimo Parang Tagok. Ia mengajak pembantunya itu untuk berjaga-jaga jika Rajo nan Panjang berbuat curang. Seandainya pun ia terbunuh dalam pertarungan tersebut, setidaknya Palimo Parang Tagok dapat memberi kabar kepada keluarganya yang ada di rumah.

Saat mereka tiba di Padang Panahunan, tampak Rajo nan Panjang bersama seorang pengawal setianya Palimo Banda Dalam sudah menunggu. Rupanya Rajo nan Panjang sengaja datang lebih awal untuk mengatur siasat liciknya. Ia telah memerintahkan dua orang pengawal lainnya yakni Rajo nan Kongkong dan Lompong Bertuah untuk bersembunyi di balik semak-semak. Salah seorang di antaranya membawa senapan. Senapan itu akan digunakan pada saat diperlukan.

Melihat kedatangan Rajo Babanding bersama seorang pembantunya dari kejauhan, Rajo nan Panjang berpesan kepada para pengawalnya.

“Pengawal, aku peringatkan kalian! Jangan memandang remeh Rajo Babanding! Kalian bukanlah lawannya yang sebanding. Berhati-hatilah!” seru Rajo nan Panjang.

“Baik, Tuan!” jawab para pengawalnya.

Baca Juga :  Pengertian Ekonomi Makro dan Mikro

Rajo Babanding dan pembantunya semakin mendekat ke arah Raja nan Panjang. Ketika saling berhadapan, mereka pun saling menggertak.

“Hai, Rajo Babanding! Rupanya kamu berani juga mengantarkan nyawamu kemari!” seru Rajo nan Panjang.

“Kita lihat saja nanti, siapa di antara kita yang akan mati terlebih dahulu,” kata Rajo Babanding dengan tenang.

“Ha… ha… ha… !!! Tentu saja kamulah yang akan mati, Babanding,” kata Rajo nan Panjang sambil tertawa terbahak-bahak.

“Majulah kalau berani!” tantang Rajo Babanding.

Mendengar tantangan itu, Palimo Banda Dalam tiba-tiba menyerang Rajo Babanding dengan sebuah pukulan keras. Rajo Babanding pun segera berkelik menghindari pukulan itu dengan gesitnya. Berkali-kali Palimo Banda Dalam menyerang, namun tak satu pun pukulannya yang menyentuh tubuh Rajo Babanding. Melihat pengawalnya yang mulai kelelahan, Rajo nan Panjang segera membantu. Rajo Banbanding pun menjadi marah karena dikeroyok.  Jika semula hanya bertahan, kini ia berbalik menyerang. Dengan sebuah pukulan keras, ia menghantam lambung kanan Palimo Banda Dalam dan seketika itu pula Palimo Banda Dalam jatuh tersungkur di tanah. Namun tanpa diduganya, tiba-tiba Lampong Bertuah menyerangnya dari belakang.

“Awas, Tuan! Musuh datang dari belakang!” teriak Palimo Parang Tagok yang melihat Lampong Bertuah muncul dari balik semak-semak.

Rajo Babanding pun segera menghindar. Selamatlah ia dari serangan itu.

“Hai, Rajo nan Panjang! Rupanya kamu telah berbuat curang!” seru Rajo Babanding.

“Ha… ha… ha… !!! Kini saatnya kamu akan mati Babanding,” kata Rajo nan Panjang

Melihat tuannya dicurangi, Palimo Parang Tagok segera membantu tuannya. Pertarungan itu pun semakin seru. Kini, satu lawan satu. Rajo Babanding menghadapi Rajo nan Panjang, sedangkan Palimo Parang Tagok menghadapi Lampong Bertuah. Namun, pertarungan antara kedua orang pengawal tersebut tidak berlangsung lama. Keduanya jatuh terkapar di tanah dengan keris menancap di tubuh mereka karena mereka saling menikam.

Sementara itu, pertarungan antara Rajo Babanding dengan Rajo nan Panjang masih berlangsung seru. Keduanya silih berganti menyerang. Mulanya, Rajo Babanding hanya bertahan dan menghidar dari serangan-serangan Rajo nan Panjang. Pada saat yang tepat, ia berbalik menyerang dengan menyabetkan kerisnya ke ke arah Rajo nan Panjang. Rajo nan Panjang pun terluka dan terjatuh. Dengan sekuat tenaga, ia berteriak memberikan aba-aba kepada Rajo nan Kongkong yang masih bersembuyi di balik semak-semak.

