Definisi Tanjung Lesung
SYAHDAN, pada zaman dahulu kala ada seorang pengembara dari Laut Selatan bernama Raden Budog. Suatu hari, setelah lelah bermain di tepi pantai, Raden Budog beristirahat di bawah pohon ketapang laut. Angin semilir sejuk membuat Raden Budog terlena. Perlahan matanya terpejam. Dalam tidumya Raden Budog bermimpi mengembara ke utara dan bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik.
Hati Raden Budog terpesona oleh kecantikannya. Tanpa disadarinya, kakinya melangkah mendekati gadis itu yang tersenyum manis kepadanya. Dilihatnya tangan gadis itu diulurkan kepadanya. Raden Budog pun mengulurkan tangannya hendak menyambut uluran tangan gadis itu. Tapi betapa terkejutnya dia… seranting kering pohon ketapang mengenal dahinya. Raden Budog terperanjat dan terbangun dari tidurnya. Dengan perasaan kesal diraihnya ranting itu dan dibantingnya keras-keras. “Ranting keparat!” gerutunya. “Kalau ranting itu tidak jatuh maka aku bisa menikmati mimpi indahku.”
Berhari-hari bayangan mimpi itu tidak pernah bisa hilang dari ingatan Raden Budog. Lalu diputuskannya bahwa dia akan pergi mengembara. Raden Budog pun segera menyiapkan perbekalan untuk pengembaraannya. “Cek…cek…cek…, kita akan mengembara, sayang,” kata Raden Budog mengelus-elus anjing kesayangannya yang melonjak-lonjak dan menggonggong gembira seolah mengerti ajakan tuannya.
Raden Budog lalu menghampiri kuda kesayangannya. “Kita akan mengembara jauh, sayang. Bersiap-siaplah.” Raden Budog membelai-belai kudanya yang meringkik gembira. Kemudian Raden Budog menyiapkan golok dan batu asah yang selalu dibawanya ke mana saja dia mengembara.
Kisah Cerita Terbentuknya Tanjung Lesung
-
AwalMula Kisah
Alkisah, ada seorang pengembara bernama Raden Budog, di pesisir Laut Selatan Pulau Jawa. Ia seorang pemuda tampan dan gagah perkasa. Ketika mengembara, ia ditemani seekor anjing beserta kuda kesayangannya. Pada siang hari ia baru selesai mandi di pantai, dan beristirahat di bawah pohon yang rindang. Angin pantai yang sejuk membuatnya cepat terlelap. Ia bermimpi mengembara ke utara dan bertemu dengan seorang gadis cantik yang membuatnya terpesona. Gadis itu tersenyum manis seraya mengulurkan tangannya. Tetapi, ketika raden akan menyambut tangan gadis itu tiba-tiba ranting kering jatuh didahinya. Raden Budog pun melempar ranting itu karena sudah mengganggu mimpi dalam tidurnya.
-
Mimpi Yang Manis
Sejak mimpi itu, Raden Budog selalu terbayang senyum manis gadis itu. Walaupun hanya sebuah mimpi, hal itu seperti nyata. Akhirnya ia pergi mengembara kearah utara untuk mencari gadis dalam impiannya. Raden Budog dalam perjalananya ditemani kuda dan anjing yang membantu mencari jalan.
Setelah Raden Budog melewati jalan yang terjal , ia tiba di sebuah tempat tinggi bernama Tali Alas (Pilar) sehingga ia bisa melihat samudera biru serta pantai yang indah. Sambil menikmati sisa bekalnya ia menyempatkan diri untuk beristirahat. Setelah beristirahat raden budog melanjutlkan lagi perjalanannya ke pantai cawar. Setibanya disana ia turun dari kudanya dan langsung terjun ke pantai.
“Waaah, air pantai ini sangat sejuk!” ujar Raden Budog sambil membasuh mukanya.
-
Melanjutkan Pengembaraan
Sejuknya air Pantai Cawar membantu menghilangkan rasa lelah Raden Budog. Setelah merasa segar, pemuda itu membasuh tubuhnya di muara sungai. Setelah itu Ia mendekati kuda dan anjingnya di tepi pantai untuk melanjutkan pengembaraan. Tetapi kedua binatang itu tidak bergerak walaupun sudah melihat tuannya. Hal ini membuat Raden Budog heran dengan tingkah kedua hewannya.
