Pejelasan Nama Simalungun
Simalungun ialah nama salah satu kabupaten yang ada di wilayah Provinsi Sumatra Utara. Dulu, sebelum bernama Simalungun, daerah ini dikenal dengan sebutan Kampung Nagur. tetapi karena adanya sebuah peristiwa, daerah tersebut kemudian dinamai Simalungun.
Pengertian Simalungun
Batak Simalungun adalah salah sub Suku Bangsa Batak yang berada di provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur suku ini berasal dari daerah India Selatan tetapi ini hal yang sedang diperdebatkan. Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga-marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun.
Orang Batak menyebut suku ini sebagai suku “Si Balungu” dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya “Timur” karena bertempat di sebelah timur mereka.
Kehidupan Masyarakat Simalungun
Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan padi dan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek. “Marga” memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika dibandingkan dengan keadaan Simalungun dengan suku Batak yang lainnya sudah jauh berbeda.
Bahasa Dan Aksara
Suku Simalungun menggunakan Bahasa Simalungun (bahasa simalungun: hata/sahap Simalungun) sebagai bahasa Ibu. Derasnya pengaruh dari suku-suku di sekitarnya mengakibatkan beberapa bagian Suku Simalungun menggunakan bahasa Melayu, Karo, Batak, dan sebagainya. Penggunaan Bahasa Batak sebagian besar disebabkan penggunaan bahasa ini sebagai bahasa pengantar oleh penginjil RMG yang menyebarkan agama Kristen pada Suku Ini. Aksara yang digunakan suku Simalungun disebut aksara Surat Sisapuluhsiah
Awal Mula Kisah Nama Simalungun
Dahulu, di wilayah Kampung Nagur Sumatra Utara, ada sebuah kerajaan kecil yang bernama Kerajaan Tanah Djawo. Kerajaan suku Batak yang bermarga Sinaga ini dipimpin seorang raja yang adil dan juga bijaksana. Didalam melaksanakan tugas pemerintahannya, sang Raja didampingi oleh sejumlah hulubalang yang tangguh serta setia membuat kerajaan ini aman dan tenteram.
Sementara itu, di luar wilayah Nagur, ada juga dua kerajaan suku Batak yang berbeda marga, yakni Kerajaan Silou dari marga Purba Tambak dan juga Kerajaan Raya dari marga Saragih Garingging. Walaupun berlainan marga, kedua kerajaan ini menjalin hubungan persahabatan yang baik dengan Kerajaan Nagur. Rakyat mereka pun saling hidup rukun dan makmur. Kemakmuran ketiga kerajaan kecil ini ternyata menarik perhatian dari kerajaan-kerajaan lain untuk bisa menguasainya.
Pada suatu hari, tersebar kabar bahwa Kerajaan Majapahit dari tanah Jawa akan dating untuk menyerang Kerajaan Tanah Djawo. Mendengar kabar itu, Raja Tanah Djawo segera meminta bantuan pada Kerajaan Silou dan juga Kerajaan Raya. Kedua kerajaan itu pun mengatakan kesediaan dalam membantu Kerajaan Tanah Djawo untuk menangkal serangan dari Kerajaan Majapahit.
Bantuan yang diberikan oleh Kerajaan Silou dan juga Kerajaan Raya ternyata mampu menangkal bahkan mengusir pasukan dari Majapahit di wilayah Nagur. Hal yang sama pun terjadi ketika Kerajaan Silou mendapatkan serangan dari Kerajaan Aceh. Kedua kerajaan yakni Kerajaan Tanah Djawo dan Kerajaan Raya, membantu Kerajaan Silou sampai akhirnya selamat dari ancaman bahaya.
Suatu ketika, ribuan tentara yang tidak diketahui dari mana asalnya datang menyerang ketiga kerajaan tersebut dengan bergantian. Pertama-tama, mereka menyerang Kerajaan Tanah Djawo, lalu Kerajaan Silou, dan yang terakhir Kerajaan Raya. Walaupun sudah saling membantu, ketiga kerajaan itu pun akhirnya takluk juga. Serangan tersebut membuat raja terpaksa menyelamatkan dirinya masing-masing. Hal itu pun terjadi pula pada rakyat yang lari tunggang-langgang untuk menghindari sergapan dari musuh. Mereka meninggalkan wilayah itu dengan cara berkelompok. Selama masa pelarian, mereka harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari dari kejaran para musuh.