“Hai, Nan Konkong! Tunggu apa lagi!”

Rajo Babanding pun sadar jika Rajo nan Panjang masih mempunyai seorang pengawal lagi. Namun, baru saja ia bersiap-siap memasang kuda-kuda, tiba-tiba sebuah peluru bersarang di dadanya. Ia pun jatuh tersungkur di tanah tak sadarkan diri. Rajo nan Kongkong pun segera keluar dari balik semak-semak setelah melihat Rajo Babanding tidak berdaya lagi terkena tembakannya.

Pada saat itu, kebetulan ada seorang gembala yang menyaksikan peristiwa itu. Ia pun segera memberitahukan peristiwa itu kepada Sabai nan Aluih. Betapa terkejutnya Sabai mendengar berita itu. Pesan dalam mimpinya benar-benar menjadi kenyataan. Ia pun segera mengajak adiknya yang baru saja datang dari bermain layang-layang untuk melihat keadaan ayah mereka.

“Hai, Mangkutak! Ayo kita ke Padang Panahunan. Ayah telah meninggal terkena tembakan di dadanya!” seru Sabai nan Aluih.

“Tidak, Kak! Kakak saja yang ke sana. Aku belum mau mati. Bukankah aku akan bertunangan?” kata Mangkutak tidak menghiraukan ajakan Sabai.

“Dasar, laki-laki pengecut!” seru Sabai.

Dengan perasaan kesal, Sabai nan Aluih segera naik rumah dan langsung masuk ke dalam kamar ayahnya untuk mengambil senapan. Kemudian ia berlari menuju ke Padang Panahunan. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Rajo nan Panjang bersama pengawalnya, Rajo nan Kongkong.

“Haaaiiii, mau ke mana kamu gadis cantik?”

“Hai, tua bangka yang tidak tahu malu! Apa yang telah kau lakukan terhadap ayahku?” tanya Sabai dengan muka memerah.

“Kau cantik sekali jika sedang marah,” goda Raja nan Panjang.

“Hai, tua bangka! Jawab pertanyaanku? Kau apakan ayahku?” Sabai kembali bertanya.

“Ha… ha… ha….!!! Tidak usah lagi kamu mencari ayahmu. Pak Tua itu telah pergi meninggalkanmu,” jawab Rajo nan Panjang.

“Apa maskudmu, tua bangka?” tanya Sabai.

“Ayahmu mati tertembak senapan itu,” jawab Rajo nan Panjang sambil menunjuk senapan yang dibawa Rajo nan Kongkong.

“Jadi, kau telah menembak ayahku. Bukankah ayahku tidak bersenjata? Dasar tua bangka curang!” hardik Sabai nan Aluih sambil mengarahkan senapannya ke dada saudagar kaya yang sombong itu.

Rajo nan Panjang dan pengawalnya itu kembali terbahak-bahak sambil mengejek Sabai nan Aluih.

“Ha… ha… ha… !!! Hai, gadis cantik! Senapan itu bukan mainan anak perempuan!”

Sabai nan Aluih yang tidak tahan lagi melihat perilaku Rajo nan Panjang itu langsung menarik pelatuk senapannya. Terdengarlah suara dentaman yang sangat keras. Seketika itu pula, Rajo nan Panjang terjatuh ke tanah, karena sebuah peluru menembus dadanya. Melihat tuannya tidak sadarkan diri, Rajo nan Kongkong pun langsung lari tunggang-langgang. Sementara Sabai nan Aluih segera menuju ke Padang Panahunan untuk melihat keadaan ayahnya. Sesampainya di tempat itu, ia mendapati ayahnya sudah tidak bernyawa lagi. Hatinya sangat sedih karena sang Ayah yang merupakan tumpuan hidup keluarganya telah pergi untuk selamanya. Tak berapa lama kemudian, ibu Sabai bersama beberapa orang warga lainnya tiba


demiianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Cerita Dongeng Sumatera Barat : Pak Lebai Malang, Asal Usul Danau Singkarak, Kaba Sabai Nan Aluih, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.

Posting pada SD