“Ayo berdiri cepat, kita akan melanjutkan perjalanan!” seru Raden Budog.
Namun, anjing dan kudanya tidak bergerak juga karena kelelahaan.
“Baiklah, kalau kalian tidak mau mengikuti perintahku dan ingin diam saja, akan kutinggalkan kalian di sini,” ucap Raden Budog kesal.
Karena perkataanya kuda dan anjing itu beruba jadi batu karang, sehingga Raden Budog melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Dengan tekad yang membara, Raden Budog terus berjalan tanpa lelah serta menghiraukan pakainya yang lusuh dan kotor. sesampainya disungai, ia terpaksa behenti karena banjir besar terjadi di sungai.
“Ah, aku lelah dan beristirahat dulu di sini sambil menunggu banjirnya surut,” gumam Raden Bugog sambil merebahkan tubunya di sebuah batu.
Ketika istirahat, tiba-tiba terdengar bunyi lesung di seberang sungai membuatnya terkejut.
“Aku yakin, di seberang sungai ini ada kampung, tempat tinggal gadis itu,” ucapnya dengan keyakinan.
Raden Budog tidak sabar menunggu banjir itu surut untuk segera bertemu gadis pujaannya. Tetapi ia berhasil menyeberangi sungai itu walaupun belum surut itu dengan sekuat tenaga.
Alunan bunyi lesung terdengar lagi sehingga hatinya berdebar kencang karena sudah dekat dengan gadisnya. Dengan segera ia melangkah ke sumber bunyi tersebut.
-
Gadis Dalam Mimpi
Sesampainya didepan sebuah rumah, terlihat banyak gadis kampong yang bermain lesung (ngagondang). Lesung ini merupakan tradisi penduduk yang dilakukan setiap hari jum’at ketika akan menanam padi.
Raden Budog sangat terpesona melihat gadis-gadis tersebut yang lincah dan terampil ketika mengayun serta menumbuk alu lesung bergantian. Terutama seorang gadis cantik yang menjadi pemimpin dalam memberi aba-aba bernama Sri Poh Haci.
“Itu gadis yang hadir dalam mimpiku,” batin Raden Budog.
Raden Budog sangat senang melihat gadis yang di cari sekarang ada dihadapannya. Sri Poh Haci merasa sedang diperhatikan lalu ia memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk menghentikan permainannya dan pulang ke rumah masing-masing.
Sesampainya di rumah Sri Poh Haci di sambut oleh ibunya.
“Kenapa bermain lesungnya hanya sebentar, nak?” tanya ibu Sri Poh Haci bernama Nyi Siti.
“Tadi ada seorang pemuda tampan yang tidak aku kenal sedang memperhatikanku saat bermain ngadondang. Aku jadinya malu, Bu,” jelas Sri Poh Haci.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu disusul suara seorang laki-laki.
“Sampurasun…, permisi…” seru pemuda itu
“Rampes…,” jawab ibu Sir Poh Haci seraya berjalan ke pintu.
Ketika membuka pintu, tampaklah seorang pemuda tampan dan gagah perkasa berdiri di depan pintu.
“Maaf apabila kedatangan saya mengganggu. Bolehkah saya menginap di rumah ibu?” pinta pemuda itu (Raden Budog).
Nyi Siti sangat terkejut dengan permintaan tersebut.
“Maaf, kisanak ini siapa serta berasal dari mana? Mengapa anda ingin menginap di rumah saya? Kami tidak mengenal kisanak,” tanya Nyi Siti curiga.
“Nama saya Raden Budog, Bu. Saya seorang pengembara dan juga kebetulan singgah dikampung ini. kalau diperkankan, izinkan saya menginap di rumah ibu,” pinta Raden Budog kembali.
“Maaf, Raden. Penghuni rumah ini hanya saya beserta anak gadis saya. Saya tidak berani menerima tamu laki-laki untuk menginap,” jawab Nyi Siti sambil menutup pintu.