Nasib para pengungsi tersebut sangatlah menderita. Mereka dilanda kelaparan dan juga terserang berbagai macam penyakit. Untuk bertahan hidup pun, setiap kelompok pengungsi harus mencari tempat tinggal masing-masing yang dirasa cukup aman. Sekelompok pengungsi dari Kampung Nagur lalu menemukan tanah Sahili Misir yang kini dikenal dengan nama pulau Samosir, yakni sebuah pulau yang terdapat di tengah-tengah Danau Toba. Dan di sanalah mereka menetap serta membuka perladangan untuk bercocok tanam.
Setelah sekian lamanya mereka menetap di pulau itu, hidup mereka pun mulai tertata. Bahkan, ada dari mereka yang telah mempunyai anak cucu. Suatu ketika, mereka merindukan kampung halamanannya dan ingin kembali ke Kampung Nagur. Yang pada akhirnya mereka melakukan musyawarah.
“Siapa di antara kalian semua yang ingin kembali ke Kampung Nagur?” tanya seorang sesepuh selaku pemimpin dalam musyawarah.
Mendengar pertanyaan tersebut, sebagian dari peserta tidak mau untuk kembali ke kampung halaman mereka.
“Maaf, Bapak-bapak. Kenapa kalian tidak mau ikut dengan kami? Apakah kalian tidak rindu kampung halaman?” tanya sesepuh itu pada mereka.
“Maaf, Tuan Sesepuh. Sebenarnya kami pun sangat rindu kampung halaman. Akan tetapi, kami sudah merasa betah dan juga nyaman tinggal di pulau ini. Tempat ini sudah seperti kampung halaman sendiri bagi kami. Lagi pula, siapa yang akan menjaga hewan ternak dan juga ladang-ladang apabila kamu semua ikut kembali ke kampung halaman?” jawab seorang peserta musyawarah.
“Benar Tuan Sesepuh, anak serta cucu kami pun merasa senang tinggal di pulau ini,” tambah seorang peserta musyawarah yang lainnya.
“Baiklah, jika begitu. Untuk yang ingin tetap tinggal di sini, ku harap kalian tetap akan merawat baik-baik tempat ini. Bagi yang ingin pulang ke kampung halaman diharapkan segera mempersiapkan segala kebutuhannya,” ujar sesepuh itu.
Para warga yang ingin kembali ke kampung halaman segera menyiapkan persiapan yang seperlunya. Kemudian mereka mulai berangkat menuju Kampung Nagur. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, mereka pada akhirnya tiba di Kampung Nagur. Saat tiba kampung halamannya, beberapa warga terlihat menangis haru. Mereka teringat peristiwa yang menimpa kampung halaman mereka dahulu. Rumah-rumah mereka sudah tiada. Hanya ada tumbuhan semak-belukar dan juga pepohonan yang terlihat tumbuh dengan subur.
“Sima-sima nalungun,” kata mereka semua.
Sejak saat itulahKampung Nagur berubah nama menjadi Sima-sima Nalungun, yang artinya daerah sunyi sepi. Yang kemudian lama-kelamaan, orang-orangmenyebutnya denganSimalungun. Sampai saat ini, kata Simalungun masih dipakai untuk menyebut nama sebuah Kabupaten di ProvinsiSumatra Utara tersebut.
Kepercayaan Simalungun
Bila diselidiki lebih dalam suku Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari “Datu” (dukun) disertai persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada Tiga Dewa yang disebut Naibata, yaitu Naibata di atas (dilambangkan dengan warna Putih), Naibata di tengah (dilambangkan dengan warna Merah), dan Naibata di bawah (dilambangkan dengan warna Hitam). 3 warna yang mewakili Dewa-Dewa tersebut (Putih, Merah dan Hitam) mendominasi berbagai ornamen suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan rumahnya.