“Ah, lebih baik aku tidur di sini saja,” gumam Raden Budog seraya merebahkan diri dibale bambu.
Dalam tidurnya ia bermimpi diberi izin oleh anak Nyi Siti. Tiba-tiba ia mencium bau kopi yang menyegarkan. Begitu membuka mata, ia melihat gadis cantik yang sedang berdiri dan menyadari hari sudah pagi.
“Silakan Raden diminum kopinya!” kata gadis itu.
“Hai, siapa namamu? Dan dari mana kau tahu namaku?” tanya Raden Budog pura-pura tidak tahu.
“aku Sir Poh Haci, anak Nyi Siti,” jawab sang gadis.
-
Cinta Bersemi Dan Musibah
Ternyata Sri Poh Haci jatuh hati pada Raden Budog selama tinggal beberapa hari di kampung itu. Sehingga Raden Budog menjalin kasih dengan Sri Poh Haci. Nyi siti awalnya tidak setuju dengan usul itu karena tidak jelas asal usul raden budog dan keras. Karena tidak ingin membuat anaknya kecewa ia terpaksa mengizinkannya.
Setelah pernikahannya Raden Budog pun tinggal di kampung itu. Ia selalu datang menyaksikan permainan lesung istri dan teman-temannya. Sampai ia jadi senang memainkan lesung sampai lupa waktu. Walaupun di hari Jumat ia tetap bermain padahal istrinya sudah memberikan pantangan.
Perilaku Raden Budog semakin aneh, menabuh lesung sambil melompat-lompat seperti seekor lutung.
“Lihat… lihat! Ada lutung yang bermain lesung!” teriak para warga.
Alangkah terkejutnya ketika ia berubah menjadi seekor lutung dan tidak berubah ke wujud aslinya lagi.
Sedangkan, Sri Poh Hacikarena malu ia memustuskanuntuk pergi dari kampungnya. Menurut cerita, Sri Poh Haci berubah menjadi Dewi Padi. Untuk mengenangkemahiran Sri Poh Haci dalam bermainlesung, penduduk menyebut kampungitu dengan Kampung Lesung
Sejarah Tanjung Lesung
Tanjung Lesung sebenarnya adalah nama kampung di Pandeglang, Banten. Berdasarkan cerita masyarakat, kampung ini diberi nama Tanjung Lesung karena peristiwa yang terjadi di masa silam di daerah itu. Pada mulanya, di pesisir laut selatan Jawa terdapat seorang pengembara yang bernama Raden Budog. Raden Budog adalah pemuda yang tampan dan gagah. Kemana-mana ia selalu ditemani oleh anjing dan kudanya. Pada suatu ketika, ia bermimpi bertemu dengan gadis yang sangat cantik. Ia pun berusaha untuk mencari gadis itu.
Saat tiba di suatu pantai, ia beristirahat sejenak. Saat ingin melanjutkan perjalanan, anjing dan kudanya masih sangat kelelahan. Ia pun menjadi marah dan menganggap anjing dan kudanya tidak setia dan mengutuk mereka. Akhirnya kuda dan anjingnya berubah menjadi batu karang. Ia pun kemudian melanjutkan perjalanan seorang diri. Suatu ketika, ia mendengar alunan lesung yang sangat merdu. Pemimpin lesung itu ternyata adalah gadis yang ada di dalam mimpi Raden Badog. Gadis itu bernama Sri Poh Haci. Raden Badog berusaha untuk mendekati Sri Poh Haci. Sebenarnya, ibu Sri Poh Haci tidak menyetujui jika anaknya menjalin hubungan dengan Raden Badog karena Raden Badog tidak memiliki asal usul yang jelas dan sifatnya keras kepala. Namun, karena ia tampan, Sri Poh Haci pun jatuh cinta pada Raden Badog sampai akhirnya mereka pun menikah.
Hikayat Tanjung Lesung
SYAHDAN, pada zaman dahulu kala ada seorang pengembara dari Laut Selatan bernama Raden Budog. Suatu hari, setelah lelah bermain di tepi pantai, Raden Budog beristirahat di bawah pohon ketapang laut. Angin semilir sejuk membuat Raden Budog terlena. Perlahan matanya terpejam. Dalam tidumya Raden Budog bermimpi mengembara ke utara dan bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik.