Orang Simalungun percaya bahwa manusia dikirim ke dunia oleh Naibata dan dilengkapi dengan Sinumbah yang dapat juga menetap di dalam berbagai benda, seperti alat-alat dapur dan sebagainya, sehingga benda-benda tersebut harus disembah. Orang Simalungun menyebut roh orang mati sebagai Simagot. Baik Sinumbah maupun Simagot harus diberikan korban-korban pujaan sehingga mereka akan memperoleh berbagai keuntungan dari kedua sesembahan tersebut.
Ajaran Hindu dan Budha juga pernah memengaruhi kehidupan di Simalungun, hal ini terbukti dengan peninggalan berbagai patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang menggambarkan makna Trimurti (Hindu) dan Sang Buddha yang menunggangi Gajah (Budha).
Agama Kristen masuk di tanah Simalungun pada tahun 1909 di bawa oleh missionaris Jerman yang bernama Pdt.Agust Theis tepatnya di Pematang Raya
Pada tanggal 26 September 1940 jemaat Simalungun berkembang menjadi satu Distrik di dalam HKBP. Dan pada 5 Oktober 1952 anggota Sinode Distrik Simalungun bersidang agar Simalungun berdiri sendiri dan terpisah dari HKBP, serta mengangkat pengurus harian dan majelis Gereja di HKBPS. Dan pada akhirnya tepat ditanggal1 September 1963 HKBPS sah berganti nama menjadi GKPS ( Gereja Kristen Protestan Simalungun ).
Asal-usul Simalungun
Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang Suku Simalungun berasal dari luar Indonesia.
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang [1]:
-
Gelombang pertama (Simalungun Proto ), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam
(India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.
-
Gelombang kedua (Simalungun Deutero), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.
Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir.
Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau.
Kini, di Kabupaten Simalungun sendiri, Akibat derasnya imigrasi, suku Simalungun hanya menjadi mayoritas di daerah Simalungun Atas.
Sejarah Singkat Suku Simalungun
Dari sumber-sumber kuno dan cerita-cerita rakyat di Simalungun, orang yang kemudian menjadi suku Simalungun berketurunan dari ragam nenek moyang. Dalam perjalanan sejarahnya, suku Simalungun datang dalam dua gelombang. Gelombang pertama (Proto Simalungun) diperkirakan datang dari India Selatan (Nagore) dan India Timur (Pegunungan Assam) sekitar abad ke-5 menyusuri Birma terus ke Siam dan Melaka selanjutnya menyebrang ke Sumatera Timur dan mendirikan Kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik. Dan kemudian gelombang kedua (Deutro Simalungun) yang merupakan pembaruan suku-suku tetangga dengan suku Simalungun asli (Herman Purba Tambak, SIB 3/9/2006, hlm. 9).
Selanjutnya panglima-panglima (Raja Goraha) Kerajaan Nagur bermarga Saragih, Sinaga dan Purba dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan kelak mendirikan kerajaan-kerajaan : Silou (Purba Tambak), Tanoh Djawa (Sinaga), Raya (Saragih). Kerajaan-kerajaan ini pada abad XIII-XV mengalami serangan-serangan dari tentara Singasari, Majapahit, Rajendra Chola dari India dan terakhir Aceh, sultan-sultan Melayu dan Belanda. Terkenal dalam cerita-cerita rakyat Simalungun akan ”hattu ni sappar” yang melukiskan situasi mengerikan di Simalungun akibat peperangan itu, mayat-mayat bergelimpangan, kericuhan sehingga mengakibatkan wabah penyakit kolera yang merajalela.
Dan konon menurut legenda, orang Simalungun mengungsi ke seberang Laut Tawar (obat penawar Sappar) sampai ke sebuah pulau yang kemudian dinamai “Samosir” (Sahali misir). Kelak keturunan orang Simalungun yang berdiam di Samosir kembali lagi ke kampung halamannya (huta hasusuran) di Nagur dan dilihatlah daerah itu sudah ditinggalkan orang karena mengungsi, sepi dan yang tersisa hanya peninggalan rakyat Nagur, sehingga dinamakanlah daerah Nagur itu “sima-sima ni nalungun” dan lama kelamaan menjadi Simalungun (daerah yang sunyi sepi) (M.D Purba, 1997).
Pembauran dengan suku-suku tetangga khususnya dari Pulau Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menyebabkan adanya timbul marga baru di Simalungun, seperti: marga Sidauruk, Sidabalok, Siadari, Simarmata, Simanihuruk, Sidabutar, Munthe, Sijabat yang berafiliasi dengan marga Saragih, Manorsa, Simamora, Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan Pantomhobon yang berafiliasi dengan marga Purba, Malau, Limbong, Sagala, Gurning, Manikraja yang berafiliasi dengan marga Damanik, Sipayung, Sihaloho, Sinurat, Sitopu yang berafiliasi dengan marga Sinaga (tetapi sejak Revolusi Sosial sudah kembali ke marga asalnya).
Selain itu masih ada marga Lingga, Manurung, Butar-butar, Sirait di Simalungun timur dan barat. Demikianlah sampai zaman modern ini “warna-warni” suku Simalungun ini menyebabkan suku Simalungun sangat toleran dan bahkan nyaris “hilang” karena terlalu terbukanya dengan para pendatang. Belum lagi dengan suku Simalungun yang masuk Islam sejak abad XV di Asahan dan Deli serta Serdang mengaku dirinya Melayu dan menghilangkan identitasnya sebagai suku Simalungun.
Dahulu kala menurut Tuan Taralamsyah Saragih (surat pribadi,1963), orang Simalungun asli itu merupakan keturunan dari empat raja-raja besar yang berasal dari Siam dan India dengan rakyatnya masuk ke Sumatera Timur terus ke Aceh, Langkat dan daerah Bangun Purba dan Bandar Kalifah sampai Batubara. Akibat desakan orang “Djau”, berangsur-angsur mereka mencapai pinggiran Danau Toba sampai ke Samosir. Adapun keempat marga-marga Simalungun yang empat populer dengan nama SISADAPUR (Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba) berasal dari “harungguan bolon” (permusyawaratan besar) raja-raja yang empat itu agar jangan saling menyerang, bermusuhan dan “marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh.”
Kebiasaan dan Kehidupan Masyarakat Simalungun
Peta pembagian kecamatan Kabupaten Simalungun ke dalam Simalungun Atas dan Simalungun Bawah.
Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan padi dan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek. “Marga” memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika dibandingkan dengan keadaan Simalungun dengan suku Batak yang lainnya sudah jauh berbeda.
Sistem Politik Simalungun
Pada era sebelum Belanda masuk ke Simalungun, suku ini terbagi ke dalam 7 daerah yang terdiri dari 4 kerajaan dan 3 partuanan.
Kerajaan tersebut adalah:
1. Siantar (menandatangani surat tunduk pada belanda tanggal 23 Oktober 1889, SK No.25)
2. Panei (Januari 1904, SK No.6)
3. Dolok Silou
4. Tanoh Djawa (8 Juni 1891, SK No.21)
Sedangkan partuanan (dipimpin oleh seseorang yang bergelar “tuan”) tersebut terdiri atas:
1. Raya (Januari 1904, SK No.6)
2. Purba
3. Silimakuta
Setelah Belanda datang, maka ketujuh wilayah tersebut dijadikan sebagai kerajaan yang dipersatukan dalam Onderafdeeling Simalungun.
Selain 3 partuanan yang tersebut atas masih terdapat beberapa partuaan yang lain antara lain:
1. Parbalogan (tuan parbalogan op.Dja Saip Saragih Napitu) yang wilayahnya dari parmahanan hingga ke tigaras
2. Sipolha (tuan Am.Dja Banten Damanik) merupakan orang tua dari mantan Bupati Simalungun Dja Banten Damanik
3. Sipintu angin (tuan op.S.Saragih Turnip) merupakan orang tua dari Saragih Ras. Yang hingga kini tugunya (tugu hoda bottar)masih terlihat di Perbatasan Panatapan Ds.Tigaras
4. dll.
Partuanan-partuanan ini tidak pernah tunduk kepada pemerintahan Belanda saat itu, di daerah dilakukan perlawanan perlawanan kecil secara bergerilya.
demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Asal Usul Simalungun : Pengertian, Kehidupan, Bahasa, Aksara, Kisah, Kepercayaan, Asal Usul, Sejarah, Kebiasaan, Sistem Politik, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.