Hati Raden Budog terpesona oleh kecantikannya. Tanpa disadarinya, kakinya melangkah mendekati gadis itu yang tersenyum manis kepadanya. Dilihatnya tangan gadis itu diulurkan kepadanya. Raden Budog pun mengulurkan tangannya hendak menyambut uluran tangan gadis itu. Tapi betapa terkejutnya dia… seranting kering pohon ketapang mengenal dahinya. Raden Budog terperanjat dan terbangun dari tidurnya. Dengan perasaan kesal diraihnya ranting itu dan dibantingnya keras-keras. “Ranting keparat!” gerutunya. “Kalau ranting itu tidak jatuh maka aku bisa menikmati mimpi indahku.”
Berhari-hari bayangan mimpi itu tidak pernah bisa hilang dari ingatan Raden Budog. Lalu diputuskannya bahwa dia akan pergi mengembara. Raden Budog pun segera menyiapkan perbekalan untuk pengembaraannya. “Cek…cek…cek…, kita akan mengembara, sayang,” kata Raden Budog mengelus-elus anjing kesayangannya yang melonjak-lonjak dan menggonggong gembira seolah mengerti ajakan tuannya.
Raden Budog lalu menghampiri kuda kesayangannya. “Kita akan mengembara jauh, sayang. Bersiap-siaplah.” Raden Budog membelai-belai kudanya yang meringkik gembira. Kemudian Raden Budog menyiapkan golok dan batu asah yang selalu dibawanya ke mana saja dia mengembara.
Setelah semuanya dirasa siap, Raden Budog segera menunggang kuda kesayangannya, berjalan ke arah utara. Di pinggangnya terselip golok panjang yang membuatnya tampak gagah dan perkasa. Sedangkan tas anyaman dari kulit terep berisi persediaan makanan, terselempang di bahunya. Sementara itu anjing kesayangannya berjalan di depan, mengendus-endus mencari jalan bagi tuannya. Anjing itu kadang menggonggong menghalau bahaya yang mengancam tuannya.
Lima hari perjalanan telah ditempuhnya. Walaupun begitu Raden Budog belum juga mau turun dari kudanya. Dia juga tidak menyadari badannya sudah lemah karena perutnya kosong, begitu pula kudanya. Pikirannya cuma terbayang-bayang pada mimpinya di tepi pantai itu. “Kapan dan di mana aku bisa bertemu gadis itu?” gumamnya dalam hati.
Raden Budog terus memacu kudanya menapaki jalan-jalan terjal dan mendaki hingga tiba di Gunung Walang yang sekarang ini menjadi kampung Cimahpar. Tiba-tiba kudanya roboh. Raden Budog terperanjat, mencoba menguasai keseimbangannya. Namun Budog terperanjat, mencoba menguasai keseimbangannya. Namun karena sudah sama-sama lemah, Raden Budog dari kudanIva berguling-guling di lereng gunung. Anjing kesayangannya menggonggong cemas meningkahi ringkik kuda. Raden Budog segera bangun, sekujur badannya terasa lemah dan nyeri.
Sejenak Raden Budog istirahat di Gunung Walang. Dia membuka bekalnya dari makan dengan lahap. Sementara itu kudanya mencari rumput segar sedangkan anjingnya berlarian kian kemari memburu mangsanya, seekor burung gemak yang berjalan di semak-semak.
“Ayo kita berangkat lagi!” Raden Budog berteriak memanggil kuda dan anjingnya. Namun dilihatnya pelana kuda itu ternyata telah robek. Dengan terpaksa Raden Budog menanggalkan pelana itu dan memutuskan untuk meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki karena dia tidak biasa menunggang kuda tanpa pelana. Mereka terus rnelangkah hingga tibalah di suatu tempat yang tinggi. Tali Alas namanya yang sekarang disebut Pilar. Dari tempat inilah Raden Budog dapat melihat laut yang biru membentang dengan pantainya yang indah.
Raden Budog kemudian melanjutkan perjalanan ke pantai Cawar. Begitu sampai di pantai yang indah itu Raden Budog segera berlari dan terjun ke laut, berenang-renang gembira. Perjalanan yang begitu melelahkan Iitu seolah lenyap oleh segarnya air pantai Cawar. Di muara sungai Raden Budog membilas tubuhnya. lalu dicarinva kuda dan anjing kesayangannya untuk meneruskan pengembaraan.
“Ayo kita berangkat lagi!” seru Raden Budog ketika dilihatnya kuda dan anjing kesayangannya itu sedang duduk di tepi pantai.
Tidak seperti biasanya, kuda dan anjing kesayangannya itu diam saja seolah tak perduli ajakan tuannya. Raden Budog merasa heran. “Cepat berdiri! Ayo kita berangkat”‘ Seru Raden Budog lagi.
Tapi kedua binatang itu tetap duduk saja, tak bergerak sedikit pun. Anjing dan kuda itu tampak sangat kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang, sehingga sekadar untuk berdiri pun tak sanggup lagi.
“Aku harus segera menemukan gadis pujaanku. Kalau kalian tidak mau menuruti perintahku dan tetap diam seperti karang, akan kutinggalkan kalian di sini!” teriak Raden Budog sambil meneruskan perjalanan, meninggalkan anjing dan kuda kesayangannya. Namun kedua binatang itu tetap tidak bergeming dan menjelma menjadi karang. Sampai sekarang di pantai Cawar terdapat karang yang menyerupai kuda dan anjing sehingga disebut Karang Kuda dan Karang Anjing.
Maka Raden Budog melanjutkan pengembaraannya seorang diri. Dalam benaknya telah ada kesayangan lain yang ingin segera ditemukannya. Gadis pujaan yang muncul dalam mimpinya itu benar-benar memenuhi benaknya, sehingga goloknya pun tertinggal di Batu Cawar. Kini Raden Budog hanya membawa tas dari kulit terep beserta batu asah di dalamnya. Sesampainya di Legon Waru, Raden Budog kembali merasakan kelelahan. Sendi-sendi tubuhnya terasa lunglai. Tapi Raden Budog tidak ingin beristirahat barang sebentar. Dia terus mencoba melangkah dengan sisa tenaganya.
“Benda ini rasanya sudah tak berguna, hanya memberati pundakku saja. Lebih baik kutinggalkan saja di sini,” gumam Raden Budog. Diambilnya batu asah itu dari dalam tasnya dan diletakkannya di tepi jalan. “Biarlah batu ini menjadi kenangan,” gumamnya lagi. Demikiamah, sampai saat ini di Legon Waru terdapat sebuah karang yang dikenal dengan Karang Pengasahan.
Berhari-hari Raden Budog terus mengembara menyusuri pesisir pantai. Wajah gadis yang menghiasi mimpinya memenuhi pikirannya sepanjang perjalanan, menyalakan semangat dalam dadanya. Rasa bosan, lelah dan letih tak dihiraukannya. Juga pakaiannya yang mulai lusuh dan badannya yang berdebu. Suatu ketika hujan turun dengan derasnya, Raden Budog berlindung di bawah pohon. Dari balik pasir, tiba-tiba berhamburan penyu-penyu besar dan kecil menuju laut. Penyu-penyu itu seakan gembira menyambut datangnya air hujan. Tempat itu kini dikenal dengan nama Cipenyu. Sesaat kemudian Raden Budog melanjutkan perjalanannya setelah mengambil daun pohon langkap yang dijadikannya sebagai payung agar tidak kehujanan.
Lokasi Pantai Tanjung Lesung
Jika ingin berkunjung ke pantai ini, Anda memerlukan waktu perjalanan sekitar 3 sampai 4 jam dari Jakarta. Selain menurut versi di atas, asal usul nama Tanjung Lesung adalah karena letaknya yang menjorok ke laut yang mirip dengan ujung lesung, alat yang digunakan untuk menumbuk padi. Di pantai ini, banyak permainan air yang dapat dinikmati yaitu snorkeling, jet ski, berperahu, memancing, dan berbagai aktivitas lainnya. Tempat ini sangat cocok untuk berlibur bersama keluarga.
demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Asal Usul Tanjung Lesung : Kisah, Cerita, Hikayat, Sejarah, Lokasi, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.